One Piece: Dari Anime sampai Simbol Perlawanan Rakyat, Akankah Menjadi Ancaman?
One Piece: Dari Anime sampai Simbol Perlawanan Rakyat, Akankah Menjadi Ancaman?

Penulis : Aiko Khairunnisa Nugrahadi, mahasiswi Hubungan Internasional 

Bendera “One Piece” akhir-akhir ini menjadi sorotan di tengah masyarakat dan pemerintah. Berkibarnya bendera ini menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-80 seolah menjadi protes masyarakat akan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah yang tidak memenuhi kebutuhan rakyatnya. Rakyat berpikir, rasanya tidak pantas merayakan kemerdekaan Indonesia ketika masyarakatnya sendiri belum merasa merdeka. Pengibaran bendera ini bukanlah sebagai tanda bahwa rakyat mengkhianati negerinya, ia hanyalah tanda kecewa atas pemerintah yang tidak mampu memberikan hak yang sepadan kepada rakyat yang berpijak di tanah air yang dicintainya. Lantas, apakah benar ini hanya simbolisme dari kekecewaan atau sebuah propaganda untuk memecah belah bangsa?

Makna “Bendera One Piece”

     Sebelum memahami mengapa “Bendera One Piece” ini digunakan sebagai simbol perlawanan rakyat dalam mengekspresikan kekecewaannya terhadap pemerintah, kita perlu mengetahui lebih dulu apa “Bendera One Piece” itu sendiri.

Bendera ini dikenal juga dengan nama Jolly Roger atau bendera bajak laut yang diambil dari serial manga dan anime asal Jepang berjudul One Piece karya Eiichiro Oda. Bendera ini berlatar hitam dengan gambar tengkorak dan dua tulang bersilang di belakangnya, serta topi jerami khas tokoh utama, Monkey D. Luffy, di atas tengkorak tersebut. Dalam sejarah dunia, simbol tengkorak dan tulang bersilang sering kali dianggap sebagai tanda bahaya atau ancaman. Namun, dalam konteks One Piece, Jolly Roger melambangkan kebebasan dalam mengejar impian dan menolak penindasan.

         Cerita One Piece sendiri mengangkat tema persahabatan, perjuangan, dan mimpi, tetapi di baliknya juga terkandung pesan-pesan sosial yang kuat. Eiichiro Oda menggambarkan dunia yang penuh ketidakadilan, korupsi, perbudakan, dan kesenjangan sosial semua hal yang juga dapat ditemui di dunia nyata. Tokoh-tokohnya menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas dan berjuang untuk kebebasan sejati. Hal inilah yang membuat masyarakat dapat merasa terhubung secara emosional, terutama ketika mereka melihat adanya kemiripan antara dunia fiksi One Piece dan realita sosial-politik di Indonesia saat ini.

        Seiring berkembangnya globalisasi dan pop kultur Jepang yang masuk ke Indonesia, One Piece menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Bagi sebagian besar generasi muda, anime ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga sumber inspirasi dan refleksi terhadap kehidupan. Kesamaan nilai-nilai seperti kebebasan, keberanian, dan penolakan terhadap ketidakadilan membuat bendera Jolly Roger kemudian diadopsi sebagai simbol kritik sosial. Dalam konteks inilah pengibaran “Bendera One Piece” dapat dimaknai sebagai ekspresi rakyat terhadap kekecewaan mereka atas kondisi sosial dan pemerintahan yang dianggap tidak adil.

Latar Sosial dan Budaya Munculnya Fenomena

        Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi berbagai persoalan ekonomi dan politik. Kenaikan harga bahan pokok, pengangguran yang masih tinggi, serta kesenjangan ekonomi yang kian terasa membuat sebagian rakyat merasa tidak lagi mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Di tengah situasi tersebut, rakyat mencari cara untuk menyuarakan aspirasinya, dan simbol pop culture menjadi salah satu wadah yang paling mudah diterima oleh generasi muda.

           Generasi muda hari ini tumbuh dengan kebebasan berekspresi di dunia digital. Mereka terbiasa menggunakan meme, ilustrasi, dan simbol-simbol budaya populer untuk menyampaikan kritik. Maka, ketika bendera One Piece berkibar di jalan-jalan atau di media sosial, hal itu bukanlah hal yang aneh, melainkan bentuk komunikasi baru yang lebih kreatif dan mudah diterima publik. Simbol tersebut menjadi “bahasa bersama” bagi masyarakat yang ingin menyampaikan pesan bahwa mereka menginginkan perubahan, tetapi tidak melalui cara kekerasan.

     Bagi sebagian kalangan, pengibaran bendera ini bahkan dianggap sebagai bentuk nasionalisme baru, di mana cinta tanah air diwujudkan melalui keberanian mengkritik dan mengingatkan pemerintah agar kembali berpihak pada rakyat. Dengan kata lain, pengibaran bendera ini bukan bentuk pengkhianatan terhadap Indonesia, melainkan panggilan untuk memperbaiki arah bangsa.

Respons Pemerintah

   Pengibaran Bendera One Piece menerima berbagai respons yang berbeda dari pemerintah ada yang menanggapinya dengan serius hingga mengancam akan memberikan konsekuensi pidana, dan ada pula yang memilih bersikap tenang.

        Dilansir dari Kompas.id dan Tempo, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan mengimbau bahwa akan ada konsekuensi pidana bagi tindakan yang mencederai kehormatan bendera Merah Putih. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan menindak dengan tegas dan terukur apabila terdapat unsur kesengajaan dan provokasi demi menjaga ketertiban serta kewibawaan simbol negara.

       Namun di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, menyampaikan bahwa pemerintah dan Presiden Prabowo tidak mempermasalahkan pengibaran bendera One Piece selama tidak dipertentangkan dengan bendera Merah Putih. Menurutnya, rakyat memiliki hak untuk berekspresi selama tetap menjunjung etika dan rasa hormat terhadap simbol negara.

       Perbedaan sikap di kalangan pejabat ini memperlihatkan bagaimana pemerintah masih mencari posisi yang tepat dalam menanggapi bentuk-bentuk ekspresi masyarakat yang bersifat simbolik. Di satu sisi, negara harus menjaga wibawa dan ketertiban, tetapi di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh mematikan semangat kritik yang menjadi bagian dari demokrasi.

Simbol Kekecewaan atau Ancaman?

         Bentuk protes, ekspresi, dan kritik terhadap pemerintah dapat disalurkan dalam berbagai cara, termasuk dengan pengibaran bendera One Piece ini. Dalam kehidupan negara demokrasi, hal-hal seperti ini bukanlah hal yang asing, apalagi Indonesia bukanlah negara yang represif terhadap kebebasan bersuara rakyat terlebih setelah era reformasi. Meski begitu, kewaspadaan terhadap ancaman keamanan nasional tetap diperlukan, terutama jika ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan simbol ini untuk kepentingan politik tertentu.

Selagi pengibaran bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi atau lebih besar dari bendera Merah Putih, serta tidak disertai tindakan anarkis dan kekerasan, maka hal ini seharusnya tidak dianggap ancaman. Justru, ini menjadi alarm bagi pemerintah agar lebih mendengar suara rakyatnya.

       Rakyat pun harus berhati-hati agar aksi simbolik ini tidak disalahgunakan oleh oknum yang ingin memecah belah bangsa. Kritik seharusnya lahir dari rasa cinta, bukan kebencian. Dengan begitu, makna perjuangan yang diwakili oleh bendera Jolly Roger dapat tetap positif: keberanian untuk menuntut keadilan dan kebebasan tanpa harus menghancurkan persatuan.

Pop Culture sebagai Cermin Politik Rakyat

        Fenomena bendera One Piece sejatinya hanyalah puncak dari gunung es yang lebih besar yakni semakin eratnya hubungan antara budaya populer dan politik rakyat. Di era digital, garis pemisah antara hiburan dan kesadaran sosial mulai memudar. Film, musik, bahkan meme dapat berubah menjadi medium politik yang kuat, karena memiliki bahasa universal yang mudah diterima lintas kelas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat, terutama generasi muda, tidak lagi membutuhkan panggung besar untuk bersuara cukup dengan simbol dan kreativitas, pesan mereka dapat menyebar luas dan menggugah kesadaran publik.

          One Piece, dengan narasi perjuangan dan perlawanan terhadap kekuasaan yang korup, menjadi metafora yang relevan bagi situasi sosial Indonesia. Ketika rakyat mengibarkan bendera bajak laut di dunia nyata, sebenarnya mereka sedang memproyeksikan diri sebagai “bajak laut” yang berani menentang sistem yang tidak adil. Ini bukan sekadar tindakan emosional, melainkan bentuk literasi politik baru di mana pemahaman terhadap nilai keadilan, kebebasan, dan solidaritas tumbuh melalui media populer. Dengan kata lain, One Piece telah menjelma menjadi alat pendidikan sosial yang tidak formal, tetapi efektif.

      Namun, tantangan terbesar dari fenomena seperti ini adalah bagaimana pemerintah menanggapinya. Jika ekspresi simbolik rakyat dibalas dengan represi atau kriminalisasi, maka kepercayaan publik akan semakin menurun. Pemerintah seharusnya belajar membaca tanda-tanda sosial, bukan hanya menegakkan aturan secara kaku. Pengakuan terhadap ekspresi rakyat berarti juga pengakuan terhadap kematangan demokrasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya dialog yang terbuka antara pemerintah dan warga bukan dalam bentuk debat yang saling menyalahkan, melainkan dalam semangat saling memahami.

       Selain itu, media massa dan pendidikan juga berperan penting dalam mengarahkan makna dari simbol-simbol seperti bendera One Piece agar tidak disalahartikan. Ketika masyarakat memahami konteks dan tujuan di baliknya, maka simbol tersebut akan menjadi jembatan dialog, bukan pemicu konflik. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa budaya populer memiliki potensi besar untuk menjadi ruang baru dalam membangun kesadaran kritis masyarakat.

        Fenomena ini mengingatkan kita bahwa bangsa yang sehat bukanlah bangsa yang diam, melainkan bangsa yang mau mendengarkan. Ketika rakyat mulai menggunakan tokoh fiksi untuk menyuarakan kenyataan, artinya pemerintah perlu lebih peka terhadap realitas yang mereka hadapi. Mungkin, di balik tawa dan semangat petualangan Luffy serta kawan-kawannya, tersimpan pesan serius bahwa setiap individu, sekecil apa pun, berhak untuk bermimpi tentang kebebasan dan keadilan yang sejati.

Refleksi dan Penutup

     Fenomena bendera One Piece ini sebenarnya menjadi cerminan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, semakin sadar dan berani menyuarakan pendapat. Mereka tidak lagi takut mengkritik kebijakan yang dirasa tidak berpihak pada rakyat. Namun, cara yang digunakan lebih kreatif dan simbolik, tidak lagi frontal seperti demonstrasi masa lalu. Ini menunjukkan perubahan pola komunikasi politik di era digital, di mana budaya pop dapat menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan pesan sosial.

       Pemerintah seharusnya melihat fenomena ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin kejujuran rakyatnya. Ketika rakyat menggunakan simbol bajak laut untuk menuntut keadilan, yang perlu direnungkan bukanlah simbolnya, tetapi pesan di baliknya. Rakyat menginginkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sejak awal kemerdekaan.

   Pada akhirnya, pengibaran bendera One Piece hanyalah sebuah bentuk ekspresi kekecewaan yang kreatif. Tidak ada niat untuk menandingi Merah Putih atau mengkhianati negara. Justru, melalui simbol inilah rakyat ingin mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Selama pemerintah dan rakyat mau saling mendengar dan memahami, maka tidak ada simbol apa pun yang perlu ditakuti.

Karena sejatinya, cinta terhadap tanah air tidak selalu ditunjukkan dengan diam dan patuh. Terkadang, cinta justru hadir dalam bentuk kritik yang jujur dan keberanian untuk berkata, “Kita bisa lebih baik dari ini.”