Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Antara Stabilitas dan Tantangan Presidensialisme
Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Antara Stabilitas dan Tantangan Presidensialisme

Berita FISIP. Senin, 20 Oktober 2025, bertempat di Auditorium Prof. Bahtiar Effendy Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diselenggarakan kegiatan kuliah umum bertajuk “Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Antara Stabilitas dan Tantangan Presidensialisme.” Acara ini diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN sebagai bagian dari agenda akademik tahunan yang bertujuan memperluas wawasan politik mahasiswa melalui kajian reflektif dan analitis terhadap isu-isu pemerintahan terkini.

Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si, Dosen Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, dan Dr. Iding Rosyidin, M.Si, Wakil Dekan I FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga merupakan dosen ilmu politik.

Acara dibuka oleh Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyatakan bahwa kuliah umum ini penting untuk melatih kemampuan analisis kritis mahasiswa terhadap dinamika pemerintahan dan demokrasi di Indonesia, terutama setelah satu tahun pemerintahan baru berjalan.

Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si menyampaikan materi hasil survei publik dari beberapa lembaga seperti Poltracking, IPI, CELIOS, dan Indostrategi yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan. Meski sebagian besar responden menyatakan puas karena kepemimpinan yang tegas dan program bantuan sosial seperti Makan Bergizi Gratis, beliau juga menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai minim transparansi, serta fenomena hilangnya oposisi kritis di parlemen yang dapat berdampak pada kesehatan demokrasi.

Sri Budi juga menguraikan teori-teori klasik dalam sistem presidensialisme, seperti pandangan Cheibub dan Juan Linz tentang “cacat bawaan” presidensialisme yang rawan instabilitas, konflik antara presiden dan legislatif, serta munculnya kecenderungan mayoritarian. Ia menegaskan bahwa pembentukan koalisi besar tanpa oposisi yang efektif justru berpotensi melemahkan prinsip check and balance dan membuka ruang bagi kecenderungan otoritarian.

Sementara itu, narasumber kedua, Iding, memberikan pandangan yang menajamkan dimensi politik normatif dan empiris dari fenomena tersebut dan bagaimana konsolidasi kekuasaan di era pemerintahan Prabowo berinteraksi dengan karakter sistem presidensialisme multipartai di Indonesia. Menurutnya, stabilitas politik tidak hanya bergantung pada dukungan koalisi besar di parlemen, tetapi juga pada kualitas kelembagaan, transparansi kebijakan publik, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawasi kekuasaan.

Iding juga menekankan pentingnya good governance dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan populis. Beliau mengajak mahasiswa untuk melihat politik bukan hanya sebagai arena perebutan kekuasaan, melainkan juga sebagai ruang etika publik di mana moralitas dan tanggung jawab sosial harus menjadi pijakan utama dalam praktik pemerintahan.

Selain pemaparan materi oleh narasumber, dilakukan juga tanya jawab dan diskusi interaktif  dengan peserta yang mengajukan pertanyaan seputar prospek presidensialisme tanpa ambang batas pencalonan (setelah Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024), peran oposisi dalam demokrasi, serta implikasi kebijakan ekonomi dan militer terhadap masyarakat. Diskusi berlangsung hangat dan dinamis, menggambarkan suasana akademik yang kritis dan terbuka.

Dalam sesi penutup, kedua narasumber menyimpulkan bahwa sistem presidensialisme di Indonesia memerlukan keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan keterbukaan politik. Dukungan terhadap pemerintah harus disertai dengan kontrol publik yang kuat agar demokrasi tidak kehilangan substansinya Sri Budi menegaskan pentingnya pelembagaan partai politik dan penguatan fungsi legislatif, sementara Iding menambahkan perlunya etika kepemimpinan dan partisipasi politik masyarakat sebagai fondasi demokrasi yang sehat.

Penulis: Nyi Kembang Arum