Filantropi atau Intervensi? Peran George Soros dalam Dinamika Keamanan Nasional dan Internasional
Filantropi atau Intervensi? Peran George Soros dalam Dinamika Keamanan Nasional dan Internasional

Penulis : Natasya Adindara Suherman (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Semester 5 FISIP UIN Jakarta)

Munculnya Aktor Non-Negara dalam Sistem Internasional

Dalam sistem internasional modern, batas antara kekuasaan negara dan kekuatan non-negara sering menjadi perdebatan, bahkan hingga tahun 2025 ini. Negara mulai dianggap sebagai aktor utama (primary actor) dalam sistem internasional sejak lahirnya sistem negara modern pada abad ke-17, tepatnya setelah Perjanjian Westphalia tahun 1648. Di samping negara sebagai aktor utama, pengaruhnya kini harus berbagi ruang dengan aktor-aktor lain yang tidak kalah kuat. Aktor non-negara seperti perusahaan multinasional, organisasi internasional, media global, hingga individu memiliki pengaruhnya masing-masing. Di antara itu, tokoh bernama George Soros menempati posisi yang unik dan kontroversial. Ia bukan pejabat negara, bukan pula diplomat, namun George Soros dapat menembus batas geopolitik dan memengaruhi arah kebijakan demokrasi, ekonomi, serta keamanan global.

Soros sering dipandang sebagai representasi dari era kapitalisme global, sebuah era di mana kekuatan ekonomi mampu menggoyahkan batas politik. Ia bukan sekadar miliarder, melainkan figur yang menggerakkan jaringan sosial, finansial, dan ideologis lintas negara. Fenomena ini menggambarkan bahwa pengaruh terhadap keamanan dan stabilitas dunia kini tidak selalu datang dari negara, melainkan juga dari individu yang memiliki kapasitas luar biasa.

George Soros dan Fenomena Kapitalisme Global

Soros mendirikan Open Society Foundations (OSF), jaringan filantropi internasional yang beroperasi di lebih dari seratus negara. Melalui OSF, Soros mendanai program yang berfokus pada demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan pers. Tujuannya tampak mulia: membangun masyarakat terbuka yang menghargai keadilan dan transparansi. Namun, tidak semua pemerintah melihat langkah itu sebagai bantuan murni. Banyak yang menilai OSF justru sebagai instrumen politik yang menyusupkan nilai-nilai liberal Barat ke dalam kebijakan domestik negara lain.

Kapitalisme global menjadi fondasi bagi kekuatan Soros. Modal finansial yang besar memberinya kemampuan untuk beroperasi melampaui batas negara, menembus lembaga-lembaga internasional, dan membentuk opini publik global. Dalam kajian hubungan internasional, fenomena seperti ini disebut aktor transnasional, yakni entitas non-negara yang dapat memengaruhi keputusan politik, ekonomi, dan sosial di berbagai negara tanpa otoritas resmi. Soros adalah contoh paling konkret bagaimana kapitalisme bisa menjelma menjadi kekuasaan tanpa batas teritorial.

Dilema Kedaulatan dan Ancaman Non-Tradisional

Kehadiran aktor transnasional seperti Soros menimbulkan dilema besar bagi konsep kedaulatan negara. Beberapa pemerintahan memandang aktivitasnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Pemerintah Hungaria, misalnya, menuduh Soros dan OSF mendorong kebijakan imigrasi liberal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Akibat tekanan politik yang terus meningkat, OSF akhirnya menutup kantornya di Budapest pada tahun 2018 dan memindahkan operasinya ke Berlin. Hal serupa juga terjadi di Rusia, di mana OSF dilarang karena dianggap berusaha menanamkan pengaruh ideologis Barat yang dapat mengguncang stabilitas politik dalam negeri.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional kini tidak hanya bersumber dari serangan militer, tetapi juga dari ancaman non-tradisional seperti infiltrasi ideologi, dominasi ekonomi, dan polarisasi sosial. Negara-negara yang merasa terancam oleh pengaruh eksternal semacam ini biasanya merespons dengan memperketat pengawasan terhadap organisasi non-pemerintah dan pendanaan asing. Namun, kebijakan semacam itu sering kali justru membatasi kebebasan sipil dan mempersempit ruang demokrasi.

Di sisi lain, ada juga negara yang justru merasakan manfaat dari dukungan OSF, terutama di kawasan pascakomunis Eropa Timur. Program-program pendidikan, riset sosial, dan media independen yang didanai Soros membantu memperkuat lembaga demokrasi dan menciptakan ruang publik yang lebih terbuka. Di titik inilah muncul paradoks: apakah filantropi global yang mempromosikan keterbukaan merupakan langkah positif, atau justru bentuk baru dari intervensi politik halus?

Kapital, Pasar, dan Pengaruh tanpa Batas

Selain melalui filantropi, kekuasaan Soros juga berakar kuat pada dunia keuangan internasional. Ia dikenal sebagai “The Man Who Broke the Bank of England” setelah aksinya pada tahun 1992, ketika ia melakukan spekulasi besar terhadap pound sterling dan memperoleh keuntungan sekitar satu miliar dolar AS. Aksi tersebut bukan hanya mengguncang perekonomian Inggris, tetapi juga menunjukkan bahwa individu tunggal bisa memengaruhi kebijakan ekonomi sebuah negara.

Peristiwa itu memperlihatkan bagaimana pasar keuangan global dapat menjadi alat kekuasaan baru, sebuah arena di mana modal berfungsi seperti senjata. Dalam kerangka kapitalisme global, pasar bukan lagi sekadar tempat pertukaran ekonomi, tetapi juga mekanisme pengendalian politik. Kekuatan seperti Soros bisa “menghukum” atau “menghadiahi” negara tergantung pada arah kebijakan ekonominya. Ketika kebijakan dianggap tidak sesuai dengan logika pasar bebas, arus modal bisa berpindah dengan cepat, menciptakan krisis nilai tukar atau ketidakstabilan ekonomi.

Dalam konteks keamanan internasional, hal ini menghadirkan bentuk baru dari power projection yang tanpa pasukan, tanpa senjata, tapi dengan uang dan jaringan pasar global. Ketika kapital menjadi alat tekanan politik, batas antara ekonomi dan keamanan pun semakin kabur. Negara-negara yang terlalu bergantung pada investasi asing atau sistem keuangan global menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal semacam ini. Dengan demikian, Soros bukan hanya simbol dari kapitalisme global, melainkan juga representasi dari kekuasaan ekonomi yang tak mengenal batas negara.

Refleksi: Soros sebagai Cermin Dunia Global

Sulit untuk memposisikan George Soros sebagai sosok sepenuhnya baik atau buruk. Ia adalah figur yang sekaligus mewakili dua sisi dari globalisasi—pembebasan dan dominasi. Dari satu sisi, Soros memperjuangkan nilai-nilai universal seperti kebebasan berpikir dan keadilan sosial. Namun dari sisi lain, kekuatan finansialnya mencerminkan ketimpangan ekstrem dalam sistem kapitalisme global, di mana segelintir orang mampu memengaruhi arah politik dunia tanpa mandat demokratis.

Fenomena Soros mengingatkan bahwa kekuasaan global kini tersebar dalam bentuk yang lebih kompleks: kekuatan uang, jaringan informasi, dan pengaruh ideologis. Keamanan internasional tidak lagi semata soal militer, tapi juga soal kemampuan negara mempertahankan otonomi sosial dan politik di tengah arus kapital dan nilai-nilai global yang terus bergerak. Dengan kata lain, pertahanan modern tidak cukup dibangun dengan tembok dan senjata, melainkan juga dengan kesadaran kritis terhadap bentuk-bentuk kekuasaan baru yang datang tanpa bendera negara.

Jadi, Seberapa Berbahayakah George Soros bagi Keamanan Nasional dan Internasional?

Pertanyaan ini memang menimbulkan perdebatan panjang, tetapi menurut saya, jawabannya adalah ya. George Soros merupakan sosok yang berbahaya bagi keamanan nasional dan internasional, bukan dalam arti militeristik, melainkan dalam konteks ideologis dan struktural. Bahayanya itu bisa kita lihat dari dia yang memiliki pengaruh tanpa batas dan tanpa legitimasi publik. Soros dapat memengaruhi arah kebijakan, membentuk wacana politik, dan bahkan menekan stabilitas ekonomi melalui kekuatan kapital dan jaringan globalnya, tanpa harus mempertanggungjawabkannya di hadapan lembaga demokratis mana pun.

Soros beroperasi dalam zona tumpang tindih antara filantropi dan intervensi. Ia menggunakan nilai-nilai moral seperti demokrasi dan keterbukaan untuk membentuk lanskap politik global sesuai visi liberal Barat, yang tidak selalu cocok dengan konteks sosial dan budaya di setiap negara. Bahayanya bukan karena niatnya semata, tetapi karena ketimpangan kekuasaan yang ia ciptakan, ketika satu individu dapat menggerakkan struktur internasional dengan kapasitas yang melebihi banyak negara berkembang.