Pandemi Usai, Bahaya Baru Mengintai: Revolusi Keamanan Dunia di Era Pasca COVID-19
Pandemi Usai, Bahaya Baru Mengintai: Revolusi Keamanan Dunia di Era Pasca COVID-19

Penulis : Aqila Salma Zhafira, Mahasiswa Hubungan Internasional

Pandemi Covid-19 telah merevolusi konsep keamanan internasional, menggeser paradigma dari ancaman militer tradisional menuju human security. Tapi selain itu, vaksin jadi senjata rahasia negara-negara dalam perebutan kekuasaan global?

Pergeseran Makna “Keamanan Internasional” Melalui Pandemi

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir 2019 telah menjadi titik balik dalam sejarah hubungan internasional. Bukan hanya sebagai krisis kesehatan global, pandemi ini telah mengguncang fondasi keamanan internasional yang selama ini dibangun di atas asumsi-asumsi tradisional. Lebih dari 6 juta kematian resmi (menurut data WHO hingga 2023), gangguan rantai pasok global, dan resesi ekonomi yang melumpuhkan negara-negara maju sekaligus berkembang, menunjukkan bahwa ancaman keamanan tidak lagi didominasi oleh perang konvensional atau senjata nuklir. Pasca-Covid-19, konsep keamanan telah bergeser dari paradigma militer ke arah human security yang lebih luas, di mana kesehatan, ekonomi, dan lingkungan menjadi elemen sentral. Pandemi telah mempercepat transisi menuju tatanan internasional yang rapuh, teori-teori hubungan internasional seperti realisme, liberalisme, dan konstruktivisme memberikan lensa kritis untuk memahami dinamika baru ini. Dengan mengintegrasikan teori-teori tersebut, kita dapat melihat bagaimana Covid-19 tidak hanya mengungkap kerentanan sistem global, tetapi juga membuka peluang untuk kerjasama yang lebih inklusif, meskipun diwarnai oleh persaingan geopolitik yang intens.

Pandangan Teori-Teori Hubungan Internasional

Realisme melihat bahwa pandemi Covid-19 memperkuat tesis Hans Morgenthau tentang politik sebagai perebutan kekuasaan di antara negara-negara yang rasional dan egois. Realisme klasik memandang sistem internasional sebagai anarki, di mana negara-negara berusaha memaksimalkan kekuasaan relatif mereka untuk bertahan hidup. Selama pandemi, kita menyaksikan "vaccine nationalism" yang ekstrem: Amerika Serikat di bawah Trump membeli stok vaksin Pfizer dan Moderna jauh melebihi kebutuhan domestik, sementara China mendistribusikan vaksin Sinovac sebagai alat diplomasi vaksin ke lebih dari 100 negara. Ini bukan sekadar respons kesehatan, melainkan strategi untuk memperluas pengaruh geopolitik. Teori balance of power Kenneth Waltz menjadi relevan di sini; pandemi telah mempercepat persaingan AS-China, di mana kedua negara menggunakan narasi "America First" versus "Community with Shared Future for Mankind" untuk membangun aliansi. Pasca-Covid, realisme memprediksi peningkatan militerisasi di Indo-Pasifik, di mana Australia membatalkan kontrak kapal selam Prancis demi teknologi nuklir AS. Namun, realisme juga memiliki batas: ia gagal menjelaskan mengapa negara-negara seperti Jerman dan Kanada tetap berkomitmen pada multilateralisme kesehatan melalui COVAX, meskipun itu mengorbankan kepentingan nasional jangka pendek. Pandemi membuktikan bahwa ancaman non-tradisional seperti virus tidak dapat diatasi dengan kekuatan militer semata, sehingga realisme perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain untuk analisis yang lebih holistik.

Joseph Nye dengan konsep soft power-nya menjelaskan bagaimana pandemi telah mengubah persepsi kekuasaan: negara yang berhasil mengelola krisis domestik, seperti Selandia Baru dengan strategi eliminasi ketat, memperoleh legitimasi global yang lebih besar daripada negara dengan senjata nuklir. Liberalisme institusional melihat organisasi seperti WHO sebagai mekanisme untuk mengatasi collective action problems. Namun, pandemi mengungkap kelemahan liberalisme: WHO dikritik karena terlalu bias pada China dan gagal dalam investigasi asal-usul virus di Wuhan. Meskipun demikian, inisiatif seperti Pandemic Treaty yang telah diselesaikan dan diadopsi pada 20 Mei 2025 di Jenewa menunjukkan potensi liberalisme untuk evolusi. Pasca-Covid, kita melihat munculnya "health diplomacy" sebagai bentuk baru interdependensi kompleks. Misalnya, Uni Eropa mendistribusikan 2 miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin, memperkuat norma-norma liberal tentang tanggung jawab bersama. Liberalisme berargumen bahwa keamanan internasional pasca-pandemi akan lebih stabil jika negara-negara memperkuat rezim internasional, bukan mundur ke proteksionisme.

Konstruktivisme memberikan penjelasan yang lebih nuansa tentang bagaimana identitas dan norma sosial membentuk keamanan pasca-Covid. Pandemi telah mengkonstruksi ulang narasi keamanan: dari "sekuritisasi" militer ke "sekuritisasi kesehatan" ala Copenhagen School. Barry Buzan dkk. dalam teori sekuritisasi menjelaskan bagaimana isu non-militer seperti pandemi dapat diangkat menjadi ancaman eksistensial melalui speech acts. Pemimpin seperti Xi Jinping menggunakan pandemi untuk memperkuat narasi "China Dream" sebagai model tata kelola yang superior, sementara AS mempromosikan hal serupa untuk AS dalam Summit for Democracy. Konstruktivisme membantu memahami mengapa beberapa negara melihat vaksin sebagai "senjata biologis" (konspirasi Rusia), sementara yang lain melihatnya sebagai public good. Pasca-Covid, identitas kolektif baru muncul, seperti "Global South" yang menuntut keadilan vaksin melalui WTO waiver proposal. Ini mencerminkan bagaimana norma-norma seperti hak asasi manusia dan keadilan global sedang dikonstruksi ulang. Konstruktivisme juga menjelaskan fenomena "infodemic" WHO, di mana misinformasi di media sosial membentuk persepsi ancaman yang lebih berbahaya daripada virus itu sendiri.

Mengintegrasikan ketiga teori ini, kita dapat melihat paradoks keamanan internasional pasca-Covid: di satu sisi, pandemi mempercepat fragmentasi (realisme), tetapi di sisi lain membuka ruang untuk kerjasama baru (liberalisme) melalui rekonstruksi norma (konstruktivisme). Data empirik mendukung argumen ini. Di 2023, laporan SIPRI menunjukkan peningkatan anggaran militer global sebesar 3,7%, tertinggi sejak Perang Dingin, mencerminkan ketakutan realis. Namun, pada saat yang sama, investasi dalam Global Health Security Agenda meningkat 50% sejak 2020, menunjukkan komitmen liberal. Konstruktivisme terlihat dalam perubahan bahasa: istilah "build back better" Biden atau "resilient recovery" G20 menjadi norma baru dalam diskursus internasional.

Masa Depan Keamanan Internasional

Kedepannya, keamanan internasional pasca-Covid akan ditentukan oleh kemampuan aktor-aktor untuk menyeimbangkan ketiga elemen ini. Realisme mengingatkan kita bahwa tanpa kekuatan, kerjasama akan rapuh. Liberalisme menawarkan harapan melalui institusi, tetapi harus direformasi; misalnya, WHO perlu diberi kewenangan investigasi independen. Konstruktivisme menekankan pentingnya narasi bersama: kampanye "no one is safe until everyone is safe" harus menjadi identitas kolektif baru.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi 270 juta, pandemi telah mengajarkan pelajaran berharga. Dengan tingkat vaksinasi penuh hanya 63% pada 2023 (data Kemenkes), Indonesia harus mengadopsi pendekatan hybrid: realisme dalam memperkuat kedaulatan vaksin (produksi Bio Farma), liberalisme melalui keterlibatan ASEAN Vaccine Security, dan konstruktivisme dengan membangun narasi "Gotong Royong" global. Keamanan nasional tidak lagi hanya tentang pertahanan teritorial, tetapi juga ketahanan kesehatan yang terintegrasi dengan diplomasi.

Kesimpulannya, pasca-Covid-19, keamanan internasional telah memasuki era hybrid threats di mana ancaman biologis, ekonomi, dan informasi saling terkait. Teori realisme, liberalisme, dan konstruktivisme bukanlah pendekatan yang saling eksklusif, melainkan lensa komplementer untuk memahami kompleksitas ini. Dunia tidak akan kembali ke status quo ante; pandemi telah menjadi katalisator untuk tatanan baru yang lebih inklusif namun juga lebih kompetitif. Yang diperlukan adalah kepemimpinan visioner yang mampu mengintegrasikan kekuatan, institusi, dan norma dalam satu kerangka koheren. Hanya dengan demikian, umat manusia dapat menghadapi pandemi berikutnya yang menurut para ahli hanya soal waktu dengan lebih siap dan bersatu.