Perubahan Nama Departemen Pertahanan AS sebagai Cara Amerika Menyampaikan Kekuatan Lewat Bahasa
Perubahan Nama Departemen Pertahanan AS sebagai Cara Amerika Menyampaikan Kekuatan Lewat Bahasa

Penulis : Andyra Fathur Rizky, Mahasiswa Hubungan Internasional 

Beberapa waktu lalu presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru saja mengeluarkan perintah eksekutif yang berisi pernyataan terkait perubahan nama Departemen Pertahanan AS menjadi Departemen Perang. Presiden AS tersebut beralasan bahwa perubahan nama pada Departemen Pertahanan AS tidak serta merta berangkat dari ambisi pribadinya, melainkan didasarkan pada aspek preseden historis Amerika Serikat. Sebelum berubah nama menjadi departemen pertahanan pada tahun 1949 Amerika Serikat telah menggunakan nama Departemen Perang yang berdampingan dengan departemen angkatan laut sejak abad-18 hingga berakhirnya perang dunia ke-2.

Sejarah dan makna simbolik

Kementerian atau Departemen Perang AS didirikan secara resmi pada 7 Agustus 1789, dengan jendral Henry Knox sebagai menteri pertamanya yang ditunjuk langsung oleh Presiden pertama AS, George Washington. Kementerian ini dibentuk secara sengaja sebagai badan sipil yang dapat mengelola militer secara resmi. Prinsip tersebut ditujukan untuk dapat menjadi simbol kontrol sipil atas militer dan berbagai instrumennya.

Namun, pada periode berakhirnya perang dunia ke-2 dan masa transisi menuju perang dingin, kata “war” dalam Department of War milik AS dianggap terlalu ofensif dan bertolak belakang dengan peran Amerika Serikat sebagai penjaga perdamaian dalam sistem internasional. Sehingga, pada tahun 1949 departemen tersebut mengubah namanya menjadi Department of Defense (DoD). pergantian nama tersebut dianggap sebagai hal yang melampaui estetika administratif, melainkan juga strategi retorik yang diupayakan oleh Amerika Serikat untuk menunjukan wajah baru yang lebih friendly, yang menggunakan kekuatan militernya untuk nilai-nilai perdamaian. Dalam konteks kebahasaan, kata “defense” digunakan oleh Amerika Serikat untuk memperhalus kekuasaan militernya di mata dunia, serta memperjelas perannya dalam hubungan internasional pasca perang.

Akhir-akhir ini, ketika wacana untuk mengubah nama Department of Defense (DoD) diketahui oleh khalayak masyarakat global, para pengamat pertahanan dunia menilai bahwa makna yang terkandung di dalamnya lebih dari sekedar nostalgia historis. Perubahan tersebut dianggap sebagai langkah simbolik dari awal perubahan lanskap politik global AS, bahwa Amerika tidak hanya ingin dilihat sebagai penjaga perdamaian, melainkan sebagai kekuatan yang siap untuk menghadapi berbagai ancaman global secara langsung. Penggunaan kata “war” dinilai membawa nilai yang jauh lebih agresif dari sebelumnya, seakan menggambarkan bahwa era diplomasi lunak telah bergeser menuju kompetisi kekuatan yang lebih terbuka. Di tengah meningkatnya ketegangan global, perubahan simbolik semacam itu dapat diartikan sebagai perubahan orientasi geopolitik Amerika Serikat, yang kini berupaya untuk mengembalikan posisinya, bukan hanya sebagai pelindung utama bagi perdamaian dunia, melainkan sebagai aktor utama dalam pertarungan global.

Politik Bahasa dan Framing Kekuasaan ala Amerika

 

Dalam berbagai kajian ilmu hubungan internasional dijelaskan bahwa kekuasaan suatu negara dalam tatanan internasional tidak hanya dibentuk oleh kekuatan ekonomi atau militer yang mereka miliki, tetapi juga dapat dibentuk melalui makna yang dirangkai melalui gaya bahasa. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat sudah sering menggunakan politik bahasa untuk memainkan catur politiknya dalam tatanan global. Istilah seperti “war on terror” pasca tragedi 9/11 atau “humanitarian intervention” di Irak dan Libya merupakan contoh dari bagaimana Amerika Serikat telah sering menggunakan politik bahasa untuk menjustifikasi tindakan militer mereka. Penggunaan soft power melalui narasi yang digunakan oleh Amerika Serikat ditujukan untuk mengendalikan makna-makna yang diyakini secara global, serta mengendalikan dunia melalui pembentukan pemahaman global atas tindakan-tindakan tertentu.

Dalam sudut pandang teori konstruktivisme, perubahan kata dalam Department of Defense menuju Department of War tidak hanya dipandang sebagai realitas politik, melainkan sebagai cara Amerika Serikat untuk menciptakan identitas dan norma baru tentang bagaimana mereka melihat dunia dan sebaliknya. Setelah penggunaan kata “defense” dinilai sebagai simbol Amerika Serikat sebagai penjaga kedamaian global, maka penggunaan kata “war” juga dapat dipandang sebagai perubahan konstruksi identitas AS, dari penjaga perdamaian sebagai aktor utama dalam kompetisi kekuatan militer.

Antara Simbol dan Realitas

Pesan simbolis yang lahir dari perubahan nama Department of Defense (DoD) Amerika Serikat menjadi Department of War merupakan hal yang tidak dapat dikaburkan. Namun, hal tersebut tidak dapat serta merta diterjemahkan sebagai strategi militer Amerika Serikat dalam dunia internasional. langkah-langkah analitis masih sangat diperlukan untuk memahami apa implikasi dari perubahan nama tersebut terhadap gerakan politik Amerika Serikat dalam tatanan global. Beberapa analis politik global menilai bahwa perintah eksekutif tersebut mengandung unsur-unsur politik yang dapat dilihat melalui dua logika utama. Pertama, langkah ini sejalan dengan kampanye pemerintahan Trump yang berupaya untuk melawan persepsi “wokeness” dalam militer Amerika Serikat. Trump menilai bahwa penggunaan kata “defense” sebagai tindakan “woke” sudah cukup dilakukan oleh Amerika Serikat dalam 70 tahun terakhir. Kedua, tindakan tersebut ditujukan untuk menegaskan kembali identitas AS sebagai “pemenang” dalam perang dunia 1 dan 2. Logika politik tersebut dianggap sebagai hal yang paling relevan, karena hal tersebut sejalan dengan narasi Trump pada kampanyenya yaitu kurangnya semangat “kemenangan” dalam tatanan pemerintahan Amerika Serikat.

Hal yang perlu diperhatikan adalah, di dalam dunia internasional, setiap bentuk tindakan yang dilakukan oleh suatu negara dapat membentuk persepsi dari negara lainnya, yang kemudian dapat membentuk suatu reaksi nyata. Apabila Amerika Serikat secara terbuka kembali menggunakan kata “war” dalam institusi militernya, hal tersebut dapat memicu reaksi liar dari dunia internasional, karena pada dasarnya penggunaan kata “war” berimplikasi pada kesiapan penggunaan kekuatan militer dalam menghadapi tantangan global, terutama pada rival politiknya seperti Tiongkok dan Eropa Timur. Persepsi tersebut dapat melahirkan efek domino yang begitu besar bagi tatanan dunia internasional, mulai dari perlombaan kekuatan, penyesuaian kebijakan pertahanan di negara-negara lain, hingga meningkatnya ketegangan diplomatik.

Implikasi Bagi Dunia Internasional

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan kembali kata “war” dapat menciptakan  efek  domino  bagi  dunia  internasional.  Perubahan  nama  tersebut  seakan

 

menyiratkan bahwa kompetisi kekuatan telah memasuki level yang berbeda, hal tersebut berpotensi memicu respons berantai seperti peningkatan belanja militer, perombakan dalam strategi pertahanan, hingga pengaturan kebijakan yang lebih ketat di wilayah-wilayah konflik. Menurut penuturan menteri perang AS yang baru, Pete Hegseth, pemerintahan Trump sedang berupaya untuk menata ulang militer AS untuk mampu mengatasi konflik melalui penyelesaian yang brutal. Hal tersebut dapat dilihat melalui bagaimana pemerintahan Trump berjalan sejauh ini, ia berupaya untuk memperkuat strategi nuklirnya dengan menambah hulu ledak nuklir milik AS. Dampak langsung upaya tersebut bagi dunia internasional adalah bahwa tindakan tersebut dapat menurunkan ambang batas penggunaan nuklir dalam skenario konflik maupun krisis, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan konflik nuklir langsung.

Semakin provokatif Amerika Serikat maka semakin besar kemungkinan para lawan politiknya untuk mengambil tindakan yang lebih berbahaya untuk melawan persepsi ancaman global yang semakin meningkat, baik presiden Rusia Vladimir Putin maupun Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak akan tinggal diam dalam menanggapi pernyataan tersebut. Perubahan citra dari pertahanan tiga kekuatan besar dunia tersebut dapat menjadi pertanda buruk bagi keberlangsungan keamanan internasional dan perdamaian global.

Perang Makna di Era Global

Dalam tatanan global dan geopolitik yang semakin panas, skenario konflik dan peperangan tidak hanya dapat terjadi di medan tempur, melainkan juga dapat dilakukan di ranah-ranah persepsi dan bahasa. Dalam sejarah, berbagai pihak yang berkuasa selalu berupaya untuk membangun sebuah citra tentang siapa yang menjadi teman dan siapa yang menjadi lawan. Dalam kasus ini, perubahan nama departemen pertahanan AS dapat dipandang sebagai suatu “psywar” yang dibangun oleh Amerika Serikat untuk dapat meraih tujuan-tujuan tertentu seperti posisi vital dalam membentuk wacana global terkait keamanan. Melalui narasi yang tersebut Amerika Serikat berupaya membangun pemahaman bahwa situasi global saat ini tidak cukup disikapi dengan retorika perlindungan, melainkan perlu adanya langkah-langkah konfrontatif untuk menekan entitas yang dianggap sebagai musuh atau ancaman bagi tatanan internasional. Perang bahasa ini merupakan arena yang tidak asing dalam studi internasional, sebagaimana asumsi konstruktivis yakni interpretasi bahasa dapat membangun suatu opini terkait siapa yang memulai, siapa yang membela diri, dan siapa yang mendominasi.

Perang makna yang disebabkan oleh perubahan nama departemen pertahanan AS ini juga dapat menciptakan kondisi di mana batas antara ancaman nyata dengan ancaman yang dikonstruksi melalui bahasa menjadi semakin kabur. Hal tersebut didorong oleh kecenderungan global, yakni narasi yang dibangun oleh kekuatan besar seringkali diterima secara mentah-mentah meskipun faktanya belum benar-benar jelas. Skenario ini dianggap lebih berbahaya karena tindakan simbolis dalam politik internasional dapat mempercepat legitimasi kebijakan yang cenderung agresif tanpa adanya pembahasan yang rasional. Maka dari itu, memahami retorika dalam panggung politik global dan geopolitik bukan hanya membaca strategi suatu negara, melainkan sebagai cara untuk memahami masa depan dan keberlangsungan keamanan global. Karena dalam sejarah, perang melalui retorika dapat menjadi pemicu dari konflik yang besar, yakni ketika suatu narasi berhasil mendikte realitas maka dunia akan dipaksa untuk mengikutinya.

Penutup

 

Perubahan nama pada institusi pertahanan Amerika Serikat melalui perintah eksekutif presiden AS dianggap lebih dari sekedar penghapusan atau penggunaan kembali nama yang telah usang oleh para analis politik global. Berita terkait pergantian nama tersebut disikapi sebagai hal yang lebih dari sekedar informasi birokrasi oleh sebagian besar pengamat, bahwa tindakan tersebut dinilai sebagai indikator arah politik internasional Amerika Serikat yang perlu diwaspadai. Penggunaan nama yang telah dihapuskan lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu merupakan sebuah tindakan yang bertolak belakang dengan citra dan peran Amerika Serikat dalam tatanan global sebagai penjaga perdamaian. Beberapa pemikir menilai tindakan tersebut tidak lain merupakan bentuk framing yang diupayakan oleh Amerika Serikat untuk membentuk suatu pemahaman global baru ditengah tantangan pertahanan yang nyata bagi AS.

Maka dari itu, penting bagi dunia untuk menanggapi tindakan tersebut secara kritis. Karena pada dasarnya, gerakan simbolis dalam panggung politik global dapat menciptakan konsekuensi yang lebih jauh daripada sekadar perbedaan narasi, hal tersebut dapat berimplikasi pada peningkatan ketegangan antar negara-negara dengan kekuatan besar, serta mampu menggeser orientasi keamanan internasional kearah yang lebih konfrontatif.

Sebagaimana diskursus pada berbagai kajian studi hubungan internasional, bahwa dalam dimensi politik global kata-kata bukan sekedar retorika belaka yang digunakan untuk menjelaskan realitas, melainkan sebagai senjata untuk membangun realitas baru melalui framing narasi. Selain itu, ketika negara sekaliber Amerika Serikat telah mengubah cara beretorika untuk kekuatan militernya, maka dunia tidak boleh bertindak pasif, karena pada dasarnya setiap kata yang dilontarkan dalam panggung politik global dapat mengandung pesan yang kuat bagi masa depan keamanan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Johny Hall. 2025. “Donald Trump’s “Department of War” name change is mostly political theatre.” American Politics and Policy, (September).

https://blogs.lse.ac.uk/usappblog/2025/09/18/donald-trumps-department-of-war-name-ch ange-is-mostly-political-theatre/.

Ladwig, Walter. 2025. “The Department of War Makes America Look Weak.” RUSI.

https://www.rusi.org/explore-our-research/publications/commentary/department-war-mak es-america-look-weak.

Leo Manik. 2025. “Sejarah Kemhan AS yang Ganti Nama Jadi Departemen Perang.” IDN Times.

https://www.idntimes.com/news/world/sejarah-kemhan-as-yang-ganti-nama-jadi-departe men-perang-c1c2-01-tffwg-8l0y0h.

Scheers, Alex A. 2025. “Why the Renaming of the US Department of War Matters.” The Diplomat, (September).

https://thediplomat.com/2025/09/why-the-renaming-of-the-us-department-of-war-matter.

Stephen Cimbala, and Lawrence J. Korb. 2025. “A Department of War or Department of Defense?” The National Interest, (September). https://nationalinterest.org/feature/a-department-of-war-or-department-of-defense?

“Trump rebrands Department of Defense as Department of War.” 2025. BBC. https://www.bbc.com/news/articles/cgr9r4qr0ppo.