Politik Demografi dan Indonesia Emas 2045
Ali Rif’an
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Monolog Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bertajuk “Generasi Muda, Bonos Demografi, dan Masa Depan Indonesia” (19/4/2025) mendadak viral dan memunculkan beragam komentar. Ada yang memuji, namun ada pula yang menuding jika monolog berdurasi 6,2 menit dan diunggah di akun YouTube peribadi itu bagian dari manuver politik menuju 2029.
Bagi saya, monolog tersebut tak hanya memantik opini publik, namun mengingatkan saya pada buku berjudul Political Demography: How Population Changes Are Reshaping International Security and National Politics (Jack A. Goldstone, et al, ed. 2012). Dalam buku itu disebutkan bahwa memahami tren demografi adalah syarat utama untuk memprediksi masa depan politik nasional dan global.
Karenanya, tulisan ini tidak hendak menganalisis polemik monolog Wapres Gibran, melainkan ingin membahas pentingnya politik demografi—sebuah kajian strategis yang melihat perubahan penduduk sebagai kekuatan utama dalam menentukan arah pembangunan dan kebijakan publik.
Peta Jalan
Setidaknya ada dua alasan mengapa diskursus politik demografi saat ini perlu diangkat. Pertama, sebagai peta jalan membuat perencanaan pembangunan. Hal ini penting karena selama ini banyak program kementerian dan lembaga masih melenceng dari sasaran pembangunan. Sebagai contoh, di akhir tahun pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI menyampaikan bahwa dari 19 indikator pembangunan, hanya lima indikator atau 26,31 persen yang tercapai.
Sebelumnya, data Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Bappenas menyebutkan, hanya 51,3 persen program kementerian dan lembaga yang sesuai dengan indikator RPJMN. Berdasar rencana kerja pemerintah (RKP) 2015 hanya 95 indikator dari 184 indikator dalam RPJMN 2015-2019, yang sesuai dengan program-program kementerian dan lembaga.
Tidak tercapainya target-target indikator pembangunan selama ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam siklus perencanaan. Ketidaksinkronan antara arah kebijakan nasional dengan program-program sektoral di kementerian dan lembaga perlu segera diatasi. Dengan memahami lanskap demogafi dalam perencanaan—seperti pertumbuhan populasi usia muda, perubahan pola urbanisasi, atau penuaan penduduk di beberapa daerah, dll—maka program-program pembangunan akan lebih terarah, berbasis kebutuhan nyata masyarakat, dan berorientasi jangka panjang.
Memprediksi Tantangan
Kedua, memprediksi berbagai tantangan sosial dan ekonomi di masa depan. Ini penting lantaran setiap perubahan demografi membawa konsekuensi dan tantangan tersendiri. Membaca tren demografi memungkinkan pemerintah lebih akurat dan kokoh dalam penyusunan perencanaan jangka panjang, membuat pembangunan berkelanjutan, dan mencegah krisis sosial di masa depan. Artinya, negara-negara yang mampu mengelola tren demografi secara strategis akan lebih siap menghadapi beragam tantangan, mengantisipasinya, dan melakukan akselerasi pembangunan. Sebaliknya, mengabaikan tren demografi berisiko mengalami ketidakstabilan sosial, tekanan ekonomi, dan melemahnya posisi di tataran internasional.
Seperti digambarkan Jack A. Goldstone, et al, ed. (2012), negara-negara dengan populasi menua seperti Jepang dan negara-negara Eropa Barat cenderung menghadapi masalah perlambatan ekonomi, beban sosial tinggi, dan krisis fiskal. Sementara negara dengan populasi stagnan (contohnya Rusia) berpotensi kehilangan pengaruh global. Adapun negara-negara dengan mayoritas populasi muda atau youth bulge (seperti India) bisa menjadi kekuatan baru dunia.
Namun perlu diingat, negara dengan kategori youth bulge juga rentan terhadap kekerasan dan pemberontakan jika salah mengelolanya. Fenomena ini dapat dilihat dari fenomena Arab Spring yang dipicu oleh frustrasi kaum muda akibat pengangguran dan minimnya peluang ekonomi.
Indonesia Emas 2045
Karena itu, menyongsong Indonesia Emas 2045 tanpa melihat lanskap demografi sebagai peta jalan dalam pembangunan adalah sebuah langkah tanpa strategi. Demografi bukanlah sekadar angka statistik, melainkan gambaran tentang potensi dan tantangan bangsa ke depan. Jika dikelola dengan tepat, ledakan populasi usia produktif yang puncaknya terjadi pada kurun 2030-2045 dapat menjadi berkah, bukan justru musibah.
Untuk mengubah bonus demografi menjadi kekuatan besar bagi kemajuan bangsa, salah satu langkah krusialnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan. Pendidikan menjadi kunci utama agar ledakan usia produktif tidak menjadi beban, melainkan motor penggerak kemajuan.
Saat ini capaian pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara maju. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan, dari seluruh penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun, hanya 10,20 persen yang telah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Bahkan berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), jumlah penduduk yang memiliki pendidikan hingga perguruan tinggi hanya 18,74 juta jiwa per Desember 2023. Angka ini mewakili sekitar 6,68% dari total populasi Indonesia (sekitar 280 juta jiwa).
Bandingkan dengan negara maju, rata-rata persentase penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi (S1, S2, dan S3) cukup tinggi. Misalnya, Kanada memiliki persentase penduduk dewasa dengan gelar universitas tertinggi (lebih dari 60%), Rusia (55%), dan Jepang (52,7%).
Mengapa pendidikan menjadi sektor yang penting? Karena pendidikan memiliki hubungan erat dengan kesempatan kerja. Pendidikan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menekan angka pengangguran. Saat ini, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tidak terlampau jauh dibandingkan dengan negara-negara maju. Berdasarkan data BPS, orang nganggur di Indonesia sekitar 4,91%. Sementara di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (3,9%), Jerman (3,2%), dan Singapura sekitar 2%. Jika melihat angka-angka tersebut, ketika kualitas dan kuantitas pendidikan Indonesia terus digenjot, maka mimpi untuk mewujudkan Indonesia emas pada tahun 2045 bukanlah isapan jompol belaka.
*) Artikel opini ini telah dimuat Koran Jawa Pos, 9 Mei 2025