Siapa yang Terancam oleh Brave Pink? Bukan Dunia, Melainkan Kekuasaan yang Lalai
Penulis : Mufti Maulani Subha Annura (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional)
Apakah semua gerakan masyarakat yang melintasi batas negara otomatis menjadi ancaman internasional? Atau justru menegaskan solidaritas lintas bangsa?
Sebuah demonstrasi telah menggemparkan Indonesia pada akhir Agustus 2025 lalu. Aksi tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan gaji dan akomodasi anggota parlemen, sementara kondisi pekerja masih digaji tidak layak dan bahkan tereksploitasi. Kemurkaan publik memuncak. Pada 28 Agustus 2025, terdapat sosok seorang ibu bernama Ana yang mengenakan jilbab pink dan berdiri di barisan depan. Ia menjadi representasi keberanian sekaligus kemarahan rakyat yang selama ini ditekan. Dari momen itulah muncul sebuah simbol yang kemudian dikenal luas sebagai Brave Pink.
Fenomena ini tidak berhenti di dalam negeri. Simbol Brave Pink turut muncul dalam demonstrasi warga Indonesia di Belanda, Australia, dan beberapa negara lain, terutama dari komunitas diaspora yang ikut menyuarakan tuntutan yang sama. Penyebarannya melalui media sosial mendorong bentuk solidaritas baru yang melintasi batas negara. Di sinilah sebagian pihak mulai berspekulasi bahwa gerakan masyarakat seperti ini dapat memengaruhi stabilitas politik di luar Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah ekspresi politik rakyat yang menuntut keadilan layak dilihat sebagai ancaman bagi keamanan internasional?
Dalam kajian keamanan internasional, suatu isu dianggap sebagai ancaman global apabila memiliki kapasitas untuk memicu konflik antarnegara, mengganggu stabilitas kawasan, atau mengharuskan intervensi komunitas internasional. Parameter ini digunakan untuk membedakan isu domestik yang berskala lokal dan isu yang berdampak pada sistem internasional secara luas. Brave Pink, dalam hal ini, muncul sebagai respon terhadap ketimpangan kebijakan ekonomi-politik nasional dan tidak berhubungan dengan aktor negara asing maupun kelompok bersenjata lintas batas. Dengan demikian, ancaman yang dinisbatkan kepada Brave Pink belum mencapai ambang batas isu keamanan internasional secara teoretis.
Menurut saya, Brave Pink justru menunjukkan bagaimana masyarakat sipil dapat bersatu untuk memperjuangkan hak-haknya. Jika ada yang merasa terancam, mungkin itu bukan karena bahayanya pada keamanan global, melainkan karena keberanian rakyat dapat menggoyahkan struktur kekuasaan yang menindas. Brave Pink juga turut mempertegas peran perempuan sebagai aktor penting dalam perjuangan politik rakyat, dengan simbol keberanian yang melekat pada kata “Brave” dan warna “Pink” yang identik dengan keteguhan serta empati. Gerakan ini menegaskan bahwa masyarakat berhak menuntut keadilan dan perlindungan atas hak ekonomi dan politik mereka. Setelah fenomena ini mencuat, pemerintah pun terdorong untuk merespons secara lebih transparan dan akuntabel terhadap tuntutan publik. Hal tersebut justru menunjukkan bahwa partisipasi politik melalui simbol Brave Pink memperkuat demokrasi di Indonesia. Hal ini kembali mempertegas bahwa Brave Pink bukan merupakan ancaman, melainkan kontribusi nyata terhadap keamanan manusia yang bertumpu pada penghormatan martabat dan kesejahteraan masyarakat.
Jika dilihat dari perspektif keamanan feminis, Brave Pink justru menyoroti bagaimana perempuan menjadi subjek utama dalam menuntut keamanan yang sesungguhnya: keamanan ekonomi, sosial, dan politik. Keamanan tidak lagi dipahami sebatas perlindungan negara dari ancaman eksternal, melainkan meluas pada perlindungan individu yang paling rentan. Fakta bahwa seorang ibu seperti Ana dapat berdiri di garis terdepan menunjukkan bahwa perjuangan keberanian tidak selalu datang dari kekuatan militer, tetapi dari mereka yang selama ini dianggap tidak memiliki suara dalam politik. Ini adalah bentuk keamanan yang sangat manusiawi dan tidak seharusnya dibaca sebagai ancaman internasional.
Fenomena gerakan berbasis simbol ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebelumnya, gerakan 'Women in White' di Belarus atau 'Pink Tide' di Amerika Latin menunjukkan bahwa warna dan identitas perempuan dapat menjadi pemantik keberanian publik untuk menuntut perubahan. Meski gerakan-gerakan tersebut mendapatkan perhatian dunia, tidak ada satupun yang dilabeli sebagai ancaman keamanan internasional. Dengan membandingkan konteks ini, kita dapat melihat bahwa Brave Pink berada dalam tradisi gerakan global berbasis solidaritas rakyat tanpa menimbulkan konsekuensi geopolitik.
Aksi serupa yang dilakukan diaspora Indonesia di Belanda, Australia, dan beberapa negara lain memperlihatkan bahwa Brave Pink telah bertransformasi menjadi simbol solidaritas lintas batas. Penyebarannya bukan untuk mengancam keamanan internasional, tetapi untuk memperluas suara rakyat yang menuntut perubahan. Kekhawatiran justru datang dari aktor-aktor yang merasa posisi politiknya terancam ketika masyarakat semakin sadar akan hak-haknya. Brave Pink merupakan isu keamanan manusia dan gender yang penting, tetapi belum memenuhi ambang kategorisasi keamanan internasional karena tidak menimbulkan konsekuensi transnasional dan masih dapat ditangani dalam kerangka kebijakan domestik. Dengan kata lain, ancaman yang dimunculkan Brave Pink bersifat ideologis dan terarah pada mereka yang takut terhadap gerakan pro demokrasi, bukan ancaman terhadap stabilitas dunia internasional secara keseluruhan.
Karena suatu isu baru dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan internasional apabila memiliki dampak lintas negara yang mengganggu kepentingan strategis negara lain. Hingga saat ini, tidak terdapat negara yang merasa stabilitas politiknya terpengaruh akibat munculnya Brave Pink di Indonesia. Bahkan aksi diaspora yang terjadi di Belanda, Australia dan beberapa negara lain pun hanya sebatas solidaritas warga Indonesia di luar negeri tanpa menimbulkan gejolak sosial di negara tuan rumah. Artinya, Brave Pink tidak menciptakan ketegangan antarnegara ataupun potensi konflik yang dapat menarik keterlibatan komunitas internasional.
Lebih jauh lagi, komunitas internasional saat ini justru mendorong negara untuk menjamin ruang partisipasi warga dalam menyuarakan hak-haknya. Prinsip kebebasan berkumpul dan berekspresi telah dijamin dalam ICCPR dan merupakan bagian dari agenda demokrasi global yang diperkuat melalui Sustainable Development Goals, khususnya SDG 16 tentang perdamaian, keadilan dan institusi yang kuat. Dengan demikian, Brave Pink selaras dengan nilai internasional yang sah. Jika ada respons negatif, hal itu bukan karena Brave Pink mengancam keamanan global, tetapi karena gerakan ini menuntut negara agar lebih taat pada standar hak asasi manusia yang diakui dunia.
Selain itu, pemberitaan dan framing media global sering kali memengaruhi cara suatu isu dilihat dalam kacamata internasional. Gerakan yang mendapatkan sorotan media asing tidak serta merta menjadi ancaman global. Brave Pink memang sempat masuk dalam pemberitaan luar negeri sebagai representasi keberanian perempuan Indonesia menghadapi ketidakadilan, namun pemberitaan tersebut berkutat pada isu domestik. Tidak ada narasi tentang potensi ancaman geopolitik atau gangguan hubungan antarnegara. Artinya, pengaruh Brave Pink dalam ranah internasional masih sebatas pantauan solidaritas, bukan perhatian keamanan.
Sering kali, negara berusaha menempatkan gerakan sosial seperti Brave Pink dalam bingkai ancaman agar legitimasi untuk melakukan kontrol atau pembatasan kebebasan sipil lebih mudah diterima publik. Pelabelan suatu gerakan sebagai “ancaman keamanan” dapat menjadi alat untuk membungkam warga. Namun dalam kasus ini, pemerintah justru memilih merespons dengan transparansi, bukan represi. Hal ini menandakan bahwa Brave Pink tidak memaksa negara ke arah tindakan bersifat keamanan internasional, melainkan mendorong peningkatan kualitas demokrasi.
Keamanan internasional juga berkaitan dengan ketahanan sosial suatu negara. Ketika masyarakat memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasi melalui gerakan damai seperti Brave Pink, hal tersebut justru berkontribusi pada stabilitas domestik. Stabilitas internal adalah fondasi bagi keamanan eksternal. Jika mekanisme partisipasi demokratis berjalan, risiko konflik yang bermuara pada ancaman internasional justru dapat diminimalisasi. Dengan kata lain, Brave Pink memperkuat pertahanan sosial dari dalam, bukan melemahkannya.
Gerakan ini juga dapat dipandang sebagai mekanisme pencegahan krisis politik. Tanpa adanya saluran aspirasi yang terbuka, keluhan publik dapat berubah menjadi eskalasi yang lebih berbahaya. Brave Pink berfungsi sebagai peringatan dini bahwa ada ketidakadilan struktural yang harus segera diperbaiki. Respon cepat pemerintah menunjukkan bahwa aspirasi publik dapat menjadi mitigasi konflik, sehingga mencegah potensi meluasnya ketegangan yang berpotensi menarik perhatian komunitas internasional.
Maka sebenarnya, pertanyaan yang layak diajukan bukanlah apakah Brave Pink mengancam keamanan internasional, tetapi siapa yang paling merasa terancam oleh gerakan ini. Jawabannya jelas: kelompok-kelompok yang diuntungkan oleh ketidakadilan. Mereka takut bukan karena ancaman perang atau kekacauan global, melainkan karena keberanian rakyat dapat meruntuhkan kenyamanan kekuasaan yang tidak akuntabel. Ancaman itu bersifat moral dan politik, bukan keamanan internasional
Di sisi lain, sebagian pihak menganggap bahwa mobilisasi massa seperti Brave Pink berpotensi menimbulkan ketegangan politik dan instabilitas domestik. Kekhawatiran tersebut dapat dimengerti, terutama ketika gerakan masyarakat dipersepsikan sebagai tekanan terhadap otoritas negara. Namun, karakteristik Brave Pink yang non-kekerasan dan fokus pada hak asasi membuat gerakan ini tetap berada dalam koridor demokrasi. Justru respons negara yang mengakomodasi aspirasi publik menunjukkan bahwa sistem politik Indonesia memiliki kapasitas adaptif untuk meredam konflik tanpa mengarah pada ancaman lintas batas. Dengan demikian, kekhawatiran tersebut lebih mencerminkan kecemasan politik internal ketimbang isu keamanan internasional.
Berdasarkan analisis tersebut, Brave Pink tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman keamanan internasional karena tidak memicu konflik antarnegara, tidak mengganggu stabilitas kawasan, serta tidak menimbulkan kekerasan transnasional yang menjadi parameter utama isu keamanan internasional. Fenomena ini lebih tepat dipahami sebagai penguatan keamanan manusia, partisipasi publik, serta praktik demokrasi yang sehat. Kehadirannya tidak mengancam tatanan global, melainkan memberi harapan bahwa masyarakat sipil memiliki ruang untuk bersuara dan memastikan negara tetap berpihak pada perlindungan hak warganya. Dalam konteks ini, Brave Pink bukan ancaman, melainkan simbol kematangan demokrasi Indonesia.
Dengan kata lain, Brave Pink beroperasi di ruang yang memperkuat masyarakat, bukan merusak hubungan antarnegara, sehingga kategorisasi sebagai ancaman keamanan internasional tidak memiliki landasan yang memadai.
