Mengapa AI ‘Menginfeksi’ Dunia Global?
Mengapa AI ‘Menginfeksi’ Dunia Global?

Penulis : Desta Ulya Ulhaq, Mahasiswa Hubungan Internasional 

AI adalah ekstraksi pemikiran manusia yang sekarang ditanamkan pada sistem digital. AI dapat dikatakan sebagai “virus” yang juga diciptakan oleh manusia. AI adalah karya manusia untuk manusia yang dapat dikatakan sebagai karya global dan budaya masa depan. Namun, AI juga cenderung luas karena dasarnya adalah double edge. Hal ini disebabkan bahwa apapun yang menguji dan menyelamatkan AI akan mempengaruhi apapun kehidupan manusia. Terlebih lagi, AI yang dulu dianggap sebagai rumor sekarang ada di berbagai bidang.

Banyak sekali Pendapat-pendapat yang bervariasi mengenai topik ini. Pihak pro berpendapat bahwa AI adalah metode yang luar biasa efisien dan efektif, sementara sementara pihak kontra berpendapat bahwa dengan adanya AI menimbulkan adanya ketidakadilan dan kecurangan. Mengapa paradigma ini ada? Alasannya adalah adanya kekhawatiran bahwa AI dapat mencuri pemikiran manusia, yang kemudian akan diperbarui dengan bantuan teknologi, karena AI bergantung pada hasil dari ekstraksi apa yang telah dihasilkan sampai saat ini oleh sejumlah besar orang.

Dalam hal ini, AI membuat kita yang tidak berusaha keras dapat mencapai kesuksesan tanpa upaya, sementara orang yang berjuang akan merasa sangat tertinggal.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana AI mempengaruhi dunia secara keseluruhan, terutama dalam hal pertahanan internasional, daripada hanya aspek individu. Dan bagaimana hal itu dapat terjadi?

AI dan Bayangan Kapitalisme Global

Mungkin saja AI dianalogikan sebagai sebuah mesin yang mencakup komponen-komponen penting-termasuk prompt, aplikasi kerja, dan sistem pendukung lainnya. Maka, tiap komponen AI bekerja dalam satu sistem yang berfungsi terhubung ketika diimplementasikan oleh negara lain sebagai alat pertahanan. Dalam kondisi ini, AI bisa menjadi penyelamat, tapi juga ancaman besar bila diretas oleh pihak luar. Namun, jika sistem pertahanan itu diretas, maka bukan hanya negara tetapi juga keselamatan warganya bisa terancam.

Dengan globalisasi, semuanya menyebar, fenomena tersebut menunjukkan bahwa AI sekarang bukan lagi teknologi eksklusif yang hanya bisa digunakan oleh segelintir orang, tetapi hampir semua orang dapat menggunakannya di genggaman. Dari sini, jelas bahwa AI merupakan produk kultur dari sistem kapitalis di seluruh dunia dengan slogan “membuat hidup lebih mudah”.

Namun, tempat masalahnya adalah bahwa ketika satu seluruh negara menggunakan AI untuk mendukung polis atau sistem pertahanan, hal itu dapat berdampak buruk baginya. Sebagai produk kapitalis, AI dapat menghilangkan peran manusia dan membuat negara sepenuhnya menyerahkan pemerintahan kepada mesin. Negara mungkin kehilangan identitasnya dan peran manusianya dalam pertahanan internasional akan memudar.

Ketika Manusia Mulai Tergantikan oleh Mesin

Dengan AI yang mencolok dan kemampuannya yang luar biasa, AI menguasai pasar global. Hanya dengan beberapa klik, kita bisa mendapatkan jawaban dan solusi yang berlainan dengan instan. Namun, hal unik mulai terjadi saat beberapa negara mulai mengeksperimenkan menggunakan AI sebagai pengganti pekerja manusia. Contohnya, terdapat diskursus yang melibatkan masalah apakah AI dapat dimanfaatkan sebagai “Menteri Anti Korupsi” atau tidak, sebab AI dengan efektif tidak memiliki emosi atau kepentingan pribadi sehingga dapat mengikuti perintah tanpa berkhianat yang biasa dimiliki oleh sifat licik manusia.

Di sisi lain, pandangan ini juga menimbulkan risiko signifikan. Jika manusia memberikan keberadaannya hanya padanya, peradaban manusia akan runtuh. Manusia akan berhenti berpikir dan bekerja serta kita akan sepenuhnya tergantung pada mesin.

Namun, AI tidak hanya memengaruhi sistem pertahanan saja. Pada tingkat yang lebih pribadi, AI dapat mengubah peran manusia dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Mampukah Kita Melawan Virus AI Tanpa Vaksin?

Seiring waktu, hampir seluruh aspek kehidupan didorong oleh AI. Ini adalah kontras satir dari produksi manusia itu sendiri dan malah menjadi modal sosial baru bagi negara untuk mengintensifkan sistem pertahanan. Bagian dari virus AI bukan hanya militer, tetapi juga diperintahkan oleh pemerintah dan hampir seluruh aspek sosial. AI menyebarkan virus yang benar-benar tidak memiliki vaksin.

Menguatkan sumber daya manusia adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan terhadap dominasi AI. Pemerintah negara harus melatih kembali menteri, pemimpin, dan personel pertahanan lainnya agar tidak digantikan oleh mesin. Demikian pula, untuk sistem keamanan siber, kita membutuhkan spesialis yang secara efektif dapat melindungi infrastruktur nasional dan data pribadi kita dari penggunaan AI yang terbatas ini.

Masih ada kemungkinan bahwa penggunaan AI akan berkembang ke arah yang positif, yaitu menjadi alat yang membantu memperkuat peran manusia dalam pertahanan global daripada menggantikan manusia. Tetapi kita juga harus mengingat kemungkinan bahwa AI akan sepenuhnya "menginfeksi" kehidupan manusia jika teknologi dan kemanusiaan diselaraskan.

Teknologi Kecerdasan Buatan dan Pertahanan Global: Ketika Mesin Menjadi Pembantu Strategi

Beberapa negara besar saat ini memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memperkuat sistem pertahanan mereka dalam konteks pertahanan internasional. Misalnya, Amerika Serikat telah menerapkan AI ke dalam sistem pertahanan dan pengambilan keputusan militer melalui proyek Joint Artificial Intelligence Center (JAIC), dan Tiongkok secara aktif mengembangkan sistem pengawasan berbasis AI dan senjata autonomous untuk menjaga stabilitas negaranya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan telah berkembang dari sekadar alat bantu administratif menjadi aktor strategis yang membentuk kebijakan militer di seluruh dunia.

Namun, bahaya yang muncul lebih besar. Kesalahan teknis atau serangan siber lintas negara dapat memicu konflik besar tanpa keterlibatan manusia secara langsung, ketika sistem pertahanan digital sepenuhnya dikendalikan oleh AI. Bayangkan jika algoritma salah membaca ancaman dan meluncurkan serangan otomatis. Akibatnya, keseimbangan keamanan dunia bisa runtuh. Dalam hal ini, istilah "virus" menjadi relevan karena penyebaran AI di bidang militer dapat menjadi ancaman tak terkendali bagi manusia di seluruh dunia.

AI dan Perbedaan Ekonomi Global

AI tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga memperlebar perbedaan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara berkembang masih bergantung pada tenaga manusia, tetapi negara-negara dengan sumber daya besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan mampu mengembangkan AI untuk otomatisasi industri. Akibatnya, muncul ketimpangan baru yang disebut "perpecahan AI", di mana hanya beberapa negara memiliki kemampuan untuk menguasai pasar teknologi, sedangkan negara lain hanya menjadi konsumen pasif.

AI menjadi alat dominan baru di era globalisasi. Data dan algoritma yang dikontrol oleh perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Tencent memengaruhi perilaku ekonomi global. Proses produksi tidak lagi berpusat pada manusia; mereka hanyalah pengguna dalam sistem yang diatur oleh mesin dan korporasi besar. Akibatnya, ketakutan bahwa peran manusia akan dihapus oleh AI adalah fakta yang sedang terjadi.

Etik dan Peraturan: Upaya untuk Mengontrol Kecerdasan Buatan

Dunia mulai menyadari bahwa peraturan dan etika yang kuat diperlukan untuk AI saat berkembang pesat. Untuk memastikan bahwa penggunaan kecerdasan buatan berjalan secara transparan, aman, dan tidak diskriminatif, Uni Eropa telah mengesahkan Undang-Undang Kecerdasan Buatan Uni Eropa. Pada tahun 2021, UNESCO mengeluarkan rekomendasi tentang etika kecerdasan buatan dengan menekankan betapa pentingnya nilai kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab sosial dalam pengembangan kecerdasan buatan.

Karena setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda, penerapan regulasi global seperti ini masih sulit. Sementara negara berkembang hanya berusaha mengikuti arus, negara adidaya berkonsentrasi pada supremasi teknologi. Kerja sama internasional sangat penting untuk mencapai kesepakatan etika global agar AI tidak digunakan untuk eksploitasi ekonomi atau militer.

Membuat "Vaksin Sosial" untuk AI

Sebagai analogi dengan virus, "vaksin" yang paling efektif bukanlah perangkat lunak, tetapi kesadaran manusia dan literasi. Literasi digital mengajarkan siswa bukan lagi hanya menggunakan teknologi; mereka harus belajar memahami, mengelola, dan mengendalikan sistem AI.

Selain itu, perlu ada keseimbangan antara manfaat kemanusiaan dan efisiensi teknologi. Bukan menggantikan peran sosial manusia, AI seharusnya menjadi co-pilot yang meningkatkan kemampuan manusia. Untuk menyelesaikan masalah global seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan perubahan iklim, kolaborasi antara manusia dan mesin tidak boleh difokuskan hanya pada efisiensi ekonomi.

Oleh karena itu, penerapan "vaksin sosial" terhadap virus kecerdasan buatan adalah untuk menciptakan masyarakat yang sadar teknologi, beretika, dan menempatkan manusia sebagai inti dari kemajuan. Selama manusia terus berfungsi sebagai pencipta, bukan sebagai mesin yang memerintahkan ciptaan, teknologi akan tetap menjadi alat bantu.

Pada akhirnya, keberadaan kecerdasan buatan mencerminkan paradoks terbesar dalam sejarah manusia. Di satu sisi, ia menunjukkan kemajuan dalam kecerdasan buatan yang memungkinkan kehidupan menjadi lebih mudah, tetapi di sisi lain, ia menunjukkan bahwa ia merupakan ancaman eksistensial yang dapat menghancurkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Kita tidak lagi berjuang untuk meningkatkan kecerdasan AI, tetapi untuk menjaga agar manusia tidak kehilangan kendali atas ciptaannya.

Meskipun kecerdasan buatan telah menginfeksi dunia, manusia tetap dapat memilih untuk menjadi korban dari virus itu sendiri atau menjadi dokter yang menciptakan vaksin. Sejauh mana kita dapat menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kebijaksanaan moral dan kemanusiaan akan menentukan hasilnya.

Teknologi seharusnya berfungsi sebagai perpanjangan tangan manusia dan bukan sebagai penggantinya. Jika manusia berhenti bergantung pada mesin untuk berpikir, AI akan menjadi tuan atas penciptanya dan bukan lagi alat bantu.