One Piece dan Politik Keamanan Budaya: Ancaman atau Cermin bagi Indonesia?
One Piece dan Politik Keamanan Budaya: Ancaman atau Cermin bagi Indonesia?

Penulis : Ahcmad Maulana Rafit Arik (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional)

Pertanyaan “apakah One Piece mengancam keamanan nasional Indonesia?” mungkin terdengar lucu, bahkan hiperbolik. Bagaimana mungkin sebuah karya fiksi tentang bajak laut, dunia fantasi, dan buah iblis bisa dikaitkan dengan isu strategis seperti keamanan nasional? Namun, dalam era globalisasi budaya dan arus informasi tanpa batas, ancaman terhadap negara tidak selalu datang dalam bentuk senjata atau invasi, melainkan juga melalui narasi, ide, dan konstruksi identitas. Di sinilah menariknya membahas One Piece, bukan sekadar sebagai tontonan hiburan, melainkan sebagai fenomena global yang menyentuh aspek ideologis dan politik budaya suatu bangsa.

Budaya Populer dalam Lanskap Keamanan Non-Tradisional

Dalam studi hubungan internasional kontemporer, konsep keamanan telah berevolusi. Tidak lagi sebatas perlindungan terhadap ancaman militer, tetapi juga meliputi isu sosial, budaya, ekonomi, hingga lingkungan. Pendekatan ini dikenal sebagai non-traditional security (NTS). Salah satu teori yang menyoroti hal ini adalah Copenhagen School yang memperkenalkan konsep securitization yakni proses sosial ketika suatu isu dikonstruksikan sebagai ancaman eksistensial bagi negara atau masyarakat.

Artinya, sebuah hal yang tampak remeh seperti film, musik, atau anime dapat menjadi isu keamanan apabila masyarakat atau elite politik membingkainya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai nasional. Dalam konteks Indonesia, yang tengah menghadapi derasnya arus budaya global, pertanyaan tentang One Piece dan dampaknya terhadap keamanan nasional bukan sekadar spekulasi aneh, tetapi refleksi dari bagaimana budaya populer kini memainkan peran strategis dalam pembentukan kesadaran dan identitas sosial.

Narasi Kebebasan dan Kritik terhadap Otoritas

One Piece, karya Eiichiro Oda yang sudah berjalan lebih dari dua dekade, tidak hanya sekedar kisah tentang petualangan bajak laut. Ia membawa pesan ideologis yang kuat: kebebasan, keadilan moral, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang korup. Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, digambarkan sebagai sosok yang menolak tunduk pada otoritas apapun, bahkan ketika hukum formal mendefinisikannya sebagai kriminal.

Pemerintah Dunia dalam One Piece menggambarkan sistem hegemonik yang manipulatif, menutupi kekejaman dengan dalih “keadilan.” Sementara itu, para bajak laut justru sering kali tampil sebagai representasi moralitas alternatif berjuang demi kebebasan, bukan kekuasaan.

Dalam kacamata critical theory dan neo-Marxist approach, narasi ini dapat dibaca sebagai bentuk counter-hegemony upaya menentang ideologi dominan yang dianggap menindas. Bagi generasi muda Indonesia, narasi seperti ini sangat resonan. Ia memberi ruang untuk mempertanyakan legitimasi otoritas, terutama di tengah situasi politik yang sering dianggap koruptif, elitis, dan tidak responsif terhadap rakyat.

Namun disisi lain, ketika pesan anti-otoritas diterima secara mentah tanpa literasi politik yang memadai, ia bisa berubah menjadi sikap sinis terhadap negara dan institusi publik. Disinilah titik rawan munculnya pergeseran persepsi tentang legitimasi negara. One Piece tidak berbahaya karena isinya, tetapi karena potensinya dalam membentuk kesadaran kritis yang, tanpa bimbingan, bisa menjelma menjadi alienasi terhadap tatanan politik nasional.

Soft Power Jepang dan Kompetisi Identitas Budaya

Untuk memahami dimensi politik dari One Piece, kita perlu menempatkannya dalam konteks soft power. Joseph Nye (1990) menjelaskan bahwa soft power adalah kemampuan suatu negara memengaruhi pihak lain melalui daya tarik budaya, nilai, dan ideologi bukan melalui paksaan. Jepang telah membangun strategi soft power yang sangat efektif melalui anime, manga, musik, dan gaya hidup populer.

Lewat karya seperti Naruto, Attack on Titan, dan tentu saja One Piece, Jepang menanamkan nilai-nilai seperti kerja keras, loyalitas, keberanian, dan solidaritas yang sekaligus memperkuat citra Jepang sebagai bangsa yang kreatif, modern, dan humanis.

Indonesia adalah salah satu pasar terbesar budaya Jepang di Asia Tenggara. Fenomena Japanophilia terlihat jelas di kalangan generasi muda: mulai dari komunitas cosplay, event Japan Fest, hingga maraknya penggunaan bahasa Jepang dalam percakapan digital. Ini memperlihatkan bagaimana soft power bekerja secara halus: tanpa tekanan, tanpa ancaman, tetapi berhasil menanamkan pengaruh ideologis yang dalam.

Dalam perspektif Constructivism, identitas dan kepentingan suatu negara terbentuk melalui interaksi sosial dan konstruksi makna. Jika generasi muda Indonesia lebih menginternalisasi nilai “nakama” (persahabatan egaliter dalam One Piece) daripada nilai gotong royong atau musyawarah dalam Pancasila, maka kita bisa melihat gejala kompetisi ideologis di tingkat kultural.

Bukan berarti budaya Jepang menggantikan identitas Indonesia, tapi ia berpotensi menggeser prioritas nilai-nilai lokal bila negara gagal mengelola narasi budaya secara strategis. Dengan kata lain, ancaman terhadap keamanan nasional tidak datang dari One Piece, melainkan dari vacuum of narrative ketiadaan narasi nasional yang mampu bersaing dalam ranah global budaya populer.

Media, Globalisasi, dan Disrupsi Kultural

Di era digital, arus budaya tidak lagi dapat dibatasi oleh batas negara. YouTube, TikTok, dan platform streaming seperti Netflix membuat karya seperti One Piece dapat diakses lintas negara, lintas ideologi, bahkan lintas usia. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi dilema klasik antara keterbukaan dan kedaulatan budaya.

Negara tidak mungkin menutup akses terhadap produk global, tetapi jika tidak aktif dalam cultural governance, maka wacana global akan mendominasi ruang imajinasi publik. Menariknya, anime seperti One Piece seringkali menjadi lebih dari sekadar tontonan ia membentuk cultural literacy baru. Misalnya, cara berpikir kritis terhadap otoritas, empati terhadap minoritas (melalui kisah ras Fishman atau budak Celestial Dragon), hingga kesadaran historis tentang kolonialisme.

Dalam satu sisi, nilai-nilai tersebut justru memperkuat dimensi human security—karena mengajarkan empati dan anti-penindasan. Namun dari sisi lain, jika nilai-nilai tersebut diterjemahkan tanpa konteks lokal, ia dapat memunculkan benturan identitas yang mempersoalkan loyalitas terhadap narasi kebangsaan.

Keamanan Budaya dan Tantangan Indonesia

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki banyak nilai luhur yang dapat menjadi cultural power: keberagaman, gotong royong, solidaritas, dan semangat maritim. Ironisnya, nilai-nilai ini sering gagal dikemas dalam bentuk budaya populer yang menarik bagi generasi muda. Ketika Jepang menggunakan anime sebagai alat diplomasi budaya, Korea Selatan mengekspor K-pop, dan Amerika Serikat mendominasi lewat Marvel dan Disney, Indonesia masih berjuang mencari formula untuk menjadikan budayanya relevan di kancah global.

Konsep cultural security menekankan bahwa ketahanan nasional tidak hanya ditentukan oleh militer, tetapi juga oleh kemampuan mempertahankan dan mereproduksi identitas budaya di tengah globalisasi. Jika generasi muda lebih merasa terhubung dengan Luffy daripada dengan tokoh lokal seperti Gadjah Mada atau Sisingamangaraja, maka itu sinyal bahwa Indonesia menghadapi krisis representasi budaya di level imajinatif.

Negara seharusnya tidak memandang fenomena ini dengan paranoia, melainkan dengan refleksi strategis. Tantangan ini bisa direspons melalui kebijakan cultural diplomacy dan creative education mendorong munculnya karya anak bangsa yang mampu menggabungkan nilai lokal dengan estetika global. Misalnya, kisah pahlawan laut Nusantara, perdagangan rempah, atau sejarah maritim bisa diangkat dalam format animasi dan komik yang modern. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen budaya global, tapi juga produsen nilai yang berdaya saing.

Dari Ancaman ke Cermin: Membaca One Piece sebagai Refleksi

Ketika dilihat secara kritis, One Piece bukanlah ancaman, melainkan cermin bagi Indonesia. Ia menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya populer dalam membentuk cara berpikir masyarakat modern. Melalui Luffy dan teman-temannya, generasi muda belajar tentang keberanian menentang ketidakadilan, kesetiaan terhadap nilai, dan pentingnya solidaritas di tengah dunia yang kompleks.

Masalahnya bukan pada nilai-nilai itu, tetapi pada absennya sistem pendidikan dan kebijakan budaya yang mampu mengarahkan internalisasi nilai tersebut ke dalam konteks kebangsaan. Jika semangat kebebasan ala Luffy disinergikan dengan nilai gotong royong dan keadilan sosial ala Pancasila, maka kita justru sedang membangun generasi yang kritis, berani, namun tetap nasionalis.

Penutup

Maka, apakah One Piece mengancam keamanan nasional Indonesia? Tidak dalam arti literal. Namun dalam ranah cultural security, ia menjadi pengingat bahwa pengaruh global bisa membentuk kesadaran nasional secara halus dan mendalam. Alih-alih menolak, Indonesia seharusnya menatap fenomena ini sebagai peluang untuk memperkuat soft power dan memperbaharui strategi kebudayaan nasional. Seperti kata Luffy: “Aku tidak ingin menaklukkan siapa pun, aku hanya ingin bebas.” Kalimat itu seharusnya tidak dibaca sebagai ancaman terhadap negara, tetapi sebagai panggilan bagi bangsa ini untuk menciptakan kebebasan yang berakar pada keadilan dan kebudayaan sendiri.

Di era globalisasi, keamanan nasional bukan lagi soal senjata, tetapi soal siapa yang menguasai narasi. Dan dalam hal ini, One Piece telah memberi pelajaran berharga bahwa ide, bukan kekuatan militer, kini menjadi medan tempur yang sesungguhnya.