Strategi Hedging atas Kebijakan BRI China
Lahirnya Belt and Road Initiative (BRI) yang notabene merupakan salah satu kebijakan luar negeri dan ekonomi Pemerintah China yang bertujuan untuk memperkuat pengaruh ekonomi China melalui program yang luas dan menyeluruh dalam pembangunan infrastruktur di seluruh negara yang dilewati jalur tersebut mendapatkan respond dari Pemeritahan. Dalam hal ini, Pemerintah Indoenesia meresponsnya dengan strategi hedging,” demikian yang diungkapkan narasumber Moch Faisal Karim, Ph.D. dalam Friday Talk FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jum’at 19 Mei 2023 yang digelar secara daring.
Hedging sendiri, jelas Faisal Karim, merupakan pendekatan strategis dalam hubungan internasional yang digunakan negara-negara untuk mengelola ketidakpastian dan risiko. Pendekatan ini melibatkan upaya mencari jalan tengah antara strategi menyeimbangkan (balancing) dan mengikuti (bandwagoning). Negara-negara biasanya melakukan hedging untuk menghindari komitmen absolut, menjaga fleksibilitas dalam aliansi dan hubungan mereka. Hedging juga memungkinkan suatu negara untuk terlibat dengan negara lain yang memiliki power dominan secara damai, sekaligus mempersiapkan diri untuk kemungkinan konflik. Hedging melibatkan pembangunan kemampuan ekonomi, politik, dan militer sebagai tindakan pencegahan. Negara-negara yang mempraktikkan hedging menjaga hubungan persahabatan dengan saingan dan sekutu, memberikan opsi diplomatik dalam lanskap global yang terus berubah.
Secara lebih jauh, Faisal Karim berargumen, dengan menggunakan pendekatan geopolitik Marxist, logika geo-ekonomi merupakan pendorong utama pembuatan kebijakan luar negeri dan respon negara-negara di Asia tenggara terhadap Cina harus dilihat dalam perdebatan geo-ekonomi yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa geopolitik tradisional. Dalam konteks respon Indonesia terhadap BRI, narasumber berpandangan bahwa strategi hedging yang dilakukan indonesia bukan berasal dari strategi besar (Grand strategy) Indonesia akan tetapi merupakan kebijakan inkoherensi yang lahir dari proses perebutan kekuasaan yang mengurangi kejelasan strategi besar negara. Dalam hal ini, fragmentasi negara (state fragmentation) mendorong adanya fleksibilitas antar lembaga dalam pemerintah yang menjadi penyebab munculnya strategi hedging yang diadopsi oleh Indonesia dalam isu BRI.
Demikian benang merah yang tersaji dalam Friday Talk, yang sangat menarik dan disambut cukup antusias oleh para peserta yang berjumlah 88. Tidak heran, banyak pertanyaan yang diajukan oleh mereka dalam sesi tanya jawab setelah pemaparan materi.
Acara Friday Talk yang sudah menjadi rutin ini diawali dengan sambutan dari Dekan FISIP Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah, M.Si, M.A. yang sangat apresiatif atas kegiatan semacam ini. Dalam pandangannya, kegiatan ini sangat bermanfaat antara lain sebagai forum diskusi bagi para dosen bahkan mahasiswa. Acara sendiri dimoderati oleh dosen Sosiologi FSIP UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, Ph.D. Sementara peserta adalah para dosen FISIP, juga sejumlah kolega dari asosiasi seperti Apsipol (Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia), APSSI (Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia, dan AIHII (Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia).
[gallery link="file" ids="6502,6503,6504,6505,6506"]