Seminar Perempuan dan Diplomasi Publik
Berita FISIP. Selasa 04 Nopember 2025. Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Seminar Perempuan dan Diplomasi Publik dengan Tema erakan Dakwah Sebagai Instrument Demokrasi Kultural Indonesia Di Dunia Global yang dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia Arifah Choiri Fauzi , dan Rektor UIN Jakarta Prof. Asep Saepudin Jahar M.A., Ph.D. dengan Narasumber Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Safira Machrusah, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023 Prof Dr. Amany Lubis MA., Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014 Yuniyanti Chuzaifah, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Brunei Darussalam Prof. Dr. Achmad Ubaedillah, M.A. dan Direktur Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh, yang dikenal dengan nama Yenny Wahid. dihadiri oleh Muslimat NU, Fatayat NU dan Mahaiswa FISIP UIN Jakarta di Auditorium Prof. Bahtiar Effendy FISIP pada hari Selasa 04 Nopember 2025.
Ibu Menteri menyampaikan Pertama, memperkuat literasi global perempuan agar mampu memahami isu-isu ekonomi politik internasional, transformasi teknologi, serta dinamika sosial budaya dunia. Kedua, membangun ekosistem dukungan melalui kebijakan afirmatif, akses pembiayaan aktivitas publik, dan jejaring lintas negara maupun lintas sektor. Ketiga, menciptakan narasi strategis berbasis nilai dan identitas. Perempuan Indonesia membawa modal budaya yang kaya, Islam yang moderat, kearifan lokal, serta tradisi sosial yang kuat. Ini adalah sumber soft power yang luar biasa.
Safira Machrusah menyampaikan bahwa diplomasi kultural merupakan bagian dari soft diplomacy yang melibatkan aktor non-negara sebagai instrumen penting. Menurutnya, gerakan dakwah telah menjadi bagian dari diplomasi kultural sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, meski belum terkonsep secara formal. “Diplomasi dakwah akan berhasil jika didukung pembiayaan dari pemerintah, adanya peluang bisnis, dan semakin sigapnya sebuah negara,” ujarnya
Amany Lubis mengatakan bahwa pentingnya memperkuat diplomasi publik berbasis nilai Islam rahmatan lil alamin. “Ini tugas kita sebagai ormas (organisasi kemasyarakatan) dan pendidik untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat. Nilai-nilai rahmatan lil alamin mengajarkan kita untuk membela keadilan, menghilangkan penganiayaan, pelecehan, dan peminggiran.
Yuniyanti Chuzaifah menilai diplomasi perdamaian dan dakwah perlu menjadi kebijakan sistemik. Ia mencontohkan pengalamannya dalam mengawal isu perdamaian di Afghanistan, melahirkan Marrakech Declaration, serta memperjuangkan perlindungan bagi perempuan pembela HAM dan kelompok rentan di forum internasional. “Strategi membangun perdamaian dapat dilakukan dengan menyerukan damai di ranah publik dan domestik, memperkuat agensi perempuan agar tidak selalu diposisikan sebagai korban, serta mendengarkan suara kelompok rentan sebagai pijakan dakwah diplomasi,” ujarnya. Yuni mengajak agar dunia Islam aktif mengampanyekan penghentian kekerasan global, perang, dan eco-war, dan memperkuat gerakan ecosipasi demi menjaga keberlanjutan kehidupan.
Ubaedillah memberikan contoh peran perempuan Indonesia di Brunei Darusalam dalam penyebaran Dakwah dan kegiatan keagamaan
Yeni Wahid menyampaikan bahwa Perempuan Indonesia punya kemampuan kepintaran yang tidak kalah dengan perempuan di negara lain baik di Eropah dan Amerika, dia mencontohkan saat pengalaman kuliah di luar negeri dan memotivasi Mahasiswa untuk berperan aktif dalam kancah Internasional.
Kegiatan juga diramaikan dengan Both dan stand tentang aktifitas perempuan dan AMAN Indonesia (The Asian Muslim Action Network)
(Tries)
