Agama dan Kecerdasan Buatan (AI) di Persimpangan Zaman
Oleh Prof. Dr. Yusron Razak, M.A.
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seorang remaja Gen Z bertanya kepada chatbot: “Apa hukum meninggalkan shalat Isya karena lelah bekerja?” Dalam hitungan detik, ia menerima jawaban lengkap dengan dalil-dalil al-Qur’an, hadits, dan fikih dalam berbagai madzhab. Tak ada guru, tak ada ustadz, hanya layar ponsel dan kecerdasan buatan. Di tengah gelombang digitalisasi, agama dan kecerdasan buatan kini tak lagi berjarak. Teknologi yang dahulu dianggap dingin dan tak bernyawa, perlahan memasuki ruang-ruang batin manusia yang selama ini hanya diisi oleh doa, keyakinan, dan pencarian makna hidup.
Agama dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sejatinya berasal dari dua alam yang berbeda. Agama, sebagai produk wahyu dan tradisi spiritual, berakar pada nilai-nilai transendental yang diwariskan turun-temurun. Dengan demikian, agama itu sacral. Sementara AI adalah buah dari nalar rasional manusia modern yang mengandalkan logika, data, dan algoritma. Kecerdasan buatan sepenuhnya profane. Namun, saat ini yang sakral dan profane tersebut saling bersinggungan, bahkan dalam beberapa hal mulai saling memengaruhi.
Beth Singler, dalam penelitiannya, membagi relasi antara agama dan AI ke dalam tiga fase: penolakan (rejection), penerimaan (adoption), dan penyesuaian (adaptation). Pada tahap pertama, komunitas keagamaan merespons AI dengan skeptisisme, disertai rasa takut bahwa peran manusia dalam kehidupan spiritual akan tergeser. Namun seiring berjalannya waktu, pertimbangan rasional mulai mengemuka. Banyak komunitas agama akhirnya mengadopsi AI karena manfaatnya yang besar dan efisiensinya yang tinggi.
Kini kita memasuki tahap adaptasi. AI bukan hanya digunakan untuk aktivitas administratif atau promosi dakwah, tapi juga untuk membuat bahan ceramah, menelusuri dalil hukum, bahkan menjawab pertanyaan keagamaan secara langsung. Dalam konteks ini, AI perlahan menjadi bagian dari kebiasaan sosial baru dalam kehidupan beragama. Ia hadir sebagai “dewa penolong” yang mudah diakses, murah, dan responsif. AI kini telah menjadi bagian dari habitus baru, meminjam istilah Bordieu, dalam kehidupan spiritual masyarakat modern.
Namun, kehadiran AI yang begitu luas ini menimbulkan pertanyaan filosofis sekaligus teologis. Dalam Islam, manusia dimuliakan karena kemampuannya berpikir. Akal adalah anugerah Ilahi yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain. Akal menjadi landasan utama bagi tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Jika AI kini melampaui manusia dalam beberapa aspek berpikir dan mengambil keputusan, maka umat Islam perlu menakar ulang peran dan keunggulan spiritualnya. Jika AI kini mampu berpikir, menganalisis, bahkan memberi nasihat spiritual, maka peran unik manusia mulai dipertanyakan. Apakah umat Islam bisa tetap relevan dan unggul di tengah lonjakan kecerdasan buatan?
Di Indonesia, penggunaan AI semakin meluas dalam berbagai bidang seperti pendidikan dan pekerjaan manusia, namun masih banyak dimanfaatkan untuk hiburan semata. Ini menimbulkan kekhawatiran: alih-alih menjadi sarana pemberdayaan intelektual dan spiritual, AI justru memperkuat budaya konsumsi pasif. Jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan kesadaran kritis, umat Islam bisa semakin tertinggal dalam persaingan global.
Lebih dari sekadar persoalan akses, tantangan utama terletak pada cara berpikir umat terhadap teknologi ini. Banyak di antara kita yang belum memandang AI sebagai alat strategis untuk membangun masa depan umat, melainkan sekadar sebagai pelengkap gaya hidup. Padahal, di negara-negara lain, AI telah digunakan untuk mengembangkan aplikasi tafsir digital, platform belajar daring berbasis kitab kuning, hingga sistem prediktif untuk penentuan awal Ramadan atau waktu salat berbasis astronomi mutakhir. Jika potensi ini tidak segera digarap secara serius, kita berisiko kembali menjadi konsumen pasif dalam lanskap peradaban digital global.
Pertemuan AI dan agama juga memunculkan dinamika baru dalam hal otoritas keagamaan. Dahulu, jawaban keagamaan hanya bisa diberikan oleh mereka yang mendalami ilmu fikih dan usul. Kini, cukup dengan membuka aplikasi, siapa pun bisa mendapat jawaban dari AI dalam waktu singkat. Walaupun secara keilmuan belum tentu dapat menggantikan ijtihad ulama, tren ini terus menguat, terutama di kalangan generasi muda.
Dalam bukunya Religion and Artificial Intelligence (Routledge, 2025), Singler mengungkap bahwa agama dan AI kini berada di jalur yang sama—persimpangan yang akan menentukan wajah keagamaan dunia ke depan. Dengan 84% penduduk bumi masih memeluk agama-agama besar, potensi perubahan sosial dan spiritual akibat AI bukan sekadar spekulasi. Dalam konteks sosiologi agama, AI berpotensi menggugat posisi agama sebagai otoritas tertinggi dalam hal moral dan tindakan.
AI juga membawa penguatan rasionalitas, bahkan narasi baru yang lebih logis dan sistematis. Bila tidak dikelola, kekuatan naratif ini dapat menyaingi—bahkan menggantikan—otoritas agama tradisional. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan gelombang ateisme digital yang tumbuh bukan dari penolakan terhadap Tuhan, melainkan karena ketergantungan pada mesin yang dianggap lebih netral dan faktual.
Namun tantangan ini tidak harus dihadapi dengan ketakutan atau penolakan. Sebaliknya, komunitas agama perlu membangun sikap yang cerdas, kritis, dan proaktif. AI bisa menjadi alat bantu dalam dakwah, pendidikan, dan distribusi ilmu keagamaan. Dengan pendekatan yang tepat, AI justru bisa membantu memperluas jangkauan nilai-nilai spiritual kepada generasi yang makin digital.
Yang perlu dijaga adalah kesadaran bahwa AI, secerdas apa pun, tetaplah buatan manusia. Ia tak memiliki kesadaran, nurani, niat, atau tanggung jawab moral. Keputusan etis dan spiritual tetap menjadi ranah manusia. Maka, tugas umat beragama bukan hanya memahami teknologi, tetapi juga menanamkan nilai untuk membimbing penggunaannya.
Di tengah riuhnya inovasi digital, iman tetaplah ruang sunyi yang tak tergantikan. AI bisa membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan agama, tetapi hanya hati manusia yang bisa memahami dan mengalami makna-makna agama. AI mungkin bisa menjelaskan persoalan-persoalan teologis kegamaan dengan narasi yang menyakinkan, tetapi hanya manusia yang dapat merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Justru karena itu, masa depan spiritualitas tidak akan ditentukan oleh algoritma, melainkan oleh manusia yang mampu menjadikan teknologi sebagai jalan menuju pencerahan, bukan keterasingan.
*telah dipublikasikan pada media online : https://rajamedia.co/berita/kecerdasan-buatan-ai-dan-agama