Prodi HI FISIP UIN Jakarta Gelar Diskusi Tentang Krisis Gaza
FISIP Daring — Laboratorium Hubungan Internasional (HI) FISIP UIN Jakarta mengadakan kegiatan diskusi dengan tema “Analisis Krisis Gaza, Palestina dari Berbagai Perspektif”. Kegiatan berlangsung di Aula Madya FISIP, Kampus II UIN Jakarta Jumat (20/10/2023).
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari FISIP UIN Jakarta. Mereka adalah Robi Sugara (Kaprodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, Dosen Keamanan Internasional), Irfan Hutagalung (Dosen Hukum Internasional), dan Ahmad Alfajri sebagai (Dosen Teori HI).
Irfan mengatakan, Hukum Internasional mengatakan suatu negara tidak boleh mendapatkan wilayah lain dari suatu negara dengan kekerasan. Namun, Israel mengokupasi Palestina.
Dirinya juga menyampaikan bahwa Israel memindahkan warga negaranya ke wilayah Palestina. Hal tersebut, lanjutnya, melanggar hukum kemanusiaan internasional (Humaniter) pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat. Menurutnya, orang yang berada di bawah penindasan berhak untuk angkat senjata berdasarkan hukum internasional. “Hamas lahir karena tindakan Israel,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Robi Sugara berpendapat bahwa Israel bisa mengambil alih Palestina secara penuh berdasarkan pengkajian strategi. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan Israel gagal mengontrol Palestina.
Robi menyampaikan, Israel menolak solusi dua negara, Palestina berdampingan dengan Israel menjadi negara berdaulat. Alasan berikutnya, lanjutnya, Israel melakukan kebijakan pengurangan konflik. “Israel memperlebar kebebasan Palestina melakukan transaksi ekonomi supaya ketergantungannya tinggi,” ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Alfajri melihat bahwa konflik Israel dan Palestina belum menemukan solusi yang strategis sejak tujuh puluh tahun terakhir. Namun, Ahmad menilai, ada beberapa hal yang berbeda dari konflik tersebut saat ini.
Ahmad menjelaskan, pertama, perubahan geopolitik dan geostrategis. Diantaranya adalah Negara Timur Tengah yang mulai menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Kedua, ungkap Ahmad, Israel mendeklarasikan perang dengan Hamas secara resmi. Konflik itu juga, ujarnya, menimbulkan perang di media sosial yang bertujuan agar Hamas maupun Israel mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Dirinya juga mengungkapkan, kejadian tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi. Konsekuensi pertama, jelas Ahmad, gagasan Responsibility to Protect (R2P) perlu direvisi kembali. R2P belum mencakup aturan terkait sebuah negara melakukan genosida terhadap negara lain. “Kedua, konflik ini akan menjadi amunisi baru untuk membangunkan sel-sel yang selama ini tertidur,” ungkapnya. (lpm institut)