Ziarah dan Munggahan dalam Tradisi Masyarakat Betawi
Ziarah dan Munggahan dalam Tradisi Masyarakat Betawi

Oleh: Ahmad Abrori, Ph.D (Ketua Prodi Magister Sosiologi FISIP UIN Jakarta).

Masyarakat Betawi dikenal sebagai kelompok etnis yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang kuat, terutama dalam aspek sosial dan keagamaan. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah praktik ziarah dan munggahan, dua kegiatan yang dilakukan menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bagian dari sistem nilai yang menguatkan hubungan keluarga dan komunitas.

Dalam Islam, menyambut Ramadan dengan penuh suka cita adalah bentuk keimanan, sebagaimana dalam hadis:

“Siapa yang merasa senang dengan datangnya bulan Ramadan, maka jasadnya tidak akan rersentuh oleh api neraka (H.R. An-Nasa’i)”.

Bagi masyarakat Betawi, kegembiraan menyambut bulan suci tidak hanya diwujudkan dalam ibadah individual tetapi juga dalam praktik sosial yang mempererat hubungan antar generasi, baik dengan mereka yang masih hidup maupun yang telah tiada.

ziarah kubur

Ziarah: Mengingat Keteladanan dan Kematian

Ziarah menjelang Ramadan merupakan tradisi penting bagi masyarakat Betawi. Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi makam orang tua, kerabat, atau tokoh masyarakat untuk mendoakan mereka. Dalam ziarah, ada tiga aspek utama yang ditekankan. Yang pertama adalah mengingat kematian, sebagai pengingat bahwa setiap manusia akan kembali kepada Tuhan. Yang kedua adalah mendoakan keluarga dan kerabat yang telah wafat, agar mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Yang ketiga adalah meneladani kebaikan orang tua, kerabat atau tokoh masyarakat, agar nilai-nilai positif tetap diwariskan kepada generasi berikutnya.

Tradisi ini memiliki makna spiritual yang dalam. Dengan berziarah, seseorang diingatkan akan kefanaan dunia dan pentingnya berbuat baik selama hidup. Masyarakat Betawi memaknai ziarah bukan sekadar ritual, tetapi juga refleksi atas kehidupan yang sementara.

Munggahan: Silaturahmi dan Penyucian Diri

Jika ziarah dilakukan kepada mereka yang telah tiada, munggahan adalah bentuk penghormatan kepada keluarga yang masih hidup. Munggahan merupakan momen berkumpul bersama sanak saudara, terutama dengan orang tua, sebagai ajang mempererat hubungan sosial.

Di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, banyak anggota keluarga yang tinggal berjauhan karena adanya difusi kependudukan atau kurangnya waktu untuk berkumpul karena  kesibukan bekerja. Munggahan menjadi waktu yang tepat untuk saling bertemu, berbagi kebahagiaan, dan mempersiapkan diri menyambut Ramadan dengan hati yang bersih. Tradisi ini juga sering diisi dengan saling memaafkan, agar dapat menjalani bulan Ramadan dengan hati yang ringan; atau berbagi kebahagiaan, seperti makan bersama atau memberikan bingkisan kepada keluarga yang lebih tua; atau memberikan dukungan moral, terutama bagi anggota keluarga yang menghadapi kesulitan.

Bagi masyarakat Betawi, ziarah dan munggahan adalah satu paket tradisi yang dilakukan secara bersamaan. Ini mencerminkan keseimbangan dalam kehidupan sosial mereka: menghormati yang telah tiada dan merajut kebersamaan dengan yang masih hidup.

Transendensi Kolektif Ziarah dan Munggahan

Ramadan sering dianggap sebagai bulan penyucian diri. Selain dengan berpuasa, umat Islam juga memperbanyak ibadah seperti shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, dan i’tikaf. Namun, ada dimensi lain yang sering luput dari perhatian, yaitu apa yang disebut di Sosiologi Agama sebagai transendensi kolektif.

Transendensi kolektif adalah perubahan kualitas diri ke arah yang lebih baik yang terjadi dalam konteks sosial. Dalam tradisi ziarah dan munggahan, terdapat tiga indikator transendensi kolektif: yaitu penyatuan kosmis, penghindaran sikap egois-materialistis, dan pelibatan secara aktif di komunitas. Penyatuan kosmis memiliki hubungan dengan alam. Ziarah ke makam adalah bentuk penyatuan manusia dengan alam. Saat berziarah, seseorang berada di antara kehidupan dan kematian, mengingat bahwa dunia ini hanya sementara. Kesadaran ini dapat mendorong seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Sementara itu penghindaran sikap egois-materialistis berkaitan dengan perilaku luhur. Dengan berziarah dan bersilaturahmi, seseorang diingatkan bahwa hidup bukan sekadar mengejar duniawi. Mengunjungi makam mengajarkan bahwa setelah kehidupan, ada kematian yang harus dipersiapkan dengan amal baik. Yang ketiga berkaitan dengan kerelaan membangun dan memgaktifkan diri kita pada kegiatan di  komunitas.Tradisi ziarah dan munggahan memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat. Di beberapa daerah Betawi, seperti di Pondok Cabe Udik, ziarah menjelang Ramadan diorganisir oleh RW setempat. Ziarah dilakukan secara massal hingga jalanan sekitar kuburan ditutup sementara. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini bukan sekadar ibadah pribadi, tetapi juga bagian dari solidaritas sosial yang kuat.

Masyarakat Betawi dikenal dengan sifat guyub, di mana hubungan kekeluargaan tidak hanya sebatas keluarga inti, tetapi meluas hingga kerabat jauh dan tetangga. Dalam satu kampung Betawi, banyak keluarga besar yang saling terhubung melalui pernikahan. Oleh karena itu, saat ada hajatan atau musibah seperti kematian, jumlah orang yang datang sangat banyak.

Misalnya, di Jalan Talas 2, Pondok Cabe Ilir, ketika ada warga yang meninggal, suasana takziah sangat ramai. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan sosial dalam masyarakat Betawi tetap terjaga kuat, bahkan dalam kehidupan perkotaan yang semakin individualistis.

Penutup

Ziarah dan munggahan bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari identitas masyarakat Betawi dalam menyambut Ramadan. Melalui dua praktik ini, masyarakat Betawi memperkuat hubungan dengan leluhur, keluarga, dan komunitas, sekaligus memperdalam makna spiritual dalam kehidupan mereka.

Lebih dari itu, tradisi ini juga menjadi ajang transendensi kolektif, di mana individu mengalami perubahan positif berkat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Di tengah perubahan zaman dan modernisasi, mempertahankan tradisi seperti ini menjadi penting agar nilai-nilai kekeluargaan dan spiritualitas tetap hidup dalam masyarakat.

Bagi masyarakat Betawi, menyambut Ramadan bukan hanya dengan meningkatkan ibadah pribadi, tetapi juga dengan merajut hubungan sosial yang erat. Karena bagi mereka, kebersamaan adalah bagian dari ibadah, dan silaturahmi adalah cara terbaik untuk meraih keberkahan di bulan suci.(Tries)