Teliti Keunikan Sistem Pendidikan Mu’allimin, Dosen FISIP Raih Gelar Doktor
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (FISIP UIN Jakarta, Saifudin Asrori, berhasil meraih gelar Doktor Pengkajian Islam untuk konsentrasi Sosiologi-Antropologi dari Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta. Ia berhasil menjadi Doktor ke-1.462 yang diluluskan SPs UIN Jakarta setelah melewati ujian Promosi Doktor di Auditorium Prof. Dr. Suwito Gedung SPs, Senin (7/8/2023).
Pada ujian tersebut, Lektor Prodi Sosiologi FISIP UIN Jakarta tersebut mempertahankan disertasi berjudul ‘Modernisme Islam Kaum Santri: Reproduksi dan Variasi Pendidikan Islam Pondok Pesantren Alumni Gontor’. Disertasi ini ditulis di bawah bimbingan Prof. Dr. Jamhari MA, Prof. Dr. Ali Munhanif MA, dan Prof. Jajang Jahroni MA Ph.D.
Selain ketiga pembimbingnya, ujian disertasinya menghadirkan sejumlah penguji lain seperti Prof. Dr. Didin Saepudin MA, Prof. Dr. Masri Mansoer MA, dan Prof. Dr. Yusron Razak MA. Ujian disertasi sendiri dipimpin langsung Direktur SPs Prof. Dr. Zulkifli MA. Dalam ujian yang berlangsung lebih kurang dua jam, Saifudin berhasil meraih predikat Cum Laude.
Seperti dipaparkannya dalam ujian promosi, Saifudin meletakkan fokus kajiannya pada sistem pendidikan Mu’allimin yang diterapkan oleh pondok pesantren alumni Gontor (Pesantren Darussalam Gontor, Jawa Timur). Dalam hal ini, Saifudin melihatnya dari pengalaman Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura, Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Pesantren al-Syeikh Abdul Wahid Bau-Bau Buton, dan Pesantren Mawaridussalam Deli Serdang.
Riset disertasinya mencatat sistem pendidikan Mu’allimin menjadi sistem pendidikan yang cukup menarik bagi masyarakat Muslim di tanah air. Selain menyediakan pendidikan dengan kurikulum pembelajaran modern, sistem pendidikan juga menawarkan pengajaran Islam secara bersamaan.
“Yaitu kelompok masyarakat yang mampu menyekolahkan anaknya jauh dari rumah dengan harapan mendapatkan pendidikan yang baik, dengan tetap mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian,” paparnya.
Dalam catatan Saifudin, pondok pesantren alumni Gontor yang mengadopsi sistem pendidikan Mu’allimin berjumlah cukup banyak. “Berdasarkan data pada pertemuan Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) ada sekitar 450-an pesantren,” ungkapnya.
Sistem pendidikan Mu’allimin yang dikembangkan Pondok Pesantren Gontor, jelasnya, berkembang menjadi pola pengelolaan pendidikan pesantren yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Proliferasi sistem pendidikan Islam mu’allimin bukan hanya menandai bentuk transmisi ilmu pengetahuan dan kelembagaan pondok modern berdasarkan pengalaman belajar yang diperoleh Alumni. “Namun juga, menjadi bukti kemampuan adaptasi sistem pendidikan ini dengan perkembangan lingkungan sekitar,” katanya.
Mayoritas pesantren alumni, lanjutnya, berusaha untuk beradaptasi dengan sistem pendidikan yang diakui pemerintah. Dalam hal ini, struktur pengelolaan, pengawasan dan pendanaan melekat dalam jaringan kompleks birokrasi Kementrian Agama, Kementerian Pendidikan dan Budaya, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pondok Alumni juga berkembang memawakili potret keaneragaman orientasi keagamaan kiai dan organisasi keagamaan. Banyak Alumni menjadi basis perkembangan ideologi transnasional seperti, Hizbut Tahrir, Salafi, Wahabi, Tarbiyah, juga kebangkitan beberapa kelompok spiritual sufi dan mistisisme.
Saifudin menuturkan, beragam varian pondok pesantren Alumni, baik dalam perbedaan sistem perjenjangan, kurikulum, maupun orientasi keagamaan menjadi bukti bahwa istilah ‘modern’ atau ‘modernisme’ mempunyai beragam makna, berlapis dan tidak tunggal.
“Hal ini juga menunjukkan kontribusi penting Pondok Alumni dalam memproduksi budaya atau tradisi seiring dengan perkembangan masyarakat di mana pondok pesantren tersebut berada,” pungkasnya.