Tabayyun di Era Digital, Ketika Deepfake Mengancam Kebenaran dan Diplomasi Internasional
Tabayyun di Era Digital, Ketika Deepfake Mengancam Kebenaran dan Diplomasi Internasional

Penulis : Annisa Khairani Ali Hakim (Mahasiswi Semester 5 Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta) 

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ۝٦

"Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: 6)

Turunnya ayat ini ketika Rasulullah SAW mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat dari kabilah Bani Mustaliq. Dalam perjalanannya, Al-Walid mendengar kabar bahwa mereka hendak mencelakainya, sehingga ia kembali kepada Nabi tanpa memastikan kebenarannya. Ia kemudian melaporkan bahwa Bani Mustaliq telah menolak zakat dan keluar dari Islam. Rasulullah pun hampir mengirim pasukan untuk menyerang. Namun Allah menurunkan ayat ini sebagai pengingat atas pentingnya tabayyun atau klarifikasi kebenaran sebelum mengambil keputusan yang dapat menimbulkan mafsadah (kerusakan).

Dalam konteks inilah ajaran tabayyun menemukan relevansinya yang krusial di era digital. Keamanan internasional kini tidak lagi sekadar kompetisi persenjataan atau penguatan kekuatan militer untuk melindungi diri dari serangan luar. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyadarkan kita bahwa ancaman jauh lebih kompleks dan tidak selalu berwujud fisik. Salah satu bentuk baru ancaman dari teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah deepfake dengan teknologi seperti penukaran wajah (identity swap), transfer ekspresi (face reenactment), perubahan atribut fisik seperti usia, mimik (attribute manipulation), hingga sintesis wajah artifisial (entire face synthesis). Deepfake tidak hanya alat biasa, tetapi juga senjata geopolitik yang dapat merombak cara negara berdiplomasi dan menggoyahkan prinsip etika maupun norma yang digenggam secara universal.

Metamorfosis Ancaman: Dari Pandemi Biologis ke Pandemi Digital

Pandemi COVID-19 meninggalkan warisan yang kompleks. Selain jutaan nyawa yang hilang dan ekonomi global yang banyak terpuruk, pandemi memaksa dunia bertransformasi secara digital dalam tempo yang sangat cepat. Pertemuan diplomatik yang dulunya dilakukan tatap muka kini beralih ke platform virtual, bahkan pembelajaran yang dulu berlangsung di ruang kelas kini berpindah ke rumah setiap siswa. Sementara itu, informasi melesat secepat kilat lewat media sosial.

Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber global, memperkirakan bahwa pada tahun 2025 serangan menggunakan deepfake akan menjadi senjata umum di Asia Pasifik. Prediksi ini diperkuat dengan kasus yang terjadi di Indonesia yang melibatkan pejabat tinggi negara seperti video yang menggambarkan Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang seolah-olah menyebut guru sebagai “beban negara” viral di media sosial yang memicu kemarahan publik sehingga mendorong aksi protes. Dilansir dari liputan6.com, menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Republik Indonesia Deni Surjantoro, potongan video tersebut hoaks hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus. Meski klarifikasi resmi segera dikeluarkan, kerusakan sudah terjadi dan telah membuat reputasi menteri tercoreng dan memicu keraguan publik.

Dalam perspektif Islam, fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk kontemporer dari al-kidzb (kebohongan) dan al-taghrir (penipuan) yang dampaknya tidak hanya individual, tetapi kolektif juga dan struktural. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra ayat 36, Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." Ayat ini mengingatkan bahwa setiap hal akan diminta pertanggungjawaban, terutama jika menyebabkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar daripada maslahah (kemaslahatan) yang dihasilkannya. Merujuk terhadap ayat diatas memberikan saya pelajaran untuk dapat lebih teliti lagi dalam menerima informasi yang datang serta saling mengingatkan satu sama lain agar dapat bergotong royong untuk mencapai Indonesia yang bersatu juga berdaulat.

Paradoks Kedaulatan Digital: Antara Keterbukaan dan Keamanan

Ancaman deepfake menempatkan pada dua sisi bahwasanya negara-negara ingin melindungi warganya dari manipulasi digital dan menjaga stabilitas keamanan nasional dan di sisi lain, upaya kontrol yang terlalu ketat dapat berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan inovasi teknologi. Dalam konteks Indonesia, pendekatan "jalan tengah" atau wasathiyah dapat menjadi solusi. Indonesia perlu menemukan model kedaulatan digital yang sesuai dengan karakteristik masyarakatnya yang terbuka terhadap inovasi, tetapi memiliki batas yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat mengancam keamanan nasional. Pendekatan wasathiyah ini sejalan dengan filosofi yang telah lama dipegang oleh organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dalam berbagai konteks. Seperti yang dicontohkan dalam sejarah, ketika NU menghadapi dilema antara nasionalisme dan Islam pada masa awal kemerdekaan, NU memilih jalan sintesis dengan konsep hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Begitu pula dalam menghadapi tantangan digital, Indonesia perlu mensintesiskan nilai-nilai keterbukaan dengan imperatif keamanan, menciptakan ekosistem digital yang inovatif namun aman, progresif namun bertanggung jawab.

Jika pandemi COVID-19 mengajarkan kita tentang pentingnya solidaritas global dalam menghadapi ancaman kesehatan, maka ancaman deepfake mengajarkan kita tentang pentingnya kepercayaan kolektif yang dibangun atas fondasi tabayyun dalam menghadapi ancaman informasi. Inilah saatnya kita menyadari bahwa keamanan internasional di era post-pandemic bukan hanya tentang melindungi batas teritorial, melainkan juga tentang melindungi batas batas kebenaran itu sendiri. Memastikan bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan percayai adalah cerminan dari realitas, bukan manipulasi digital. Surah Az-Zumar ayat 18: "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat."

Prinsip tabayyun yang diajarkan Al-Qur'an tidak hanya relevan untuk konteks masa lalu, tetapi juga panduan abadi yang semakin penting di era digital ini. Ketika teknologi berkembang dengan sangat cepat dan ancaman terhadap kebenaran semakin canggih, nilai nilai Islam justru menawarkan fondasi etis yang kokoh untuk menavigasi kompleksitas dunia modern. Inilah peran penting yang dapat dimainkan oleh umat Islam Indonesia yang tidak hanya sebagai objek perubahan teknologi, tetapi sebagai subjek yang aktif merumuskan etika digital berbasis nilai nilai keislaman yang rahmatan lil 'alamin.

Baca Selengkapnya:

https://www.liputan6.com/bisnis/read/6136603/viral-video-sri-mulyani-sebut-guru-beban-negara-kemenkeu-bilang-begini?page=4 https://www.komdigi.go.id/berita/artikel/detail/komitmen-pemerintah-melindungi-anak-di-ruang-digital