Perubahan Iklim: Ancaman Nyata bagi Keamanan Manusia dan Dunia
Perubahan Iklim: Ancaman Nyata bagi Keamanan Manusia dan Dunia

Penulis : Annasyanda Jelita Putri (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Setiap tahun, suhu bumi terus memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah modern. Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sejak 1800-an, dengan suhu global naik 1,5 derajat Celsius di atas masa pra-industri. Kenaikan yang tampak kecil itu nyatanya cukup untuk menyalakan kebakaran besar di Los Angeles, menenggelamkan permukiman di Indonesia dan Taiwan, serta memicu gelombang panas ekstrem di Eropa. Ribuan orang kehilangan rumah, dan puluhan ribu lainnya kehilangan nyawa. Semua akibat fenomena yang sering kita dengar, tetapi jarang benar-benar kita rasakan urgensinya, ialah perubahan iklim.

Di Indonesia sendiri, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan banjir rob kini terjadi hampir setiap bulan. BMKG mencatat peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, dari hujan lebat tanpa jeda hingga gelombang panas yang tak wajar. Fenomena yang dulu dianggap “musiman” kini menjadi “kebiasaan baru”. Ironisnya, di tengah situasi yang semakin genting, banyak negara, termasuk negara besar seperti Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump, justru menyangkal realitas perubahan iklim dan memangkas komitmen iklim global.

Jika bumi terus memanas, siapa yang akan menanggung akibatnya? Jawabannya sederhana: kita semua. Dari krisis pangan akibat gagal panen, penyakit menular baru yang dipicu perubahan ekologi vektor, hingga kenaikan permukaan laut yang mengancam pulau-pulau kecil, semua menandakan bahwa krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Hal tersebut sudah terjadi sekarang, di depan mata kita.

Namun, lebih dari sekadar persoalan lingkungan, perubahan iklim kini telah menjadi ancaman serius bagi keamanan manusia dan keamanan internasional. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik antarnegara. Konflik sumber daya, migrasi iklim, dan ketimpangan adaptasi menjadi tantangan nyata bagi tatanan global. Dengan kata lain, krisis iklim bukan hanya urusan penyelamatan bumi, tetapi juga tantangan bagi keamanan internasional dan manusia.

Negara-negara di kepulauan Pasifik Selatan, seperti Tuvalu, Kiribati, Fiji, dan Kepulauan Marshall, kini berada di garis depan dampak perubahan iklim. Permukaan laut yang terus naik mengancam menenggelamkan wilayah mereka dalam beberapa dekade ke depan. Di Tuvalu, titik tertinggi pulau hanya sekitar 4-5 meter di atas permukaan laut, membuat banjir rob dan intrusi air laut semakin sering terjadi. Pemerintah mereka bahkan telah menyiapkan rencana migrasi besar-besaran bagi warganya ke negara lain seperti Selandia Baru, karena sebagian besar lahan sudah tak layak huni. Sementara itu, Kiribati telah membeli tanah di Fiji sebagai bentuk “cadangan” tempat tinggal bagi generasi mendatang. Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa bagi masyarakat Pasifik, krisis iklim merupakan realitas eksistensial yang menentukan apakah sebuah negara bisa terus ada atau akan hilang dari peta dunia.

Situasi yang dihadapi negara-negara Pasifik Selatan ini memperlihatkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, melainkan juga ancaman nyata terhadap keamanan manusia dan keamanan internasional. Ketika suatu negara berpotensi tenggelam dan warganya harus bermigrasi ke wilayah lain, muncul risiko krisis kemanusiaan, konflik lintas batas, dan ketegangan geopolitik baru. Gelombang pengungsi iklim bisa memicu perebutan sumber daya, pergeseran identitas nasional, hingga tantangan hukum internasional terkait status kewarganegaraan bagi populasi yang kehilangan tanah airnya. Dalam konteks ini, perubahan iklim menjadi faktor destabilisasi global yang menjadi tantanan untuk efektivitas sistem keamanan internasional yang ada saat ini.

Perubahan iklim telah secara langsung mengancam keamanan manusia, bukan hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga pangan, kesehatan, dan tempat tinggal. Laporan Republika (2025) mencatat bahwa sepanjang tahun lalu, lebih dari 16.000 orang di Eropa meninggal akibat gelombang panas ekstrem, menandakan bahwa perubahan iklim kini telah menjadi ancaman nyata bagi keselamatan manusia. Sementara itu, riset BRIN mengungkap bahwa perubahan suhu dan curah hujan turut mengubah ekologi vektor penyakit, seperti nyamuk penyebab demam berdarah dan malaria, yang kini menyebar ke wilayah baru.

Krisis pangan juga kian memburuk. Seperti dilaporkan CNBC Indonesia (2025), perubahan pola iklim global membuat produktivitas pertanian menurun, mengancam pasokan makanan bagi lebih dari 8 miliar manusia di dunia. Gagal panen akibat kekeringan dan banjir ekstrem telah memperburuk ketahanan pangan, terutama di negara berkembang. Dalam konteks ini, perubahan iklim jelas bukan sekadar masalah suhu, melainkan ancaman terhadap hak dasar manusia: untuk hidup sehat, aman, dan memiliki masa depan yang layak.

Krisis iklim juga memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas internasional. Kenaikan suhu global hingga 2 derajat di atas masa praindustri diperkirakan akan memangkas PDB per kapita global hingga 24 persen pada tahun 2100 (Kompas, 2025). Ketimpangan ekonomi yang dihasilkan dapat memicu ketegangan antarnegara, terutama ketika perebutan sumber daya seperti air, tanah subur, dan energi semakin sengit.

Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, negara-negara kepulauan seperti Tuvalu dan Kiribati yang menghadapi ancaman tenggelam berpotensi menimbulkan konflik lintas batas akibat migrasi iklim. Ketika warga harus meninggalkan negaranya, muncul persoalan tentang kedaulatan, batas wilayah laut, dan status hukum negara yang “hilang.” Fenomena ini bukan lagi teori, tetapi isu nyata yang mulai dibahas di forum internasional seperti PBB dan COP.

Banyak lembaga pertahanan kini memandang perubahan iklim sebagai “threat multiplier”, yaitu pengganda ancaman yang memperburuk situasi konflik yang sudah ada. Militer Amerika Serikat, misalnya, telah lama mengidentifikasi krisis iklim sebagai faktor yang dapat memicu perang, memperparah ketidakstabilan politik, dan mengganggu rantai pasok global. Ketika sumber daya langka dan bencana meningkat, negara-negara akan meningkatkan belanja militer untuk mengamankan wilayah dan warganya. Hal ini juga tampak dari meningkatnya tensi geopolitik di kawasan Arktik, di mana negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada bersaing atas sumber daya yang muncul akibat mencairnya es kutub.

Bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, perubahan iklim membawa tantangan multidimensi. BMKG menyoroti bahwa Indonesia menghadapi cuaca ekstrem yang semakin sering dan tidak terprediksi, dari banjir besar hingga kekeringan panjang yang memengaruhi ketahanan pangan nasional. Selain itu, lautan yang semakin asam, seperti dilaporkan Betahita.id (2025), telah melewati ambang batas kritis dan mengancam ekosistem laut tropis, termasuk terumbu karang yang menjadi sumber ekonomi bagi jutaan nelayan.

Selain itu, survei Kompas (2025) menunjukkan bahwa 85 persen masyarakat Indonesia menginginkan perusahaan dan pemerintah lebih tegas mengambil tindakan terhadap krisis iklim. Ini menunjukkan meningkatnya kesadaran publik, tetapi juga tekanan politik bagi negara untuk bertindak cepat. Dalam konteks regional, kerja sama ASEAN menjadi penting untuk memperkuat ketahanan iklim kolektif, terutama karena banyak negara di kawasan ini, seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia yang tergolong paling rentan terhadap bencana iklim global.

Meski dampak perubahan iklim semakin jelas terlihat, masih ada salah satu pemimpin negara yang menyangkal realitas krisis ini. Salah satu contohnya adalah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang berulang kali menyebut perubahan iklim sebagai “penipuan terbesar di dunia.” Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Trump bahkan menolak kebijakan energi hijau dan menuduhnya sebagai ancaman bagi ekonomi global. Ia lebih memilih mendukung industri batu bara dan minyak, sambil menyebut sains iklim sebagai propaganda politik. Penolakan dari negara besar seperti Amerika Serikat dapat memperlambat kerja sama global, memperburuk krisis, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap keseriusan dunia dalam menghadapi bencana iklim.

Namun, pandangan seperti ini tidak hanya datang dari elite politik. Banyak orang di dunia juga masih menganggap krisis iklim sebagai sesuatu yang jauh dan abstrak. Sebagian besar manusia belum benar-benar merasakan dampaknya secara langsung, seperti rumah terendam banjir, gagal panen, atau suhu ekstrem yang mematikan. Akibatnya, isu ini sering dipandang sebagai “masalah orang lain” atau urusan masa depan, bukan ancaman nyata hari ini. Padahal, berbagai penelitian sudah menegaskan bahwa tanpa aksi kerja sama global, skala bencana akan meningkat di masa depan, dari krisis pangan, migrasi besar-besaran, hingga runtuhnya stabilitas ekonomi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan pengetahuan, tetapi juga kesadaran dan empati global. Manusia cenderung menunda kepedulian sampai mereka merasakan ancamannya secara langsung. Oleh karena itu, krisis iklim ini perlu dipahami sebagai ancaman yang nyata sehingga kerja sama global untuk mencegahnya dapat diwujudkan.