Transparansi Terancam: KPU 731/2025 dan Dilema Demokrasi
Transparansi Terancam: KPU 731/2025 dan Dilema Demokrasi

Penulis : Raihanul Aiman Alfaros, Mahasiswa Aktif Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Transparansi adalah salah satu pilar utama dalam sebuah negara demokrasi. Jürgen Habermas berpendapat bahwa transparansi merupakan kerangka kerja yang paling kuat untuk memahami cara kerja sistem demokrasi, agar legitimasi politik tidak hanya berasal dari pemungutan suara, tetapi juga dari proses pengambilan keputusan yang rasional dan partisipatif di ruang publik. Dalam konteks pemilihan umum, transparansi menjadi kunci agar masyarakat dapat membuat pilihan yang cerdas dan bertanggung jawab.

Rekam jejak calon pemimpin, khususnya calon presiden dan wakil presiden, adalah informasi vital yang harus dapat diakses publik. Namun, lahirnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 telah memicu perdebatan sengit tentang sejauh mana transparansi harus diterapkan, terutama terkait dokumen persyaratan calon. Keputusan ini menetapkan sejumlah dokumen persyaratan capres-cawapres sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan.

Peraturan KPU Nomor 731 Tahun 2025 secara spesifik menyebutkan 16 jenis dokumen yang tidak dapat diakses publik. Dokumen-dokumen ini mencakup berbagai informasi, mulai dari data pribadi hingga rekam jejak calon. Beberapa di antaranya adalah fotokopi KTP dan akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), surat keterangan kesehatan, surat keterangan dari pengadilan mengenai status pidana, laporan harta kekayaan pribadi (LHKPN), bukti kepemilikan NPWP, hingga yang paling krusial, fotokopi ijazah dan daftar riwayat hidup. Berdasarkan keputusan tersebut, publik hanya bisa mendapatkan akses ke dokumen-dokumen itu jika ada izin tertulis dari pemilik atau melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Di satu sisi, KPU berargumen bahwa keputusan ini bertujuan melindungi data pribadi calon. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan menjadi landasan hukum utama. KPU berpendapat bahwa dokumen-dokumen tersebut mengandung informasi sensitif yang, jika disebarluaskan tanpa izin, dapat melanggar hak privasi individu dan berpotensi disalahgunakan. Misalnya, ijazah dapat dipakai untuk pemalsuan, sementara data finansial seperti NPWP bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak bertanggung jawab. Dari perspektif ini, Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 dianggap sebagai langkah preventif untuk menjaga keamanan data dan privasi calon, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi mereka.

Namun, argumen tersebut mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, termasuk pengamat politik, aktivis demokrasi, dan masyarakat sipil. Mereka menilai keputusan ini merupakan kemunduran besar bagi transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat, sebagai pemilih, memiliki hak untuk mengetahui rekam jejak calon pemimpinnya secara utuh. Informasi seperti riwayat pendidikan, rekam jejak pidana, dan kondisi finansial adalah elemen penting yang membentuk keyakinan publik terhadap integritas serta kompetensi seorang calon. Tanpa akses terhadap dokumen-dokumen tersebut, masyarakat seolah-olah “membeli kucing dalam karung.” Proses pemilihan yang seharusnya didasarkan pada informasi yang lengkap dan terbuka, kini terancam menjadi ajang spekulasi dan rumor.

 

Salah satu isu yang paling disoroti adalah perihal ijazah. Sejarah politik Indonesia beberapa kali diwarnai oleh kasus pemalsuan ijazah pejabat publik. Contoh nasional adalah polemik keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo yang berulang kali dipersoalkan, meskipun pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) telah berulang kali menegaskan keasliannya. Inti persoalan ini bukan sekadar soal ijazah, melainkan absennya akses publik untuk melakukan verifikasi mandiri.

Tidak hanya itu, kasus regional di Bangka Belitung juga memberikan preseden hukum yang ironisnya bertolak belakang dengan semangat Keputusan KPU 731/2025. Pada tahun 2025, Komisi Informasi (KI) Bangka Belitung memerintahkan KPU setempat untuk menyerahkan salinan ijazah calon wakil gubernur kepada publik. Putusan ini muncul setelah adanya gugatan warga yang curiga terhadap keabsahan dokumen milik Hellyana, wakil gubernur Bangka Belitung saat itu. Dari kedua kasus tersebut, terlihat bahwa akses publik terhadap ijazah calon adalah cara efektif untuk memverifikasi keabsahan riwayat pendidikan mereka. Dengan dirahasiakannya dokumen ini, proses verifikasi oleh masyarakat menjadi terhambat. Pertanyaannya, jika rekam jejak calon sudah diverifikasi KPU, mengapa publik tidak boleh melihatnya? Dan apakah verifikasi internal KPU sudah cukup untuk menjamin keabsahan data tanpa pengawasan publik?

Perdebatan ini menyoroti benturan antara dua prinsip hukum yang sama-sama penting: hak atas perlindungan data pribadi dan hak atas informasi publik. Dalam konteks calon pemimpin yang akan memegang mandat besar dari rakyat, hak atas informasi publik seharusnya memiliki bobot yang lebih besar. Seorang calon yang bersedia maju untuk jabatan publik tertinggi secara implisit telah setuju untuk mengesampingkan sebagian privasinya demi kepentingan umum. Dengan tidak dibukanya dokumen-dokumen tersebut, kepercayaan publik terhadap proses pemilihan justru dapat terkikis.

Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai sejauh mana KPU sebagai penyelenggara pemilu bertugas. Apakah KPU hanya bertindak sebagai fasilitator administrasi, atau juga memiliki kewajiban memastikan tersampaikannya informasi yang kredibel dan transparan kepada publik? Bagi banyak pihak, peran KPU tidak sekadar menerima serta memverifikasi dokumen, melainkan juga menjamin agar informasi tersebut dapat diakses publik demi terciptanya pemilu yang jujur dan adil.

Tentu ada jalan tengah yang bisa dipertimbangkan. KPU dapat membuka dokumen-dokumen tersebut dengan mengaburkan data yang sangat sensitif, seperti nomor identitas, tanpa menghilangkan substansi informasi penting bagi publik. Namun, selama ini publik hanya bisa bergantung pada kampanye masing-masing calon untuk menyampaikan rekam jejaknya, yang sering kali bias dan selektif.

Singkatnya, Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 menempatkan transparansi rekam jejak capres-cawapres pada persimpangan jalan yang penuh tantangan. Meskipun niatnya baik untuk melindungi data pribadi, implementasinya berpotensi merusak fondasi demokrasi yang mengutamakan keterbukaan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak termasuk KPU, calon, dan masyarakat untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara privasi individu dan hak publik. Tujuannya jelas: agar Pemilu 2029 mendatang tidak menjadi ajang “membeli kucing dalam karung” yang membahayakan masa depan bangsa.

 

Dipublikasi pada berita online kliktimes.id  tanggal 18 September 2025  link : https://kliktimes.id/transparansi-terancam-kpu-731-2025-dan-dilema-demokrasi/