Myanmar: Empat Tahun Setelah Kudeta
Myanmar: Empat Tahun Setelah Kudeta

Oleh: Dr M Adian Firnas, Dosen Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Telah dimuat pada SUARAMERDEKA.COM, 3 Februari 2025

 

EMPAT tahun setelah kudeta militer dilakukan Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar) belum nampak tanda-tanda transisi demokrasi berjalan dengan baik seperti yang dijanjikan ketika kudeta dilakukan pada 1 Februari 2021.

Meskipun junta telah mengumumkan bahwa mereka tengah mempersiapkan pemilu di tahun 2025 ini, kritik tajam banyak ditujukan terhadap transisi politik yang sedang berproses di negara itu.

Apakah betul junta secara tulus akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil atau hanya sandiwara politik untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.

Skenario Politik Junta Militer: Kembali berkuasa?

Kekhawatiran terbesar sejak kudeta militer Februari 2021 yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing adalah akan dibawa ke mana kehidupan demokrasi di Myanmar.

Opsi politik junta adalah apakah akan melaksanakan transisi politik, mengembalikan kekuasaan kepada sipil kemudian memperluas partisipasi politik atau justru melanjutkan kekuasaan dan membatasi partisipasi politik rakyat Myanmar?

Berlanjutnya kekerasan terhadap rakyat dan kelompok pro demokrasi hingga hari ini membuat keraguan akan hidupnya demokrasi dan sebaliknya justru bepretensi junta militer melanjutkan kekuasaan dan membatasi partisipasi politik .

Berdasarkan laporan Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), suatu aliansi untuk pendampingan terhadap tahanan politik per 30 Januari 2025, sejak kudeta sekitar 2714 orang tewas akibat kekerasan militer dan 28433 orang ditahan, dengan 2928 diantaranya telah dibebaskan.

Meskipun kemudian akan ada pemilihan umum seperti yang dijanjikan, ada pesimisme bahwa pemilu hanya akan menghasilkan pemimpin boneka yang bisa dikendalikan oleh junta militer.

Ada beberapa alasan yang mendasari pesimisme itu. Pertama, rekam jejak militer dalam kehidupan politik sangat kuat.

Sejak kudeta yang dilakukan Jenderal Ne Win atas PM U Nu tahun 1962, militer tampil sebagai penguasa politik yang dominan dengan memberangus kehidupan politik hingga beberapa puluh tahun ke depan.

Hingga akhirnya gerakan pro demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi di akhir 1980-an berhasil menekan junta militer untuk melaksanakan pemilu demokratis pertama.

Aung San Suu Kyi beserta partai politiknya NLD tampil sebagai pemenang pemilu 1990 dengan meraih 329 kursi dari 485 kursi parlemen.

NLD berhasil Mengalahkan National Unity Party (NUP) , partai bentukan junta militer yang diyakini junta akan memenangkan pemilu.

Harapan terwujudnya demokrasi di negeri tersebut kemudian runtuh setelah pimpinan junta Jenderal Saw Maung membatalkan hasil pemilu.

Segala bentuk penolakan diberantas dengan cara represif. Para aktivis politik di tangkap , termasuk Aung San Suu Kyi yang dikenakan tahanan rumah hingga belasan tahun kemudian.

Penggagalan demokrasi 1990 itu kembali diulang junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing melalui kudeta militernya 1 Februari 2021 sebagai respon atas kemenangan NLD dalam pemilu 2020 yang dituduh junta banyak kecurangan.

Itulah sebabnya David I Steinberg pernah menempatkan Myanmar sebagai ''the most monolitically military control in the world'' ( Neher,1995) .

Kedua, Junta Milter Myanmar telah membubarkan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.

Komisi Pemilihan Umum yang dibentuk junta militer mengungkapkan bahwa NLD gagal mendaftar sebagai peserta pemilu berdasarkan undang-undang pemilu baru dan secara otomatis sejak 29 Maret 2023 ditolak sebagai partai politik.

Selain NLD ada puluhan partai politik yang dianggap gagal daftar peserta pemilu.

Sementara dari pihak oposisi menyatakan bagaimana mungkin mereka menjadi peserta pemilu sedangkan banyak dari tokoh maupun anggota mereka yang menjadi tahanan politik junta militer.

Terlepas dari kontroversi ketentuan baru tentang partai politik, pembubaran Partai NLD menjadi preseden buruk bagi perjalanan demokrasi di negeri itu.

Serta makin meyakinkan rakyat maupun dunia internasional bahwa junta tidak serius melakukan transisi politik.

Pemilu yang dijanjikan hanyalah merupakan kamuflase politik junta untuk memperpanjang kekuasaannya.

Membubarkan NLD sama saja membubarkan fondasi penting demokratisasi di negeri seribu pagoda itu.

NLD berikut pimpinannya Aung Saan Suu Kyi adalah ikon demokrasi dan simbol perjuangan rakyat Myanmar keluar dari kediktatoran militer.

Seperti diketahui awal masuknya militer dalam politik dimulai ketika Jenderal Ne Win berhasil melakukan kudeta pada 1962 silam.

NLD bersama rakyat berhasil memaksa junta militer pada 1990 untuk melaksanakan pemilu pertama sejak kudeta 1962.

Kecintaan rakyat Myanmar terhadap NLD dan Aung Suu Kyi dibuktikan dengan raihan 90 % kursi parlemen dalam pemilu 1990 itu.

Sayangnya junta militer pimpinan Jenderal Saw Maung menganulir hasil pemilu dan mengambilalih kekuasaan.

Ketika ruang demokrasi dibuka kembali sejak 2010, NLD tetap mampu membuktikan sebagai kekuatan politik paling berpengaruh di mata rakyat.

Pada pemilu 2015 dan 2020 NLD berhasil menguasai parlemen dan juga sejak 2016 telah menempatkan Aung Saan Suu Kyi sebagai pemimpin negeri itu dengan gelar counsellor of the state.

Ketiga, ideologi sebagai simbol pemersatu masih melekat kuat pada diri junta militer dan dapat dlihat sebagai basis legitimasi junta dalam memainkan peran politiknya.

Junta militer mengklaim dirinya sebagai kelompok yang mempunyai identitas nasional yang lebih besar di banding kelompok-kelompok lainnya.

Dengan demikian mereka merasa sebagai kelompok yang paling konsisten dalam mendukung integritas bangsa.

Pemberontakan-pemberontakan yang dialami Myanmar pada awal kemerdekaannya yang mengancam integritas bangsa dijadikan alasan bagi militer Myanmar untuk membenarkan kudeta yang dilakukan Jenderal Ne Win pada 1962.

Juga berlanjut pada generasi berikutnya, Jenderal Saw Maung, Jenderal Than Shwe hingga Jenderal Min Aung Hlaing menjadikan alasan instabilitas politik sebagai dasar mengambilalih kekuasaan.

Saat ini pun terbukti sejak 1 Februari 2021 lalu Ketika kudeta dilakukan, junta beberapa kali memperpanjang status darurat dengan alasan situasi politik yang belum stabil.

Hingga kini perlawanan etnis minoritas dan kelompok pro demoktrasi makin menguat, aksi kekerasan juga terus berlanjut.

Sean Turnell (2011), dalam artikelnya ''Myanmar's Fifty Years Authoritarian Trap'' menerangkan keberhasilan junta militer mempertahankan kontrol politiknya karena kemampuannya dalam mengeksploitasi cara represif dan isu nasionalisme, persatuan bangsa, dan ancaman disintegrasi sebagai basis legitimasinya berada dalam pusat kekuasaan.

Dengan keadaan seperti itu sulit membayangkan bahwa transisi akan berjalan mulus, konsolidasi dan rekonsiliasi dapat terwujud serta kehidupan demokrasi yang sebenarnya dapat dirasakan oleh rakyat Myanmar.

Kita akan melihat junta militer tetap berdiri kokoh dan membayangi kehidupan sosial politik rakyat Myanmar.