Perubahan Departemen Pertahanan Amerika Serikat: Tandai Era Baru atau Resiko Konflik Internasional?
Penulis : Dinda Nashwa Febrianti, Mahasiswa Hubungan Internasional
Perubahan nama Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Department of Defense) menjadi Departemen Perang (Department of War) bukanlah keputusan administratif yang sederhana. Kebijakan yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump pada September 2025 ini menandai perubahan simbolik sekaligus strategis dalam orientasi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Amerika Serikat (AS).
Trump menyatakan bahwa istilah “pertahanan” terlalu pasif dan tidak mencerminkan kesiapan Amerika untuk “menang” dalam menghadapi ancaman global. Dengan mengganti istilah tersebut, pemerintahan Trump secara eksplisit menyampaikan pesan bahwa Amerika Serikat tidak hanya akan mempertahankan diri, tetapi juga siap menyerang demi menjaga kepentingannya di kancah internasional.
Secara historis, istilah Department of War memang pernah digunakan hingga tahun 1947 sebelum diganti menjadi Department of Defense pada masa Presiden Harry S. Truman. Pergantian kala itu merefleksikan semangat dunia pasca-Perang Dunia II yang ingin menekankan perdamaian dan keamanan kolektif melalui pembentukan institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Maka, kembalinya istilah “perang” di bawah pemerintahan Trump dapat dipandang sebagai simbol kemunduran dari paradigma diplomasi dan kerja sama menuju politik kekuatan (power politics) yang lebih agresif.
Dimensi Simbolik dan Politik dalam Kebijakan Nama
Bahasa dan simbol memiliki kekuatan yang besar dalam politik internasional. Istilah “pertahanan” membawa konotasi protektif dan defensif, sedangkan “perang” memiliki makna ofensif, agresif, dan konfrontatif. Dengan demikian, perubahan istilah ini bukan sekadar tindakan simbolik, melainkan bentuk rebranding ideologis terhadap cara AS memaknai keamanan dan kekuasaan.
Secara psikologis, perubahan ini menegaskan identitas baru Amerika sebagai kekuatan global yang tidak lagi mengedepankan diplomasi sebagai instrumen utama, tetapi menempatkan kekuatan militer sebagai penentu utama kebijakan luar negeri. Dalam konteks hubungan internasional kontemporer, langkah ini dapat mengubah persepsi global terhadap Amerika. Negara-negara sekutu mungkin merasa cemas atas kemungkinan bergesernya prioritas Amerika dari stabilitas menuju ekspansi kekuasaan, sementara negara-negara rival seperti Tiongkok, Rusia, dan Iran dapat menafsirkan langkah ini sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional mereka.
Selain itu, kebijakan ini juga menimbulkan implikasi terhadap narasi moralitas Amerika di dunia internasional. Selama beberapa dekade, AS sering menempatkan dirinya sebagai penjaga demokrasi dan perdamaian dunia. Namun, dengan mengembalikan nama “Departemen Perang”, simbol moral tersebut dapat berubah menjadi citra kekuatan hegemonik yang mementingkan kepentingannya sendiri di atas stabilitas global.
Dampak terhadap Dinamika Keamanan Global
Dalam konteks geopolitik global, perubahan simbolik ini dapat memperkuat kecenderungan militerisasi dan kompetisi strategis antarnegara besar. Dunia saat ini telah berada dalam kondisi multipolaritas yang rapuh, di mana kekuatan besar saling bersaing dalam berbagai bidang seperti ekonomi, teknologi, dan militer. Dengan menegaskan kesiapan untuk “berperang”, AS berpotensi mempercepat perlombaan senjata baru (arms race), khususnya di kawasan Indo-Pasifik dan Timur Tengah.
Negara-negara seperti Tiongkok dapat menafsirkan langkah ini sebagai legitimasi untuk memperkuat militernya sendiri, termasuk modernisasi angkatan laut dan pengembangan teknologi pertahanan siber. Di sisi lain, sekutu-sekutu AS seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara NATO dapat merespons dengan meningkatkan anggaran pertahanan untuk menyesuaikan diri dengan “gaya baru” politik keamanan AS yang lebih keras. Hal ini dapat memperburuk security dilemma, di mana setiap langkah penguatan militer satu negara justru menciptakan rasa tidak aman bagi pihak lain, dan mendorong mereka untuk bersaing dalam peningkatan kapasitas militer secara terus-menerus.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga berpotensi melemahkan peran lembaga internasional seperti PBB atau OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) yang selama ini menjadi wadah penyelesaian konflik secara damai. Ketika negara adidaya mengedepankan pendekatan koersif ketimbang diplomasi, tatanan internasional berbasis aturan (rules-based order) yang selama ini dijaga pasca-1945 menjadi semakin terancam.
Perspektif Keamanan Internasional: Analisis Teoretis
- Perspektif Realis: Logika Kekuasaan dan Survival
Dalam pandangan realis, sistem internasional bersifat anarkis dan tidak memiliki otoritas tertinggi yang dapat menjamin keamanan semua negara. Oleh karena itu, setiap negara berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya melalui peningkatan kekuatan militer (self-help).
Dari sudut pandang ini, perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang dapat dipahami sebagai strategi simbolik Amerika untuk menegaskan posisinya dalam struktur kekuasaan global yang semakin kompetitif.
Bagi para realis, langkah ini tidaklah berlebihan. Dalam situasi meningkatnya ancaman dari kekuatan besar seperti Tiongkok dan Rusia, Amerika perlu menunjukkan kekuatan dan determinasi untuk mempertahankan status quo hegemoniknya. Namun, konsekuensinya adalah meningkatnya polaritas global dan risiko konfrontasi terbuka. Dengan kata lain, kebijakan ini mungkin meningkatkan keamanan nasional Amerika dalam jangka pendek, tetapi mengancam keamanan internasional secara keseluruhan.
- Perspektif Liberalis: Erosi Kepercayaan dan Stabilitas Kolektif
Sementara itu, dari pandangan liberal, keamanan internasional hanya dapat dicapai melalui kerja sama dan institusi multilateral. Institusi seperti PBB, NATO, dan berbagai rezim internasional berperan penting dalam membangun trust antarnegara serta mengurangi ketegangan.
Perubahan istilah “pertahanan” menjadi “perang” justru melemahkan fondasi tersebut. Dengan mengedepankan militerisme, AS mengirimkan sinyal bahwa pendekatan unilateralisme dan kekuatan keras (hard power) lebih diutamakan dibanding diplomasi dan kerja sama internasional.
Hal ini dapat memperlemah kepercayaan sekutu-sekutu AS dan memperburuk hubungan trans-Atlantik. Negara-negara Eropa, misalnya, mungkin akan meninjau ulang ketergantungannya terhadap AS dalam sistem keamanan kolektif NATO, sementara di kawasan Asia Timur, sekutu seperti Korea Selatan dan Filipina dapat merasa terjebak antara kepentingan militer AS dan kebutuhan stabilitas regional.
- Perspektif Konstruktivis: Identitas, Norma, dan Persepsi
Pendekatan konstruktivis menyoroti pentingnya ide, norma, dan identitas dalam pembentukan kebijakan luar negeri. Dalam hal ini, perubahan istilah dari “pertahanan” menjadi “perang” merepresentasikan rekonstruksi identitas nasional Amerika Serikat.
Jika selama ini AS menampilkan diri sebagai “penjaga perdamaian global” (global peacekeeper), kini identitas itu bergeser menjadi “kekuatan dominan” (dominant power) yang lebih menekankan ketegasan dan kemampuan militer.
Perubahan identitas ini akan membentuk persepsi baru di mata dunia internasional: sekutu mungkin mulai berhati-hati dalam bekerja sama, sementara rival bisa merasa semakin terancam dan defensif. Dengan kata lain, bahasa dan simbol yang digunakan dalam kebijakan keamanan dapat mengubah dinamika interaksi antarnegara secara fundamental.
Reaksi Domestik dan Politik Internal Amerika
Secara domestik, perubahan ini juga menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi Amerika. Sebagian kalangan konservatif menganggap langkah ini sebagai kebangkitan semangat nasionalisme dan bentuk ketegasan kepemimpinan. Mereka berargumen bahwa Amerika harus kembali pada prinsip dasar: mempertahankan kepentingannya dengan segala cara.
Namun, kalangan progresif dan liberal melihat hal ini sebagai bentuk kemunduran moral. Mereka menilai bahwa perubahan nama tersebut bukan hanya mengubah citra, tetapi juga menggeser nilai fundamental Amerika yang menekankan kebebasan, diplomasi, dan perdamaian. Kritik ini juga datang dari para veteran dan diplomat yang menilai kebijakan Trump lebih berorientasi pada simbol politik ketimbang substansi kebijakan keamanan yang rasional.
Dari perspektif keamanan internasional, perubahan ini dapat menjadi titik balik yang berbahaya. Dunia saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan non-tradisional seperti perubahan iklim, migrasi, terorisme, dan ancaman siber, yaitu isu-isu yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan militer semata. Dengan menempatkan “perang” kembali di pusat identitas keamanan nasionalnya, Amerika Serikat justru berisiko kehilangan fleksibilitas dalam menghadapi ancaman multidimensi tersebut.
Selain itu, keputusan ini juga berpotensi memperkuat polarisasi global antara kekuatan Barat dan Timur. Dalam jangka panjang, pendekatan agresif AS dapat memperburuk fragmentasi dalam sistem internasional dan mengurangi legitimasi moral Amerika sebagai aktor utama dalam tatanan dunia.
Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang mencerminkan transformasi ideologis yang mendalam dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Dari perspektif keamanan internasional, langkah ini dapat dipahami sebagai upaya menegaskan kembali posisi hegemonik AS di tengah ketidakpastian global. Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru mengancam stabilitas internasional dan melemahkan kerja sama multilateral yang menjadi fondasi perdamaian dunia pasca-Perang Dunia II.
Dengan demikian, perubahan ini tidak hanya mengubah istilah administratif, tetapi juga menandai perubahan cara dunia memaknai keamanan itu sendiri dari konsep kolektif menuju konsep kompetitif. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling bergantung, kembalinya “Departemen Perang” menjadi pengingat bahwa bahasa, simbol, dan persepsi dapat membentuk realitas politik internasional lebih dari sekadar senjata itu sendiri.
