Pengibaran Bendera One Piece: Bentuk Kebebasan Berekspresi atau Ancaman bagi Keamanan Nasional?
Penulis : Ainiyah Wardani, Mahasiswa Hubungan Internasional
Beberapa waktu terakhir, pengibaran bendera One Piece di ruang publik menjadi perdebatan hangat. Sebagian pihak menganggapnya sebagai ancaman keamanan nasional, sedangkan kelompok lain menilai ini sekadar ekspresi budaya populer anak muda. Bagaimanakah kita seharusnya memandang fenomena ini? Apakah pengibaran bendera Jolly Roger versi One Piece benar-benar mengancam kedaulatan, atau justru bagian dari kebebasan berekspresi yang sah?
Latar Belakang Fenomena One Piece
One Piece adalah serial manga dan anime Jepang yang sangat populer. Manga karya Eiichiro Oda ini pertama kali terbit pada 22 Juli 1997 di majalah Weekly Shōnen Jump. Adaptasi anime-nya mulai ditayangkan di Jepang pada 20 Oktober 1999. Di Indonesia, One Piece telah memiliki basis penggemar yang besar dan terus berkembang, menjadikannya salah satu serial anime dan manga paling digemari di tanah air. Cerita One Piece berpusat pada petualangan Monkey D. Luffy dan kru Topi Jerami-nya, yang digambarkan sebagai kelompok bajak laut idealis yang menentang ketidakadilan.
Bendera yang dipersoalkan adalah bendera Jolly Roger versi One Piece. Dalam serial tersebut, bendera hitam ini bergambar kepala tengkorak mengenakan topi jerami di antara dua tulang bersilangan. Bendera itu bukanlah simbol politik nyata, melainkan bagian dari cerita fiksi. Sebagai latar belakang historis, bendera Jolly Roger memang identik dengan kelompok bajak laut abad ke-17. Namun Eiichiro Oda membalik citra negatif tersebut: tokoh Luffy digambarkan sebagai pembela kebenaran dan pelindung kaum lemah. Dengan kata lain, bagi penggemar One Piece, Jolly Roger Topi Jerami melambangkan semangat kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap penindasan.
Fenomena pengibaran bendera ini mulai ramai diperbincangkan masyarakat menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI pada Agustus 2025. Gambar-gambar bendera One Piece dikibarkan di beberapa rumah dan menjadi bahan unggahan di media sosial. Menurut laporan, seorang pemuda di Tuban mengibarkan bendera One Piece di halaman rumahnya dan memposting foto penghormatan padanya. Polisi sempat mendatangi rumahnya, tetapi kasus tersebut tidak berlanjut setelah pemuda itu mengaku hanya iseng mengikuti tren; bendera sebesar sekitar 40×50 cm itu sekadar disita sementara. Hal serupa terjadi di Sragen, dimana mural karakter One Piece sempat dihapus atas arahan aparat keamanan. Peristiwa-peristiwa ini memicu reaksi publik yang beragam.
Respon pejabat negara terhadap fenomena ini terbilang keras. Kapolda Banten Brigjen Hengki menyatakan akan menindak tegas siapa pun yang mengibarkan bendera selain Merah Putih pada momen HUT RI ke-80, karena menurutnya simbol bajak laut itu bisa memprovokasi dan merendahkan martabat nasional. Menko Polhukam Budi Gunawan menganggap pengibaran bendera One Piece mengandung unsur pidana, karena dinilai “mencederai kehormatan bendera Merah Putih”. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bahkan menuding aksi tersebut bertujuan memecah belah persatuan bangsa. Tak kalah keras, Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan negara dapat melarang pengibaran bendera ini karena dianggap melanggar hukum dan “bentuk makar”. Posisi pemerintah dan parlemen ini memperlihatkan kekhawatiran bahwa simbol fiksi One Piece bisa berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Di sisi lain, banyak kalangan pengamat, aktivis, dan akademisi menilai respons tersebut berlebihan. Mereka menekankan bahwa pengibaran bendera One Piece lebih tepat dipandang sebagai kritik atau ekspresi kebebasan, bukan ancaman nyata. Berikut argumen-argumen yang mendukung pandangan ini.
Bendera One Piece Bukan Ancaman, Mengapa Demikian?
- Simbol Fiksi, Bukan Ideologi Politik: Bendera bajak laut dalam One Piece yang dikenal sebagai Jolly Roger Topi Jerami adalah simbol fiksi yang berasal dari dunia manga dan anime. Ia tidak memiliki afiliasi dengan kelompok politik, agama, atau gerakan ideologis manapun di dunia nyata. Dalam konteks cerita, simbol ini merepresentasikan nilai-nilai seperti solidaritas, kebebasan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Banyak pengamat budaya populer menilai bahwa Jolly Roger dalam One Piece berfungsi sebagai lambang ekspresi kreatif dan semangat petualangan, bukan sebagai ajakan ideologis. Penafsiran simbol ini sebagai bentuk apresiasi terhadap karya fiksi seharusnya dipandang sebagai hal positif dan tidak provokatif. Mengibarkan bendera ini tidak serta-merta mencerminkan ancaman ideologis terhadap negara, melainkan bagian dari ekspresi budaya populer global yang merayakan kebebasan dan imajinasi.
- Ekspresi Budaya dan Kritik Sosial: Pengibaran bendera One Piece banyak dipandang sebagai bentuk ekspresi budaya populer atau sindiran kritis sosial. Dalam konteks One Piece, para tokohnya dikenal giat melawan ketidakadilan dan pemerintahan otoriter. Bagi para penggemar, mengibarkan simbol bajak laut ini merupakan dukungan terhadap nilai-nilai keadilan dan kebebasan yang diusung ceritanya. Aktifis dan akademisi berargumen bahwa penggunaan budaya pop sebagai media kritik telah umum terjadi. Misalnya, pengamat sosial Amin Tohari menyampaikan bahwa pengibaran bendera One Piece oleh masyarakat “sebetulnya hanya ekspresi yang bernada kritik terhadap pemerintah”. Demikian juga, peneliti UGM Ayom Mratita Purbandani menjelaskan bahwa “ekspresi protes ini bersifat simbolik,” dengan penggunaan idiom budaya populer sebagai alat kritik, mirip simbol salam tiga jari di Thailand atau semangka sebagai simbol dukungan untuk Palestina. Argumen ini menekankan bahwa fenomena ini adalah manifestasi kreatifitas anak muda dalam menyampaikan aspirasi, bukan indikasi persekongkolan melawan negara.
- Tidak Ada Tindak Kekerasan atau Kelompok Tertentu: Ancaman keamanan nasional umumnya melibatkan rencana nyata, organisasi terstruktur, atau aksi kekerasan yang membahayakan keselamatan negara. Sebaliknya, gerakan mengibarkan bendera One Piece bersifat spontan dan individual. Tidak ada laporan bahwa kelompok pengibar bendera ini melakukan konspirasi melawan negara atau membawa senjata. Kasus pemuda di Tuban yang ditangani petugas bahkan ditutup setelah yang bersangkutan menjelaskan tindakannya hanya iseng mengikuti tren media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa motif di balik fenomena ini lebih ke arah hiburan atau kritik santai, bukan kriminal. Dengan demikian, memperlakukan aksi ini sebagai ancaman serius tidak beralasan secara substansi.
- Kebebasan Berekspresi Dijamin Hukum: Secara konstitusional, setiap warga negara berhak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. UUD 1945 (Pasal 28E ayat 3) menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Indonesia juga menandatangani instrumen hak asasi internasional, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 19 ICCPR menegaskan bahwa kebebasan berekspresi mencakup segala jenis informasi dan gagasan, bahkan yang mengejutkan atau mengganggu, tanpa memandang benar atau salahnya isi tersebut. Amnesty International Indonesia menekankan bahwa dalam konteks ini, pengibaran bendera One Piece sebagai media penyampai kritik adalah bagian sah dari hak berekspresi yang dijamin konstitusi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera juga tidak melarang pengibaran bendera selain Merah Putih, selama bendera Merah Putih tetap diposisikan lebih tinggi dan lebih besar. Pasal 12 ayat (2) UU tersebut bahkan mengatur bahwa “Bendera Negara dibuat lebih besar dan dipasang lebih tinggi daripada bendera atau panji organisasi”. Artinya, penggunaan bendera populer fiksi boleh saja, asalkan simbol kenegaraan dihormati posisinya. Selama ketentuan tersebut dipatuhi, tidak ada dasar hukum yang melarang warganya mengibarkan simbol budaya populer. Sebaliknya, pembatasan sepihak atas ekspresi tanpa landasan jelas justru berpotensi menyalahi semangat kebebasan sipil yang dilindungi undang-undang.
- Kontak Dengan Persepsi Ancaman Nasional: Pengertian “ancaman keamanan nasional” biasanya merujuk pada hal-hal nyata seperti terorisme, agresi militer, spionase, atau kejahatan serius yang merongrong kedaulatan negara. Definisi semacam ini diungkapkan oleh Menhan RI, yang menyebut korupsi, narkoba, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme sebagai ancaman multidimensi utama NKRI. Melihat daftar tersebut, pengibaran bendera One Piece tanpa konteks kekerasan praktis tidak masuk kategori ancaman. Malah, banyak pengamat menilai reaksi pemerintah yang menganggap aksi ini bentuk provokasi terlalu berlebihan, justru respon pemerintah menunjukkan bentuk politisasi berlebihan atau “political paranoid” yang berlebihan. Artinya, penafsiran pengibaran bendera ini sebagai ancaman nasional perlu dikaji ulang agar proporsional.
Di pihak lain, tokoh pejabat dan politisi menyuarakan kekhawatiran. Misalnya, Brigjen Hengki dan Menko Polhukam Budi Gunawan menekankan peran Martabat Merah Putih dan menuding pengibaran One Piece dapat mencederainya. Sebagian khawatir aksi tersebut berpotensi memprovokasi atau memecah belah persatuan bangsa. Namun tanggapan ini mendapat kritik kuat dari berbagai pihak. Penaikan bendera One Piece tidak dilatarbelakangi ideologi pemisahan atau permusuhan terhadap negara, melainkan bentuk humor atau satire. Misalnya, polisi sendiri tidak melanjutkan kasus pemuda di Tuban setelah menyimpulkan niatnya hanya iseng mengikuti viral media sosial. Hal ini membuktikan bahwa konteks sosial yang sebenarnya bukan upaya subversi.
Pakar komunikasi juga memaparkan bahwa cerita One Piece sendiri justru mendorong sikap kritis terhadap pengorbanan hak demi keamanan. Fajar Junaedi (UMY) merujuk penelitian Thomas Zoth (2011) yang menyebut alur cerita One Piece menolak pengorbanan hak individu demi keamanan semata. Dalam hal ini, simbol One Piece lebih pas diartikan sebagai pengingat agar pemerintah tidak mengabaikan hak rakyat dengan dalih keamanan. Oleh karena itu, memandang pengibaran bendera tersebut sebagai ancaman ideologis patut dipertanyakan.
Selain itu, para pengamat sosial menilai ketakutan atas nasionalisme yang luluh lantak berlebihan. Pengamat Amin Tohari menyatakan bahwa kritik melalui budaya pop seperti ini “tidak melunturkan nasionalisme, malah memperkuatnya” karena menyasar isu-isu yang selama ini justru mencederai semangat kebangsaan (korupsi, pungli, mafia hukum). Ia menambahkan bahwa ketakutan pemerintah sesungguhnya adalah kekuasaannya yang mungkin tergoyahkan oleh kritik semacam ini. Dengan kata lain, tuduhan makar dan disintegrasi dinilai sebagai dalih untuk membungkam kritik. Peneliti UGM Ayom Purbandani menilai respons pemerintah terlalu berlebihan dan menunjukkan paranoid politik. Menurutnya, aksi ini lebih tepat disebut protes simbolik dalam kerangka kebebasan sipil, sejajar dengan gerakan-gerakan simbolik global (misal salam tiga jari Thailand).
Secara hukum, tuduhan makar juga sulit dibuktikan. Undang-undang, misalnya Pasal 106-110 KUHP tentang makar, mensyaratkan adanya upaya menyerang negara dengan kekerasan atau pemaksaan kepada penguasa. Pengibaran bendera One Piece tanpa aksi kekerasan atau rencana penggulingan tidak memenuhi kriteria tersebut. Tanpa bukti perbuatan kriminal, penerapan pasal makar atau penghinaan bendera nasional tidak relevan. Justru langkah negara menindak warganya hanya karena simbol budaya populer berisiko melanggar hak-hak dasar. Banyak Asosiasi hak asasi manusia menegaskan bahwa negara harus melindungi kebebasan berpendapat damai. Amnesty Internasional Indonesia menyoroti bahwa Indonesia berkewajiban “melindungi serta menyediakan ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai”. Menutup ekspresi kritis dengan argumen keamanan nasional tanpa dasar kuat justru bertentangan dengan jaminan konstitusional dan komitmen hak asasi internasional.
Kesimpulan
Pengibaran bendera One Piece sesungguhnya lebih merupakan bentuk ekspresi budaya dan kritik sosial daripada ancaman keamanan nasional. Memperlakukan fenomena ini sebagai ancaman serius justru dapat mempersempit ruang kebebasan berekspresi warga. Sejumlah ahli dan aktivis menegaskan bahwa bendera Jolly Roger One Piece melambangkan solidaritas dan kebebasan, dan mengibarkannya pada dasarnya adalah bagian sah dari partisipasi politik anak muda. Dalam kerangka demokrasi, negara sudah sepatutnya merespons kritik dengan bijak, bukan represif. Menganggap pengibaran simbol populer ini sebagai provokasi justru akan menutup dialog kritis dan meredam kreativitas generasi muda. Sebaliknya, dengan memahami konteks budaya dan makna simbol yang sesungguhnya, masyarakat dan pemerintah dapat menilai fenomena ini secara lebih arif. Sejalan dengan prinsip hukum dan HAM, Indonesia berkewajiban menyediakan “ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai”. Oleh karena itu, menganggap bendera One Piece sebagai ancaman keamanan nasional justru berisiko mengabaikan aspirasi publik yang sah dan mereduksi kebebasan berpendapat yang dijamin negara.
