NEO-GRAMSCIANISME MEMBONGKAR BAHAYA GEORGE SOROS PADA KEDAULATAN NEGARA: ANCAMAN FINANSIAL ATAU PENJAJAHAN IDEOLOGI?
Penulis : Falian Syah Al Ajiba, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nama George Soros selalu memicu dua reaksi ekstrem pahlawan demokrasi atau dalang kekacauan. Kekhawatiran terhadap Soros tidak hanya datang dari negara-negara berkembang yang menjadi korban spekulasi, seperti dalam Krisis Moneter Asia. Ironisnya, ancaman terbesar justru dirasakan oleh negara asalnya sendiri (Hungaria) dan negara adopsinya yang hegemon (Amerika Serikat). Dalam konteks Indonesia, ingatan kita langsung tertuju pada krisis moneter 1997-1998, di mana ia dituding sebagai "biang kerok" rontoknya rupiah.
Namun di sisi lain, melalui Open Society Foundations (OSF), Soros menggelontorkan miliaran dolar ke seluruh dunia untuk mendanai LSM, media independen, dan gerakan pro-HAM atas nama "Masyarakat Terbuka" (Open Society).
Jadi, mana yang benar? Apakah dia seorang filantropis tulus atau ancaman bagi kedaulatan negara?
Untuk menjawabnya, kita tidak bisa hanya melihat satu sisi. Kita perlu kacamata teori yang lebih canggih, yaitu Neo-Gramscianisme dalam studi Hubungan Internasional.
Kekuasaan Bukan Cuma Soal Senjata
Mari kita sederhanakan. Teori ini diilhami oleh pemikir Italia, Antonio Gramsci.
Bagi Gramsci, kekuasaan di dunia modern tidak hanya dijalankan lewat paksaan seperti militer, polisi, atau sanksi ekonomi. Itu cara lama. Kekuasaan yang paling efektif adalah Hegemoni. Yaitu ketika nilai-nilai, ideologi, dan cara pandang si penguasa (kelas elite) berhasil diterima oleh masyarakat luas sebagai sesuatu yang wajar, normal, dan akal sehat (common sense).
Bagaimana caranya? Dengan cara bergerak melalui masyarakat sipil (civil society), yaitu arena di luar negara seperti sekolah, universitas, media massa, organisasi keagamaan, dan LSM.
Nah, teori Neo-Gramscian menerapkan ini di level global. Mereka berpendapat ada Kelas Kapitalis Transnasional (TCC) yang berkepentingan agar seluruh dunia menganut satu sistem yang sama: demokrasi liberal dan pasar bebas. Di sinilah sosok George Soros menjadi sangat relevan.
Bahaya Pertama: Pukulan Ekonomi
Teori Neo-Gramscian melihat kekuasaan elite global punya dua wajah, yaitu paksaan (koersi) dan persetujuan (konsen).
Wajah pertama (paksaan) dari Soros adalah tindakannya sebagai spekulan finansial. Tragedi 1997 adalah contoh sempurna. Dari kacamata ini, spekulasi Soros terhadap mata uang Baht (Thailand) yang kemudian merembet ke Rupiah adalah bentuk paksaan dari sistem finansial global. Itu adalah pukulan yang menghukum negara-negara (seperti Indonesia saat itu) yang dianggap fondasi ekonominya rapuh atau tidak cukup patuh pada aturan main pasar global.
Bagi negara yang mengalaminya, ini jelas ancaman keamanan nasional. Ia mampu mendestabilisasi sebuah pemerintahan dan memicu kerusuhan sosial hanya dari meja kerjanya di New York, tanpa satu pun peluru ditembakkan.
Bahaya Kedua: Penjajahan Ideologi
Inilah wajah kedua (persetujuan) yang sering luput dari perhatian. Setelah dipaksa patuh lewat krisis, negara dibujuk untuk berubah dari dalam.
Di sinilah Open Society Foundations (OSF) milik Soros berperan.
Dalam kacamata Neo-Gramscian, OSF bukanlah sekadar yayasan amal. OSF adalah agen ideologis yang bekerja di ranah masyarakat sipil tadi. Dengan mendanai LSM lokal, media, kelompok advokasi HAM, dan para intelektual, OSF secara masif menyebarkan ideologi Open Society.
Tujuannya? Membangun hegemoni. Yaitu menciptakan pandangan baru di masyarakat agar nilai-nilai demokrasi liberal ala Barat, transparansi, dan individualisme dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan.
Bagi banyak negara, ini bahaya yang lebih halus.
Jika pukulan ekonomi Soros mengancam stabilitas ekonomi, maka bujukan ideologisnya (lewat OSF) dianggap mengancam kedaulatan budaya dan identitas nasional. OSF dituduh menciptakan intelektual organik (istilah Gramsci) di negara-negara target, yang kemudian akan mengkritik pemerintahnya sendiri dan mendorong agenda perubahan yang sejalan dengan kepentingan elite global.
Berdasarkan penjelasan diatas, bagaimana sebenarnya dampak dari Soros yang dirasakan oleh aktor negara asal soros, Hungaria dan negara adopsi. Amerika Serikat? Mari kita ulik lebih dalam
Hungaria Melawan "Putra Asli"
Kisah paling dramatis datang dari negara kelahiran Soros sendiri, Hungaria. Di sana, ia bukan sekadar sosok kontroversial, tapi telah dinyatakan sebagai "musuh publik nomor satu" oleh Perdana Menteri Viktor Orbán. Ini adalah pertarungan ideologi yang brutal
Orbán membangun politiknya di atas fondasi nasionalisme-konservatif dan identitas "Eropa Kristen". Sementara Soros melalui OSF-nya, mempromosikan liberalisme dan Open Society yang pro-imigrasi yang menyebabkan membludaknya migran ilegal di Eropa. Hal ini menggambarkan adanya ancaman terhadap identitas negara
Selanjutnya, Pemerintah Hungaria menuduh Soros secara aktif mencampuri urusan dalam negeri. Puncaknya adalah ketika Hungaria memberlakukan undang-undang yang dikenal sebagai Stop Soros Law pada tahun 2018. Undang-undang ini secara eksplisit mengkriminalisasi LSM atau individu yang memfasilitasi migrasi ilegal. Target utamanya jelas, jaringan LSM yang didanai oleh OSF. Pemerintah Orbán menuduh Soros ingin membanjiri Hungaria dengan migran Muslim untuk menghancurkan identitas Kristen negara itu.
Tak hanya itu, Central European University (CEU), universitas bergengsi yang didirikan Soros di Budapest, dipaksa pindah dari Hungaria.
Bagi Orbán, bahaya Soros itu nyata. Ia melihat Soros menggunakan kekayaannya untuk membajak kedaulatan Hungaria dari dalam melalui civil society (LSM dan akademisi) untuk memaksakan agenda globalis yang bertentangan dengan kehendak nasional.
“Musuh dalam Selimut” Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, negara tempat Soros menjadi warga negara dan pusat operasinya, situasinya lebih rumit. Bahaya Soros di sini bersifat sangat partisan. Bagi kubu liberal dan progresif, Soros adalah pahlawan dan donatur utama. Namun bagi kubu konservatif dan pendukung "America First" seperti Donald Trump, Soros adalah ancaman domestik yang lebih berbahaya daripada musuh eksternal.
Kaum konservatif menuduh Soros mendanai kelompok-kelompok yang mereka anggap radikal, seperti Black Lives Matter atau kelompok protes lainnya. Mereka percaya Soros sengaja memicu kekacauan sosial dan perang budaya untuk melemahkan tatanan sosial Amerika.
Juga adanya tuduhan kuat bahwa Soros menghabiskan jutaan dolar untuk mendanai kampanye Jaksa Wilayah (District Attorneys/DA) di berbagai kota besar AS. Para jaksa yang didanai Soros ini dituduh menerapkan kebijakan "lunak terhadap kejahatan” yang dianggap memicu lonjakan kriminalitas.
Istilah "globalis" sering digunakan oleh kaum nasionalis AS sebagai kata ganti untuk Soros. Mereka menuduhnya lebih setia pada tatanan internasional daripada pada kepentingan nasional AS. Ia dituduh ingin melemahkan perbatasan AS dan menundukkan kedaulatan Amerika di bawah lembaga-lembaga supranasional.
Kesimpulan
Reaksi keras dari Hungaria dan kubu konservatif Amerika ini justru mengkonfirmasi analisis Neo-Gramscian. Kedua aktor negara ini (Hungaria yang nasionalis dan AS yang hegemon) merasa terancam bukan karena Soros punya tank atau tentara. Mereka terancam karena Soros berhasil membangun hegemoni tandingan di tingkat civil society. Hal tersebut dikarenakan Ia "bermain" di arena yang tidak bisa dikontrol penuh oleh negara, yaitu di ranah ide, media, universitas, dan LSM.
Jadi, seberapa berbahayakah George Soros? Menurut kacamata Neo-Gramscian, bahaya Soros bersifat ganda dan dua lapis. Ia adalah perwujudan sempurna dari hegemoni global.
Sebagai spekulan, ia mewakili kekuatan "paksaan" modal finansial yang bisa menghukum negara yang tidak patuh.
Sebagai filantropis, ia mewakili kekuatan "bujukan" ideologis yang membentuk ulang nilai-nilai masyarakat dari dalam agar selaras dengan tatanan neoliberal global.
Bahayanya bukan pada sosok Soros sebagai individu, melainkan pada sistem yang ia wakili yakni sebuah tatanan global di mana segelintir elite transnasional mampu memegang pukulan ekonomi sekaligus terompet ideologi untuk mengarahkan dunia sesuai keinginan mereka.
