Perubahan Nama, Perubahan Makna dalam perspektif Liberal atas Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat, Retorika atau Ancaman Global?
Perubahan Nama, Perubahan Makna dalam perspektif Liberal atas Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat, Retorika atau Ancaman Global?

Penulis : Salma Nadia Az Zahro Prasetya (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional)

Pendahuluan

    Dalam dinamika geopolitik kontemporer, perubahan institusional di negara-negara besar seperti Amerika Serikat sering kali menjadi sorotan utama bagi para analis keamanan internasional. Salah satu isu yang belakangan ini menarik perhatian adalah usulan untuk mengubah nama Departemen Pertahanan Amerika (Department of Defense/DoD) menjadi Departemen Perang (Department of War). Usulan ini, yang muncul dalam diskursus politik Amerika, mengingatkan pada sejarah panjang institusi militer negara tersebut dan implikasinya terhadap stabilitas global. Pertanyaannya, apakah perubahan semantik ini sekadar retorika politik, atau justru menunjukkan pergeseran paradigma yang berpotensi mengganggu keamanan internasional?

    Bagi mahasiswa di bidang hubungan internasional, studi perang, atau kebijakan luar negeri, pemahaman tentang perubahan ini sangat penting. Nama institusi bukanlah hal sepele ia mencerminkan identitas nasional dan sinyal diplomatik. Sejarah menunjukkan bahwa Departemen Pertahanan lahir dari reformasi pasca-Perang Dunia II yang bertujuan menekankan pertahanan daripada agresi. Kembali ke istilah Departemen Perang dapat diinterpretasikan sebagai nostalgia imperialisme atau respons terhadap rivalitas kontemporer seperti dengan China dan Rusia. Artikel ini menganalisis isu tersebut melalui lensa liberalisme, dengan menyoroti latar belakang historis, alasan politis, dan dampaknya terhadap keamanan global.

Latar Belakang Sejarah: Dari Departemen Perang ke Departemen Pertahanan

Departemen Perang Amerika didirikan pada tahun 1789 sebagai salah satu departemen eksekutif pertama di bawah Konstitusi AS, bertanggung jawab atas urusan militer dan pertahanan negara. Pada masa awal Republik, nama ini mencerminkan realitas zaman: Amerika yang baru merdeka menghadapi ancaman eksternal dari kekuatan kolonial dan konflik internal seperti Perang 1812. Departemen ini dikelola oleh Sekretaris Perang, yang mengkoordinasikan strategi militer dan pertahanan nasional.

Namun, setelah dua perang dunia, paradigma berubah. Melalui National Security Act 1947, Presiden Harry S. Truman mengganti nama Department of War menjadi Department of Defense. Tujuan perubahan ini adalah untuk menghindari konotasi agresi dan menekankan pertahanan damai di tengah ketegangan Perang Dingin. Reformasi ini juga menyatukan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam satu struktur terpadu, menandai lahirnya sistem pertahanan modern yang mengintegrasikan diplomasi dan keamanan nasional melalui Dewan Keamanan Nasional (NSC).

Secara akademis, perubahan ini sejalan dengan teori realisme struktural Kenneth Waltz, yang menekankan keseimbangan kekuatan. Namun, dalam perspektif liberalisme, langkah ini juga mencerminkan komitmen terhadap perdamaian dan kerja sama global — bahwa kekuatan militer sebaiknya digunakan dalam kerangka kolektif, bukan ekspansionis (Keohane & Nye, 1977).

Alasan di Balik Usulan Perubahan: Retorika Politik dan Dinamika Internal

Usulan untuk mengembalikan nama Departemen Perang muncul dalam konteks polarisasi politik domestik di Amerika Serikat. Pendukungnya, terutama dari kubu konservatif, menilai istilah “pertahanan” terlalu pasif menghadapi ancaman global. Dalam pidato tahun 2023, Donald Trump menegaskan bahwa Amerika “butuh Departemen Perang untuk melawan musuh-musuhnya secara langsung,” merujuk pada ketegangan di Indo-Pasifik dan invasi Rusia ke Ukraina.

Beberapa argumen utama yang dikemukakan antara lain:

  1. Peningkatan Postur Militer. Nama “Departemen Perang” dianggap lebih tegas dan selaras dengan doktrin Peace through Strength Ronald Reagan, menegaskan peran militer sebagai instrumen deterensi global.
  2. Kritik terhadap Birokrasi. Sebagian pihak menilai DoD terlalu lamban dan birokratis, seperti terlihat dalam penarikan pasukan dari Afghanistan pada 2021. Perubahan nama dianggap simbol reformasi menuju struktur militer yang lebih agresif dan efisien.
  3. Dimensi Simbolis. Menurut konstruktivis seperti Wendt (1992), identitas negara dibentuk oleh simbol dan bahasa. Maka, mengubah “pertahanan” menjadi “perang” bisa menandakan transformasi identitas Amerika dari penjaga perdamaian menjadi kekuatan hegemon yang ofensif.

Namun, kalangan liberal dan akademisi mengkritik keras gagasan ini. Laporan RAND Corporation (2022) memperingatkan bahwa perubahan semantik semacam itu dapat memperlemah kepercayaan sekutu dan memperkuat narasi anti-Amerika, terutama di Eropa yang bergantung pada komitmen defensif AS. Bagi kaum liberal, perubahan nama ini menciptakan pergeseran nilai yang berbahaya dari kerja sama menuju konfrontasi.

Dampak terhadap Keamanan Internasional

Secara teoritis, perubahan nama semacam ini dapat menciptakan efek sinyal (signaling effect) dalam hubungan internasional, di mana negara lain menafsirkan langkah AS sebagai tanda orientasi kebijakan luar negeri yang lebih hawkish.

  1. Dampak terhadap aliansi internasional.
    Sekutu NATO dapat menilai langkah ini sebagai indikasi pergeseran dari prinsip pertahanan kolektif menuju agenda unilateral. Sebuah studi Council on Foreign Relations (2023) menunjukkan bahwa 65% pemimpin Eropa melihat retorika “perang” AS sebagai pemicu ketidakpastian strategis. Di Asia-Pasifik, China bisa memanfaatkan perubahan ini untuk memperkuat narasi bahwa AS adalah kekuatan agresif yang mengancam stabilitas kawasan.
  2. Dampak terhadap keamanan non-tradisional.
    Kembali ke label “Departemen Perang” dapat menggeser fokus dari ancaman non-konvensional seperti perang siber, perubahan iklim, dan informasi global. Laporan Pentagon (2023) menunjukkan peningkatan 300% ancaman siber sejak 2020. Jika orientasi kebijakan kembali militeristik, Amerika bisa kehilangan fokus pada ancaman baru yang justru membutuhkan pendekatan kolaboratif lintas negara.
  3. Dampak terhadap aktor non-negara.
    Retorika “perang” berpotensi memperkuat narasi kelompok ekstremis yang melihat AS sebagai kekuatan imperialistik. Akibatnya, risiko terorisme dan radikalisme dapat meningkat di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, memperburuk instabilitas global.

Analisis dalam Perspektif Liberalisme

Dari sudut pandang liberalisme, perubahan ini merupakan bentuk kemunduran dari komitmen terhadap kerja sama internasional. Liberalisme menekankan bahwa perdamaian dicapai melalui institusi, norma, dan interdependensi ekonomi (Moravcsik, 1997).

  1. Erosi Kepercayaan Global.
    Mengadopsi istilah “perang” mengirimkan sinyal bahwa AS lebih mengutamakan hard power daripada diplomasi. Hal ini melemahkan kepercayaan sekutu dan memperkuat dilema keamanan. Dalam jangka panjang, langkah ini dapat menurunkan efektivitas lembaga-lembaga multilateral seperti NATO dan PBB (Keohane & Nye, 1977).
  2. Keruntuhan Soft Power Amerika.
    Menurut Nye (2004), kekuatan utama AS terletak pada soft power daya tarik nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan moralitas. Retorika perang dapat merusak citra ini dan mengurangi pengaruh AS di dunia internasional.
  3. Kontradiksi terhadap Nilai Liberal.
    Liberalisme berasumsi bahwa negara demokratis lebih cenderung damai (Doyle, 1983). Dengan mengadopsi kembali “Departemen Perang,” AS justru bertentangan dengan nilai-nilai yang menjadi dasar legitimasinya sebagai pemimpin dunia bebas.
  4. Rekomendasi Liberal.
    Daripada mengganti nama, AS sebaiknya memperkuat modernisasi pertahanan berbasis teknologi hijau dan kecerdasan buatan (green & smart defense) serta memperluas kerja sama multilateral. Dengan demikian, kekuatan militer tetap efisien tanpa mengorbankan legitimasi moral di mata dunia.

Kesimpulan

Usulan perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang bukanlah sekadar debat administratif, melainkan refleksi dari pergeseran nilai dalam politik luar negeri Amerika. Dari perspektif liberalisme, langkah ini berpotensi mengikis kepercayaan internasional, melemahkan institusi multilateral, dan memicu instabilitas global. Dalam dunia yang saling terhubung, simbolisme politik memiliki konsekuensi nyata terhadap persepsi dan keamanan internasional.

Sebagai kekuatan liberal utama, Amerika Serikat seharusnya menegaskan kembali komitmennya terhadap kerja sama dan perdamaian global. Menghidupkan kembali “Departemen Perang” hanya akan memperkuat logika realisme yang menekankan kekuasaan di atas norma. Sebaliknya, mempertahankan “Departemen Pertahanan” sambil melakukan reformasi internal adalah cara terbaik menjaga keseimbangan antara kekuatan keras dan diplomasi, serta antara nasionalisme dan multilateralisme. Pada akhirnya, perubahan nama bukan sekadar pergantian istilah, melainkan pilihan ideologis tentang masa depan tatanan dunia: apakah menuju kerja sama atau kembali ke politik kekuasaan.

Daftar Pustaka

Council on Foreign Relations. (2023). Perceptions of U.S. Defense Rhetoric among European Allies. CFR Press.

Doyle, M. W. (1983). Kant, liberal legacies, and foreign affairs. Philosophy & Public Affairs, 12(3), 205–235.

Keohane, R. O., & Nye, J. S. (1977). Power and interdependence: World politics in transition. Boston: Little, Brown and Company.

Moravcsik, A. (1997). Taking preferences seriously: A liberal theory of international politics. International Organization, 51(4), 513–553.

Nye, J. S. (2004). Soft power: The means to success in world politics. New York: PublicAffairs.

RAND Corporation. (2022). Strategic signaling and alliance trust in the 21st century. RAND Report Series.

Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: The social construction of power politics. International Organization, 46(2), 391–425.