The Government Means Nothing Without Us: Menakar Dampak Brain Drain akibat #kaburajadulu
The Government Means Nothing Without Us: Menakar Dampak Brain Drain akibat #kaburajadulu

Oleh Ahmad Farhan Syaukani (Mahasiswa Ilmu Politik Smtr 4)

The Government Means Nothing Without Us adalah ungkapan yang lahir dari gelombang demonstrasi yang digelar 17 Februari 2025 lalu. Ungkapan itu sangat tepat menggambarkan apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Pasalnya, pekan ini Indonesia diramaikan dengan dua tagar besar di internet: #kaburajadulu dan #indonesiagelap. Kedua tagar itu menjelaskan di mana posisi rakyat saat ini di hadapan pemerintah. Hadirnya dua tagar itu menjadi bukti bahwa rakyat kecewa terhadap pemerintah karena tidak mengerti bahkan tidak peduli pada persoalan rakyat. Respon pemerintah yang melakukan kontra narasi membuat ungkapan The Government Means Nothing Without Us menjadi sangat tepat dikatakan.

Trend #kaburajadulu di twitter menurut penelitian Ismail Fahmi menggunakan alat yang dinamakan “Drone Emprit”, sebuah Kecerdasan Artifisial untuk menganalisis dan memonitor media sosial berbasis big data, sudah muncul sejak tahun 2023 sebagai ungkapan yang menawarkan upaya pelarian diri dari Indonesia karena hilangnya harapan masa depan jika terus melanjutkan hidup di negeri zamrud khatulistiwa ini. Trend ini kembali mencuat di permukaan saat digunakan lagi pada 8 Januari 2025 oleh pengguna twitter bernama @amouraXEXA, dan diramaikan oleh @hrdbacot, dan @berlianidris.

Awalnya, trend ini ramai di twitter karena banyak dari masyarakat berkeluh kesah tentang pekerjaan mereka, menggosip tentang perusahaan dengan menggunakan tagar #kaburajadulu. Namun kemudian, trend ini diperkuat dengan kebijakan pemerintah tentang aturan distribusi gas subsidi 3Kg yang membuat kelangkaan gas untuk masyarakat, membuat antrian panjang bahkan sampai menelan korban jiwa. Dari sini, rakyat disadarkan, bahwa pemerintah tidak becus dalam bekerja. Tidak sampai situ, pemerintah juga kembali membuat kontroversi terkait Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengenai “efisiensi anggaran” demi program prioritas pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG). Awalnya, pemangkasan anggaran ini ditujukan untuk memangkas biaya operasional dan biaya perkantoran, namun lambat laun, pemangkasan anggaran ini semakin tidak rasional dengan memangkas banyak badan dan lembaga negara bahkan lembaga pendidikan, bantuan hukum, juga infrastruktur. Ditambah, uang dari pemangkasan anggaran ini akan digunakan sebagai pembiayaan militer dan kepolisian, dan modal aset Danantara, sebuah mesin kapitalisme baru Prabowo. Gelombang kekecewaan ini akhirnya melahirkan tagar baru #Indonesiagelap yang berbuah menjadi gelombang demonstrasi minggu-minggu belakangan ini.

Yang lebih membuat rakyat marah adalah respon pemerintah dengan membuat kontra narasi. Kontra narasi adalah kegiatan melawan penyebaran dari narasi lain yang sudah masif. Pemerintah beberapa kali melakukan kontra narasi seperti penggunaan tagar #Indonesiacerah sebagai kontra narasi #Indonesiagelap. Dalam penyebaran kontra narasi ini, pemerintah kerap kali menggunakan buzzer di internet yang kehadirannya sangat mengganggu. Bahkan yang lebih kontroversialnya lagi adalah pernyataan dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan “Yang hitam itu kau, bukan Indonesia”. Ungkapan ini semakin jelas menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap tuntutan rakyat bahkan ingin melawan balik rakyat.

Bukan hanya #Indonesiagelap, kontra narasi pemerintah untuk #kaburajadulu jauh lebih memprihatinkan. Pasalnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Emmanuel Ebenezer justru mengusir rakyat dengan mengatakan “Kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi”. Pernyataan ini menandakan bahwa pemerintah tidak menyadari potensi bahaya dari trend ini yang berpotensi menciptakan fenomena yang disebut sebagai human flight capital atau brain drain. Ini adalah masalah tentang modal dan sumber daya manusia intelektual yang akan hilang. Hal ini tentu jauh dari kontra narasi yang dilontarkan Raffi Ahmad “pergi migran pulang juragan”. Raffi Ahmad berupaya mengubah isu human flight capital atau brain drain menjadi seolah hanya perihal bisnis. Bukan, ini bukan perihal bisnis, namun perihal potensi hidup dan masa depan Indonesia. Pekerja yang kabur, berpotensi tidak akan kembali lagi, dan pemerintah abai terhadap ini.

Menakar Dampak Brain Drain Bagi Indonesia

Istilah brain drain pertama kali digunakan oleh British Royal Society untuk menjelaskan migrasi tenaga ahli menuju negara maju. Sekitar tahun 1950 an dan 1960 an, banyak dari ilmuwan Inggris yang bermigrasi menuju Amerika Serikat dan Kanada sehingga menyebabkan turunnya angka Sumber Daya Manusia tinggi di Inggris. Brain drain, bisa diartikan sebagai fenomena di mana individu berbakat memilih untuk meninggalkan negara asal mereka demi mencari peluang karier dan kehidupan yang lebih baik di luar negeri (Bongers, Díaz-Roldán, and Torres 2022 dalam Elisa Eliyani Putri 2025:1). Fenomena ini tidak hanya terjadi pada profesional berpengalaman, namun juga pada lulusan perguruan tinggi yang ingin mencari peluang kerja dan pengalaman yang lebih menjanjikan di luar negeri.

Elisa Eliyani Putri (2025) dalam artikelnya “Generasi Z dan Brain Drain: Apa yang Mendorong Talenta Untuk Pergi?” melakukan penelitian dan menemukan bahwa fenomena brain drain ini cenderung menyasar pada kalangan anak muda sebagai sumber daya manusia untuk masa depan. Golongan anak muda yang diteliti Eliyani ini menyasar pada generasi Z yang lahir pada dekade 1997-2012. Eliyani menemukan beberapa faktor yang menyebabkan mengapa generasi Z saat ini ingin melarikan diri dan mencari peruntungan ke luar negeri.

Pertama, kesempatan ekonomi menjadi alasan mengapa generasi Z mendorong fenomena brain drain. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa peluang kerja di luar negeri jauh lebih menguntungkan daripada di Indonesia. Disebut bahwa pasar kerja di Indonesia tidak bisa menyerap aspirasi mereka, baik dalam hal pengakuan, maupun keterampilan. Pasar kerja di Indonesia juga tidak memiliki jaminan kesejahteraan sehingga banyak menghasilkan kelompok kerja rentan. Pasar kerja di Indonesia, cenderung banyak menghasilkan apa yang disebut sebagai indecent work, atau pekerjaan tak layak. Faktor kedua adalah kualitas pendidikan. Banyak dari generasi Z berpikir bahwa pendidikan di luar negeri memberikan kurikulum yang lebih relevan, fasilitas yang lebih memadai, dan jaringan profesional yang lebih luas dibanding Indonesia. Berpendidikan di Indonesia hanya menghambat mereka untuk membangun cita-cita yang lebih global.

Ketiga, adalah ketidakpuasan sosial dan politik. Faktor ini adalah bukti yang cocok dari tema yang saya angkat sekarang, bahwasannya faktor politik menjadi penyebab mengapa akhirnya banyak dari mereka ingin melarikan diri dari Indonesia. Ketidakstabilan politik, birokrasi yang rumit, tingginya angka korupsi, pengaturan kebijakan yang tidak relevan, penurunan angka demokrasi dan hak asasi manusia adalah unsur-unsur dari faktor ketiga. Maka tidak heran jika #kaburajadulu menjadi sangat koheren dengan keadaan Indonesia saat ini yang tidak stabil secara politik. Trend ini adalah respon yang tepat dikatakan sebagai deklarasi faktor ketiga ini. Keempat, yakni faktor aspirasi pengembangan diri. Generasi Z berpikir bahwa Indonesia bukan tempat yang cocok untuk mengembangkan potensi hidup dan kemanusiaan mereka. Hal ini bukan semata pada motif ekonomi semata, namun sudah bergeser pada motif yang lebih dalam seperti pengembangan diri dan pencarian makna hidup. Faktor keempat ini tepat digunakan untuk menepis kontra narasi yang dilontarkan oleh Raffi Ahmad yang berpikir migrasi kalangan berbakat ke luar negeri hanya bermotifkan ekonomi dan bisnis. Anak muda saat ini sudah berpikir bahwa Indonesia sudah tidak lagi menjadi tempat yang layak untuk mengembangkan potensi diri. Alasan mereka melarikan diri ke luar negeri bukan hanya untuk mencari peluang ekonomi yang bisa dimanfaatkan dan ditabung ketika kembali ke Indonesia, namun migrasi ke luar negeri adalah alasan yang lebih eksistensial. Raffi Ahmad tidak berhasil membaca kekayaan ekonomi sebagai kekayaan yang akan habis, dan menyingkirkan fakta bahwa kekayaan seperti peluang ekonomi, kesempatan politik, kenyamanan fasilitas, kualitas pendidikan, keamanan negara, kesejahteraan penduduk itu jauh lebih penting dan tidak akan habis. Nyatanya, fakta yang kedua lah yang membuat rakyat nyaman tinggal dalam suatu negara.

Penelitian dari Universitas Jember tahun 2018 pada artikel “Fenomena Brain Drain Indonesia dan Dampaknya bagi Indonesia” menunjukkan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh negatif dan signifikan bagi Indonesia (Santoso, Muslihatinningsih, and Zainuri 2022: 47). Penduduk tidak akan bermigrasi jika tidak ada perbedaan pendapatan atau perbedaannya hanya sedikit. Jika pendapatan perkapita Indonesia tinggi, maka akan mengurangi brain drain, dan sebaliknya, jika pendapatan perkapita negara tujuan tinggi, maka akan mendorong brain drain di Indonesia. Permasalahan ini akan berputa menjadi lingkaran setan: jika pendapatan perkapita Indonesia rendah, akan mendorong angka brain drain, dan jika angka brain drain dan migrasi tenaga kerja berpendidikan naik, maka pendapatan perkapita Indonesia akan turun karena mengalami penurunan tenaga kerja terdidik dan terlatih.

Brain drain akan merugikan ekonomi negara karena kekurangan tenaga kerja terdidik dan kehilangan sumber daya manusia berkapabilitas tinggi. Fenomena ini juga merugikan negara karena hasil-hasil temuan penelitian penduduk negara yang penduduknya bermigrasi akan dipatenkan negara tujuan. Tahun 1990an adalah puncak dari brain drain di India, dan Amerika Serikat menjadi negara yang dituju migran di India. Amerika Serikat sebagai negara tujuan mendapatkan keuntungan yang sangat besar, mencapai US$ 4 Miliar. Sebaliknya, India mengalami kerugian dengan angka yang serupa.

Mempertanyakan Nasionalisme?

Pemerintah juga melakukan kontra narasi menggunakan klip video dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia 2023 lalu saat masih menjadi Menteri Investasi. Bahlil berkomentar tentang warga negara Indonesia yang ingin pindah kewarganegaraan. Namun, video lawas itu kembali digunakan untuk mengembalikan narasi #kaburajadulu. Dalam video itu, Bahlil menyinggung dan mempertanyakan soal nasionalisme dari WNI yang ada di luar negeri. Hal ini sangat lucu untuk dikatakan pemerintah karena seharusnya rakyat lah yang mempertanyakan nasionalisme kepada pemerintah yang korup, inkonstitusional, oligarkis, dan tidak akuntabel.

Nyatanya, PMI (Pekerja Migran Indonesia) menyumbang pemasukan devisa dalam bentuk remitansi ke Indonesia. Adapun remitansi adalah layanan jasa pengiriman uang yang dilakukan oleh pengirim dari Indonesia ke penerima di luar negeri ataupun sebaliknya. PMI kerap mengirimkan uang dari negara bekerja ke Indonesia—remitansi itu disebut remitansi masuk (inward remittance). Kemudian, uang tersebut akan digunakan keluarga PMI untuk memutar perekonomian.

Perekonomian Indonesia 2024 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp22.139,0 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau USD4.960,3 (Lihat bps.go.id). Angka remitansi yang tercatat Bank Indonesia di tahun 2024, adalah US$15.702 Juta Dolar atau senilai 255 Triliun (Lihat bi.go.id). Bisa dikatakan PMI adalah pahlawan bagi devisa negara karena telah banyak menyumbang pendapatan sebanyak itu untuk Indonesia. Berdasarkan angka sebanyak itu, apakah Bahlil masih mempertanyakan nasionalisme WNI yang bekerja di luar negeri?

Ungkapan The Government Means Nothing Without Us Sebagai Ungkapan yang Tepat

Pemerintah tidak berarti apapun tanpa kami (rakyat). Ungkapan ini sangat tepat untuk dikatakan ketika pemerintah berulang kali melempar kontra narasi kepada rakyat, bahkan cenderung mengusir rakyat dan menutup mata sama sekali dari bahaya yang akan mereka hadapi. Jika kita kembali melihat Konvensi Montevideo 1933, salah satu unsur konstitutif negara adalah rakyat. Negara butuh mempertahankan kesetiaan rakyat untuk bisa tetap berdaulat. Tanpa rakyat, negara dan pemerintah bukanlah apa-apa.

Pemerintah justru menutup mata dari masalah. Pertama, mereka abai dari potensi menurunnya sumber daya manusia berkapabilitas tinggi, yang adalah modal suatu negara bisa berkembang dan memaksimalkan potensinya. Tanpa SDM tinggi, negara akan mandek bahkan mengalami kemunduran, hal ini disebabkan karena fenomena brain drain, dan pemerintah justru menutup mata akan hal itu. Apalagi, PMI merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara. Namun pemerintah seolah tidak sadar bahaya apa yang akan terjadi jika trend #kaburajadulu terus dibiarkan terjadi. Hal ini juga berpotensi menghilangkan pendapatan besar negara dari luar negeri. Pemerintah, lagi-lagi tidak berarti apapun tanpa rakyat. Kedua, negara berpotensi kehilangan legitimasi kedaulatan dari rakyat. Hal ini terbukti dari banyaknya demonstrasi yang digelar mahasiswa dan masyarakat belakangan ini. Seharusnya pemerintah segera berbenah. Legitimasi sangat dibutuhkan negara untuk tetap bisa berjalan. Tanpa legitimasi, negara akan menumbuhkan anarki di dalam suatu negara di mana rakyat dalam suatu negara tidak mengakui kedaulatan negara itu sendiri.

Mengingat cita-cita dan harapan Indonesia, yakni Indonesia Emas 2045 sangat mengandalkan dan hanya bisa berharap pada kualitas anak muda Indonesia terdidik, yang sekarang harus dibuang jauh-jauh karena nampaknya harapan itu segera sirna. Anak muda yang merupakan agen perubahan lebih tertarik untuk melarikan diri dari Indonesia dan mencari kesempatan yang lebih terbuka di luar negeri daripada berurusan dengan negaranya sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan semangat pemuda zaman kolonial yang sangat ingin memperkenalkan dan mempropagandakan kemerdekaan Indonesia di seluruh penjuru dunia. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, dan pemerintah harus sadar akan potensi bahaya ini, bukan malah menutup mata dan justru melempar balik menggunakan kontra narasi. Saya anggap pemerintah bodoh, dan harus segera berbenah, karena revolusi anak muda bisa terjadi kapan saja. Sekali lagi, apa yang harus dikatakan adalah “The Government Means Nothing Without Us!”

'#kaburajadulu

*tulisan telah di muat media online civiswise.com

link :https://civiswise.com/the-government-means-nothing-without-us-menakar-dampak-brain-drain-akibat-kaburajadulu/