Pakistan Krisis Air: Mengintip dibalik Kebijakan Pengelolaan Air di Asia Selatan
Pakistan Krisis Air: Mengintip dibalik Kebijakan Pengelolaan Air di Asia Selatan

Penulis : Aqila Salma Zhafira (Hubungan Internasional)

Pakistan, negara dengan populasi lebih dari 240 juta jiwa pada 2025, sedang bergulat dengan krisis air yang mengancam kelangsungan hidupnya. Laporan terbaru Penilaian Keamanan Air Global dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap dengan jelas dan mendesak tentang krisis air yang semakin memburuk di Pakistan. Dengan menyebut Pakistan sebagai negara "sangat tidak aman air," laporan ini menyoroti krisis yang telah lama melanda negara tersebut, memperkuat peringatan para ahli dan aktivis lingkungan selama bertahun-tahun: Pakistan berada di ambang bencana air.

Klasifikasi PBB ini bukan sekadar data statistik, melainkan peringatan serius yang mengkhawatirkan yang menjadi ambang batas "kekurangan absolut". Sebagai negara agraris yang bergantung pada irigasi untuk 80% produksi makanan, krisis ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga ancaman ekonomi dan sosial. Di baliknya, terdapat lapisan kebijakan pengelolaan air yang rumit, baik secara nasional maupun regional di Asia Selatan.

Penyebab krisis ini multifaktor. Pertumbuhan populasi masyarakat Pakistan yang eksponensial yang diprediksi mencapai 250 juta pada 2025, yang meningkatkan permintaan air sementara pasokan air yang dimiliki sedikit, menciptakan defisit antara demand dengan supply air yang dimiliki. Perubahan iklim memperburuk situasi: antara September 2024 dan Januari 2025, curah hujan turun 70% di bawah normal, memicu kekeringan dan gelombang panas yang merusak pertanian. Selain itu, infrastruktur penyimpanan air Pakistan hanya mampu menampung untuk 30 hari.

Kesalahan dalam mengelola sumber daya, praktek pertanian yang belum efisien, fasilitas dan pembangunan perairan yang buruk juga menjadi faktor dalam krisis air yang sedang dirasakan. Lapisan glester yang mencair, pergeseran pola cuaca dan kekeringan yang semakin menjadi juga menjadi penyebab pasokan air yang menjadi sangat tidak stabil. Pusat perkotaan termasuk Karachi dan Lahore menghadapi krisis secara terus menerus, sedangkan area pedesaan menghadapi pola irigasi yang tidak menentu, mengancam pasokan pangan serta mengancam hasil panen masyarakat.

Dampaknya besar. Sektor pertanian, yang menyerap 42% tenaga kerja, mengalami penurunan hasil panen besar besaran, mengancam ketahanan pangan bagi 43% populasi yang rentan kelaparan. Industri dan pariwisata terpukul, sementara di kota seperti Islamabad, kekurangan air kronis memicu ketegangan sosial dan migrasi balik ke pedesaan. Secara geopolitik, krisis ini memperburuk ketegangan dengan tetangga, terutama India, melalui Indus Waters Treaty (IWT) 1960 yang membagi sungai Indus dan anak sungainya.

IWT, yang difasilitasi Bank Dunia, memberikan India kendali atas tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) dan Pakistan atas tiga barat (Indus, Jhelum, Chenab), dengan 80% aliran ke Pakistan.Meski bertahan tiga perang, perjanjian ini kini tegang akibat proyek bendungan India seperti Kishanganga dan Baglihar, yang dituduh Pakistan mengurangi aliran air. Pada April 2025, India menangguhkan partisipasinya dalam IWT setelah serangan di Kashmir, menyebutnya sebagai "senjata air" hingga Pakistan hentikan dukungan terorisme. Pakistan membalas, menganggapnya sebagai "tindakan perang", sementara pengadilan arbitrase gagal menyelesaikan sengketa.Di Asia Selatan, dinamika serupa terlihat di Bhutan-India atau Afghanistan-Pakistan, di mana air transbatas menjadi alat diplomasi.

Untuk masa depan, Pakistan perlu "whole of government" approach: reformasi pertanian dengan mengurangi tanaman haus air seperti kapas, peningkatan bendungan seperti Diamer-Bhasha, dan edukasi masyarakat.Regional, perkuat IWT dengan klausul iklim, seperti berbagi data banjir dan kekeringan, untuk hindari konflik bersenjata. Tanpa aksi segera, krisis ini bisa picu migrasi massal dan instabilitas regional. Namun, dengan kerjasama, Asia Selatan bisa ubah ancaman menjadi peluang keberlanjutan.

Krisis air di Pakistan bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga cerminan kegagalan kebijakan yang berlarut-larut dan kurangnya visi jangka panjang. Di tengah ancaman kekurangan air, pertanyaan besar muncul: mengapa sistem pengelolaan air di negara ini tetap terjebak dalam pola yang kuno? Sebagai negara yang bergantung pada Sungai Indus untuk 90% kebutuhan irigasinya, Pakistan seharusnya sudah jauh melangkah menuju solusi yang inovatif. Namun, realitasnya, kebijakan pengelolaan air masih terhambat oleh birokrasi, konflik politik, dan ketidakpedulian terhadap urgensi krisis.

Salah satu kelemahan terbesar adalah fragmentasi dalam pengambilan keputusan. National Water Policy (NWP) 2018 adalah salah satu kebijakan yang hanya terlihat ambisius di atas kertas, dengan janji reformasi irigasi, pengelolaan air tanah, dan kerjasama lintas provinsi. Namun, implementasinya tersendat karena ketidakselarasan antara pemerintah pusat dan provinsi. Misalnya, Water Apportionment Accord 1991, yang seharusnya mengatur pembagian air antarprovinsi, justru menjadi sumber konflik antara Punjab dan Sindh. Punjab, sebagai provinsi hulu, sering dituduh mengambil lebih banyak air, meninggalkan Sindh kekurangan pasokan untuk lahan pertaniannya. Ketegangan ini mencerminkan kurangnya kepercayaan dan koordinasi, yang sebenarnya bisa diatasi dengan otoritas air independen yang kuat, tetapi sayangnya masih berupa wacana.

Selain itu, kebijakan pertanian Pakistan terasa kontradiktif dengan realitas krisis air. Negara ini terus mendorong tanaman seperti kapas dan tebu, yang membutuhkan air dalam jumlah besar, meskipun laporan menunjukkan efisiensi air di sektor pertanian hanya sekitar 30%. Mengapa pemerintah tidak lebih agresif mempromosikan tanaman tahan kekeringan seperti zaitun atau sorghum? Ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal keberanian politik untuk melawan lobi petani besar yang menguntungkan dari status quo. Reformasi subsidi air, yang saat ini memanjakan petani besar tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, bisa menjadi langkah awal. Namun, ini memerlukan kemauan politik yang kuat sesuatu yang sering kali absen di tengah ketidakstabilan pemerintahan.

Di ranah geopolitik, Indus Waters Treaty (IWT) yang mengatur pembagian air dengan India kini berada di ujung tanduk. Ketegangan politik, terutama setelah insiden Kashmir pada 2025, membuat perjanjian ini rapuh. India, dengan posisi sebagai negara hulu, memiliki kekuatan untuk mengontrol aliran air, dan tuduhan Pakistan bahwa bendungan seperti Kishanganga merampas hak airnya bukanlah isapan jempol belaka. Namun, alih-alih mencari solusi diplomatik, kedua negara terjebak dalam retorika saling tuduh. Pakistan perlu mendorong revisi IWT dengan memasukkan klausul adaptasi iklim, seperti berbagi data hidrologi real-time, untuk mengurangi ketidakpastian. Tetapi, tanpa kepercayaan mutual, ini hanyalah angan-angan.

Krisis air juga memperlihatkan ketimpangan sosial yang mencolok. Di kota-kota besar seperti Karachi dan Lahore, kelompok masyarakat miskin harus mengantre untuk air bersih, sementara elit dengan akses ke pompa air pribadi atau tangki air berlimpah tidak merasakan dampaknya. Kebijakan penetapan harga air yang adil bisa mengatasi pemborosan, tetapi ini sering kali dianggap tidak populer di kalangan politisi yang takut kehilangan dukungan publik. Padahal, tanpa langkah tegas, ketimpangan ini hanya akan memperdalam jurang sosial dan memicu kerusuhan.

Solusi jangka panjang membutuhkan pendekatan yang lebih visioner. Pakistan bisa belajar dari negara seperti Israel, yang berhasil mengelola air di lingkungan gersang melalui teknologi desalinasi dan daur ulang air. Investasi dalam bendungan seperti Diamer-Bhasha harus dipercepat, tetapi dengan pengawasan ketat untuk menghindari korupsi yang telah menghambat proyek serupa di masa lalu. Pendidikan masyarakat juga krusial kampanye untuk mengurangi pemborosan air di tingkat rumah tangga bisa menciptakan perubahan budaya yang signifikan. Bayangkan jika setiap rumah tangga di Pakistan menghemat 10 liter air per hari; dampak kolektifnya akan luar biasa.

Di tingkat regional, Asia Selatan perlu melihat air sebagai sumber kolaborasi, bukan konflik. Pakistan, India, Afghanistan, dan Bangladesh memiliki kepentingan bersama dalam menjaga ekosistem sungai transbatas. Forum regional, seperti yang difasilitasi oleh SAARC, bisa menjadi platform untuk berbagi teknologi dan data, tetapi ini memerlukan niat baik yang saat ini tergerus oleh rivalitas politik. Pakistan harus memimpin dengan contoh, menunjukkan komitmen pada keberlanjutan domestik sebelum menuntut hal serupa dari tetangganya.

Krisis air Pakistan adalah bom waktu. Tanpa kebijakan yang berani dan terkoordinasi, negara ini berisiko menghadapi bencana kemanusiaan. Pemerintah harus berhenti menyalahkan faktor eksternal seperti India atau perubahan iklim semata, dan mulai bertanggung jawab atas kelemahan internal. Masyarakat juga harus dilibatkan, karena tanpa kesadaran kolektif, teknologi atau kebijakan apapun akan sia-sia. Krisis ini bukan akhir, tetapi peluang untuk membangun Pakistan yang lebih tangguh jika saja ada keberanian untuk bertindak sekarang.