SEMINAR NASIONAL REVISI UU PEMILU Mencari Format ideal Sistem Pemilu di Indonesia & Soft Lounching Buku Beyond Kotak Suara Menuju Pemilu Inklusif dan Demokrasi Substantif
SEMINAR NASIONAL REVISI UU PEMILU Mencari Format ideal Sistem Pemilu di Indonesia & Soft Lounching Buku Beyond Kotak Suara Menuju Pemilu Inklusif dan Demokrasi Substantif

Berita FISIP, Kamis 14 November 2025. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta Menyelenggarakan SEMINAR NASIONAL REVISI UU PEMILU dengan Tema "Mencari Format ideal Sistem Pemilu di Indonesia & Soft Lounching Buku Beyond Kotak Suara Menuju Pemilu Inklusif dan Demokrasi Substantif" dengan Narasumber Dr. Rifqi Karsayudha (Ketua Komisi II DPR RI), Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Wakil Ketua Baleg DPR RI), Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah M.Si. M.A. (Dekan FISIP UIN Jakarta), Prof. Dr. Burhanuddin Muhtadi (Guru Besar FISIP UIN Jakarta), Dr. Iding Rosyidin, M.Si (FISIP UIN Jakarta) pada hari Kamis, 13 Nopember 2025 Pukul : 09.00 - 12.00 WIB bertempat di Auditorium Prof. Dr. Bahtiar Effendy FISIP UIN Jakarta.

Pada kesempatan ini juga dilaksanakan Soft Lounching Buku Beyond Kotak Suara Menuju Pemilu Inklusif dan Demokrasi Substantif yang merupakan hasil diskusi 12 orang pakar akadmisi yang diserahkan olen penerbit PT Rajawali Rusly Latukau  didampingi Monalisa senior editor kepada Dekan FISIP UIN Jakarta Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah, M.Si.M.A.secara simbolis.

Dr. Rifqi Karsayudha yang merupakan Ketua Komisi II DPR RI menyatakan Pemilu  merupakan  instrumen  utama  demokrasi  konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan melalui pemilihan umum dan di usulkan tentang penataan regulasi pemilu menjadi prasyarat untuk membangun  demokrasi  yang  lebih  partisipatif,  akuntabel,  dan berkeadilan.dengan KODIFIKASI DALAM HUKUM PEMILU. Kodifikasi adalah proses pengumpulan dan penyatuan norma-norma hukum substantif yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan ke dalam satu naskah hukum yang terpadu, sistematis, dan konsisten. Penataan  regulasi  pemilu  bukan  hanya  soal  teknis perundang-undangan, tetapi juga upaya membangun trust dan  sense  of  ownership  rakyat  terhadap  demokrasi. Demokrasi yang partisipatif hanya mungkin tumbuh bila hukum  pemilu  menjamin  keadilan,  transparansi,  dan keterlibatan  publik  di  setiap  tahap.  Dengan  demikian, menata regulasi pemilu berarti membangun fondasi bagi demokrasi substantif bukan sekadar prosedural.

Kodifikasi UU Pemilu bukan hanya soal teknis legislasi, tetapi  soal  keberanian  politik  dan  visi  jangka  panjang membangun  sistem  demokrasi  elektoral  yang  inklusif, efisien, dan berintegritas. Komisi II DPR RI memiliki peran sentral  dalam  menavigasi  proses  ini  agar Pemilu  kita kedepan terjadi lompatan demokrasi yang sigifikan dan menjadikan peradaban politik Indonesia hingga Indonesia Emas 2045.

Wakil ketua Baleg DPR RI Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung memaparkan Sistem Politik dan Demokrasi di Indonesia saat mulai dari Sistem Pemerintahan dari Pusat ke Provinsi sampai ke desa dan Sistem Representasi yaitu Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian. Perlunya Perbaikan UU Partai Politik dan memperbaiki UU Pemilu menjadi hal yang harus di perhatikan. Revisi UU Pemilu dan Pilkada baik serentak atau terpisah.

Prof. Dr. Burhanuddin Muhtadi (Guru Besar FISIP UIN Jakarta) yang merupakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia memberikan data terkait pemilih di Indonesia terkait survey. Isu sentral Pro dan Konra Pilkada : 1. Sikap elit partai terbelah dalam beberapa waktu terakhir ketika menyikapi dan memilih model pemilihan kepala daerah di Indonesia. 2. Sebagian elit menginginkan pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui DPRD – kembali seperti cara pemilihan Orde Baru. Sementara sebagian yang lain ingin mempertahankan cara pemilihan yang sudah berlangsung sejak tahun 2005, yakni  pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. 3. Sejauh manakah masing-masing pilihan sikap elit tersebut mencerminkan keinginan publik? Seberapa banyak publik yang menginginkan pemilihan secara tidak langsung, dan sebaliknya, seberapa banyak yang mendukung pemilihan secara langsung?. 4Mengingat bahwa anggota DPR berhak mengklaim secara formal sebagai wakil rakyat, sangat penting untuk melihat data tentang pandangan dan sikap publik yang mereka wakili.

Pilkada langsung VS Via DPRD : a. Ada dua alasan pokok yang sering dikemukakan pendukung Pilkada melalui DPRD, di samping sejumlah alasan lain. Pertama, biaya Pilkada langsung sangat mahal, sehingga menyedot anggaran daerah begitu besar. Dengan Pilkada melalui DPRD, anggaran tersebut bisa dialokasikan ke program-program yang lebih penting. b.Alasan kedua, Pilkada langsung rawan politik uang. Para kandidat kepala daerah cenderung bersaing mengumpulkan suara dengan cara “membeli” para pemilih. Kalau diubah melalui DPRD, para kandidat terpaksa lebih mengutamakan unjuk kapasitas daripada unjuk uang di hadapan anggota dewan. Jika pun terjadi politik uang, KPK akan lebih mudah memantaunya. c. Sebaliknya, argumen yang mendukung pemilihan secara langsung mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD berarti menyingkirkan suara rakyat. Juga, pemilihan tidak langsung oleh DPRD tidak akan mengurangi praktik money politics dan korupsi. disertai data survey.

Latarbelakang kuota perempuan dan demokrasi adalah 1) Ketimpangan gender masih terjadi di politik Indonesia (11,5–22%). 2) Kuota menjadi strategi korektif untuk mendorong kesetaraan representasi. 3) Pertanyaan utama: apakah afirmasi sejalan dengan prinsip demokrasi? 4) Apakah kesetaraan warganegara dirusak oleh praktik afimasi perempuan? ungkap Dekan Fisip UIN Jakarta

Dari pemilu ke pemilu, isu-isu lokal hampir tidak pernah menjadi sorotan atau tergerus oleh isu-isu nasional, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sejatinya mengusung isu-isu lokal pada praktiknya tidak dapat bersuara banyak.  Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menjadi angin segar. dengan solusi Memperbanyak literasi politik baik secara kognitif, afektif, dan perilaku, Literasi politik tidak terbatas pada warga, melainkan yang justeru lebih penting kepada elite politik (partai politik dll). Perlunya modernisasi partai politik Papar Iding Rosyidin.