Perubahan Iklim: Ancaman Tak Terlihat yang Mengguncang Keamanan Global
Perubahan Iklim: Ancaman Tak Terlihat yang Mengguncang Keamanan Global

Penulis : Asyaima Labibah Iqbal, Mahasiswa Hubungan Internasional

Kita sering berbicara tentang perang, terorisme, atau kekuatan militer sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasional dan global. Namun kini muncul satu musuh yang jauh lebih diam, tetapi berpotensi melumpuhkan: perubahan iklim. Tidak ada deru tank yang terdengar, tidak ada sirine yang meraung, tetapi dampaknya menjalar ke seluruh aspek kehidupan dari ketersediaan pangan dan air bersih hingga migrasi massal dan konflik geopolitik. Ancaman ini tampak tak kasatmata, tetapi mengguncang jauh lebih dalam dibandingkan banyak krisis yang tampak di permukaan.

Ketidakamanan yang Tak Terduga

Dalam kerangka tradisional, keamanan dipahami sebagai perlindungan terhadap serangan eksternal oleh negara atau aktor bersenjata. Namun, dengan adanya perubahan iklim, model tersebut menjadi usang. Ketika permukaan laut naik, kota-kota pesisir di negara berkembang mulai tenggelam perlahan. Ketika kekeringan ekstrim melanda, para petani kehilangan mata pencaharian, migrasi internal meningkat, dan ketegangan sosial membesar. Kini, keamanan bukan lagi soal mempertahankan garis perbatasan, melainkan menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Lebih dari itu, negara-negara yang selama ini dianggap aman karena memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang stabil justru bisa menjadi pihak paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ketika badai dahsyat menerjang dan infrastruktur hancur, siapa yang menjaga keamanan saat listrik padam, air tercemar, dan layanan publik lumpuh? Risiko kini tidak hanya mengancam negara miskin atau rapuh, tetapi juga sistem global yang selama ini merasa kebal.

Perubahan iklim telah memperluas makna “ancaman keamanan”. Ia tidak lagi bersifat militeristik, melainkan ekologis dan sosial. Ancaman ini datang perlahan, menyusup dalam bentuk bencana alam, krisis pangan, hingga tekanan ekonomi. Ketika manusia gagal mengantisipasi perubahan lingkungan, maka stabilitas sosial pun terguncang. Ketika masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap kebutuhan dasar, mereka terpaksa melakukan apa pun untuk bertahan hidup dan di sinilah konflik sering kali bermula.

Konflik Sumber Daya: Api yang Membakar dari Dalam

Perubahan iklim memicu kelangkaan air dan lahan subur. Saat kondisi itu terjadi, konflik tidak lagi sekadar soal ideologi atau kekuasaan, melainkan soal hidup dan mati. Di banyak wilayah Afrika dan Asia Selatan, perebutan air antara petani dan penggembala mulai memecah keluarga, menghancurkan komunitas, bahkan menjalar hingga ke tingkat negara. Ketika negara gagal menyediakan kebijakan adaptasi dan mitigasi, kekosongan itu diisi oleh ketidakstabilan.

Apa yang tampak sebagai konflik “etnis” atau “agama” seringkali memiliki akar yang lebih dalam: perubahan iklim yang mengubah kondisi hidup masyarakat tanpa mereka sadari. Dengan demikian, perubahan iklim bukan hanya memperburuk konflik yang sudah ada, tetapi juga menciptakan kondisi baru yang dapat memicu ketegangan di wilayah yang sebelumnya stabil.

Menurut laporan World Resources Institute (2024), lebih dari 25 negara kini berada dalam kondisi “krisis air kronis”, sebagian besar di Timur Tengah dan Afrika. Krisis ini menimbulkan risiko politik dan keamanan jangka panjang karena air telah menjadi sumber kekuatan baru, sama pentingnya dengan minyak pada abad ke-20.

Sementara itu, meningkatnya suhu global juga memperburuk ketimpangan ekonomi antarwilayah. Negara-negara yang menggantungkan hidup pada sektor agraris menjadi semakin rentan terhadap gagal panen dan krisis pangan. Kondisi tersebut memperkuat rantai ketidakamanan: kemiskinan, pengangguran, kelaparan, hingga migrasi paksa. Pada titik tertentu, ketegangan ekonomi ini berpotensi berubah menjadi konflik politik yang lebih besar.

Konteks Global dan Politik Iklim

Isu perubahan iklim juga menjadi medan baru dalam politik global. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa memainkan peran penting, bukan hanya sebagai penghasil emisi terbesar, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan dunia. Amerika Serikat, misalnya, melalui Inflation Reduction Act berupaya mempercepat transisi energi hijau, sementara Uni Eropa meluncurkan kebijakan Green Deal untuk mencapai net zero emission pada 2050.

Namun, langkah-langkah ambisius tersebut tidak terlepas dari kepentingan geopolitik. Dominasi teknologi hijau, penguasaan rantai pasok mineral kritis, dan persaingan industri energi terbarukan menjadi sumber ketegangan baru. Tiongkok, sebagai produsen utama panel surya dan baterai litium, kini menjadi aktor sentral dalam “ekonomi hijau” dunia. Alih-alih memperkuat solidaritas global, transisi energi justru bisa melahirkan ketergantungan baru antarnegara jika tidak diatur dengan adil.

Perundingan iklim seperti Conference of the Parties (COP) pun sering kali terhambat oleh perbedaan kepentingan. Negara-negara maju menuntut komitmen pengurangan emisi dari negara berkembang, sementara negara berkembang menuntut tanggung jawab historis dari negara kaya yang sejak lama menikmati keuntungan industri berbasis fosil. Ketegangan ini menggambarkan bahwa krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga cermin ketidakadilan ekonomi global.

Dampak bagi Indonesia dan Asia Tenggara

Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara-negara di kawasan ini memiliki garis pantai yang panjang, kepadatan penduduk tinggi, serta ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian dan kelautan. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi risiko nyata: naiknya permukaan laut dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil, merusak ekosistem pesisir, dan mengancam kehidupan jutaan nelayan.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara mengalami peningkatan suhu rata-rata sebesar 0,5°C–1°C dalam lima dekade terakhir. Dampaknya terasa dalam bentuk cuaca ekstrem, banjir besar, kebakaran hutan, dan kekeringan berkepanjangan. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sosial: migrasi penduduk, meningkatnya harga bahan pokok, serta tekanan pada stabilitas ekonomi nasional.

Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai kebijakan untuk merespons krisis ini, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan komitmen dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen pada 2030. Namun, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi kendala: ketimpangan sumber daya, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Di tingkat lokal, adaptasi masyarakat masih sangat terbatas karena faktor ekonomi dan pendidikan.

Solusi dan Kerja Sama Internasional

Menghadapi ancaman global seperti perubahan iklim memerlukan pendekatan yang lintas batas dan lintas sektor. Tidak ada satu negara pun yang dapat menghadapinya sendiri. Diperlukan kerja sama yang lebih kuat antara negara maju dan berkembang untuk mendukung pendanaan adaptasi, transfer teknologi hijau, serta penguatan kapasitas masyarakat di tingkat akar rumput.

Konsep keamanan manusia (human security) kini mulai dipandang sebagai pendekatan alternatif untuk menjawab kompleksitas krisis iklim. Pendekatan ini menempatkan kesejahteraan manusia sebagai pusat perhatian bukan hanya keamanan teritorial, tetapi juga keamanan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dalam kerangka ini, kebijakan pertahanan nasional pun perlu berevolusi. Tentara dan aparat keamanan tidak lagi hanya berfokus pada ancaman bersenjata, tetapi juga dilibatkan dalam upaya mitigasi bencana, penanganan krisis pangan, dan evakuasi korban bencana iklim.

Di tingkat internasional, inisiatif seperti Loss and Damage Fund menjadi langkah penting untuk memastikan keadilan iklim. Dana tersebut diharapkan dapat membantu negara-negara yang paling terdampak, terutama di Afrika dan Pasifik, dalam menghadapi kerugian akibat bencana alam yang dipicu perubahan iklim. Namun, tanpa komitmen nyata dari negara-negara maju dalam menyalurkan dana tersebut, kebijakan ini hanya akan menjadi janji kosong.

Refleksi: Melihat Krisis Sebagai Cermin Diri

Krisis iklim sejatinya bukan sekadar persoalan sains atau kebijakan, melainkan persoalan moral dan eksistensial manusia. Ia menguji cara kita hidup, cara kita memandang bumi, dan cara kita berbagi ruang dengan makhluk lain. Dalam banyak hal, perubahan iklim adalah cermin dari sistem global yang terlalu lama menomorsatukan pertumbuhan ekonomi di atas kelestarian lingkungan.

Mungkin inilah bentuk perang baru yang tak pernah kita nyatakan, tetapi sedang kita jalani: perang melawan diri sendiri melawan kerakusan, kelalaian, dan ketidakpedulian kita terhadap bumi. Ketika bumi menagih kembali, tidak ada negara yang benar-benar aman, seberapa pun tinggi temboknya atau kuat militernya.

Kita perlu mengubah cara pandang terhadap keamanan: dari yang berpusat pada negara, menjadi yang berpusat pada manusia dan bumi. Keamanan tidak hanya berarti bebas dari ancaman militer, tetapi juga bebas dari kelaparan, bencana, dan kehilangan masa depan. Dunia membutuhkan solidaritas baru solidaritas ekologis yang melampaui batas ideologi dan politik.

Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan uji moral bagi peradaban manusia modern. Jika kita gagal menghadapinya dengan keberanian dan keadilan, maka sejarah akan mencatat bahwa peradaban ini runtuh bukan karena perang atau senjata, tetapi karena kesombongan kita sendiri dalam mengabaikan alam yang memberi kehidupan.