Membongkar Agenda Palsu Ekonomi Global Terhadap Hak Migrasi Perempuan dan Anak
Membongkar Agenda Palsu Ekonomi Global Terhadap Hak Migrasi Perempuan dan Anak

Penulis : Pierca Harya Dhiya Ulhaq, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Kita perlu mengakui bahwa kunci fundamental pendorong migrasi, kapitalisme global dan kedaulatan negara itu sangat dipengaruhi oleh perspektif gender dan berdampak secara tidak adil terhadap perempuan dan anak-anak. Kegagalan agenda formal yang berkelanjutan untuk menempatkan kehidupan migran perempuan dan anak di bawah umur dalam faktor ekonomi dan politik, alih-alih hanya sebagai pelengkap migrasi laki-laki atau korban pasif konflik, ini merupakan kelemahan yang cukup krusial dalam studi migrasi global yang menuntut pengkajian ulang segera.

Kacamata ekonomi untuk migrasi sering mengacu pada asumsi permintaan hak tenaga kerja di negara tujuan bertemu dengan penawaran tenaga kerja di negara asal. Namun, sistem dan mekanisme yang terkesan netral dan simbolis ini pada dasarnya terisolasi berdasarkan gender. Ekonomi politik global menekankan bahwa negara-negara besar dan mengendalikan dengan tugas-tugas reproduksi sosial seperti pengasuhan anak, perawatan lansia, dan pekerjaan rumah tangga kepada migran perempuan yang mendapatkan upah rendah, membentuk apa yang sering disebut "rantai pengasuhan global" (global care chain). Hal ini bukan hanya permintaan hak tenaga kerja, namun juga spesifik melalui dimensi gender.

Laporan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan mendominasi sektor-sektor yang sangat terfeminisasi dan berupah rendah pada sektor formal maupun informal, lalu membentuk segmentasi pasar kerja yang mengintimidasi dan diskriminatif. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan upah gender (gender pay gap) antara pekerja migran laki-laki dan perempuan, tetapi juga secara sistemik dan struktural memisahkan mereka dari hak-hak pekerja dasar. Sebagai contoh, banyak negara tujuan yang mengklasifikasikan pekerja rumah tangga sebagai pengecualian dalam undang-undang ketenagakerjaan, yang berarti mereka tidak memiliki batasan jam kerja, upah yang terjamin, dan hak berserikat.

Akibatnya, eksploitasi upah seperti penahanan atau penundaan gaji, di bawah standar, atau bahkan perbudakan hutang dan lemahnya jaminan sosial menjadi suatu yang khas terhadap perempuan. Jutaan migrasi perempuan bukanlah sekadar pilihan untuk pengembangan profesional, melainkan lebih ke strategi mematahkan ketidaksetaraan gender yang sudah mengakar, memicu mereka ke pasar tenaga kerja cadangan dimana pekerjaan mereka penting tetapi hak finansial dan hukum mereka secara teknis dan praktik diremehkan. Eksploitasi struktural dan sistemik ini merupakan subsidi tersembunyi yang eksis pada tatanan sosial di banyak negara berpenghasilan tinggi, dan menjadikan faktor pendorong ekonomi migrasi tidak terpisahkan dari diskrimasi upah dan penindasan hak pekerja perempuan.

Sebagai pembanding dengan kacamata politik, yang berfokus pada skala besar seperti konflik, kekerasan, dan sistem tata kelola yang hancur, membongkar celah kritis lainnya. Ketika ketidakstabilan politik menimbulkan pengungsian masif, perempuan dan anak-anak sering kali menjadi rata-rata dominan yang terpaksa dan dipaksa mengungsi, sebagaimana dipantau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Individu ini seringkali diremehkan dalam wacana politik menjadi sebuah statistik kerentanan, padahal realitas politik yang mereka jalani jauh lebih meluas dan berisiko.

Meskipun dalam teori politik memperdebatkan tanggung jawab negara di bawah hukum internasional, fakta migran perempuan dan anak perempuan dilibatkan risiko spesifik dan terancam, terutama Kekerasan Berbasis Gender (KBG), kekerasan seksual, dan perdagangan manusia saat transit maupun dalam situasi perlindungan. Inilah kontradiksi antara kedaulatan negara dan HAM menjadi intens. Negara-negara tujuan dengan mengendalikan perbatasan, membangun batasan hukum yang meningkatkan ketergantungan migran pada penyelundup dan mobilisasi mereka pada jaringan kriminal, mengubah perjalanan menjadi ranah bahaya dalam gender. Kegagalan politik bukan hanya terpacu pada kegagalan mencegah konflik, tetapi dalam menentukan kebijakan suaka dan perbatasan yang secara fungsional buta gender, mengabaikan fakta bahwa perempuan dan anak yang melarikan diri dari penindasan memerlukan jalur perlindungan khusus, yang seringkali diabaikan oleh sistem saat ini.

Lalu, kajian migrasi harus mengakui perspektif anak ialah elemen demografi yang selalu diabaikan, yang dorongan migrasinya bukan semata-mata ekonomi atau murni politik, melainkan korban dari keduanya. UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) menghitung bahwa puluhan juta anak adalah migran internasional, angka yang mencakup anak di bawah umur tanpa pendamping dan anak-anak yang bermigrasi bersama dengan keluarga mereka.

Sektor ekonomi, anak-anak ini terintegrasi ke dalam ekonomi politik global melalui arus remitansi. Migrasi orang tua sebagai upaya untuk mendapatkan upah yang lebih baik, seringkali menjadi jalur alternatif untuk mengamankan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun, fungsi ekonomi ini didapat dengan biaya sosial yang menindas hak-hak anak. Anak-anak yang ditinggalkan (left behind children) dipaksa mengganti beban kerja rumah tangga dan bahkan pekerjaan yang berupah, yang membatasi hak mereka atas pendidikan dan perlindungan. Sementara itu, bagi anak-anak yang bermigrasi bersama atau tanpa pendamping, mereka menghadapi dampak tinggi eksploitasi tenaga kerja anak saat transit maupun di negara tujuan. Mereka dipaksa bekerja di sektor informal seperti budak, lalu tanpa upah minimum yang layak dan perlindungan keselamatan kerja, serta tanpa akses pengaduan laporan, yang dimana semuanya melanggar Konvensi PBB tentang Hak Anak. Perpindahan anak ini manifestasi politik dan ekonomi dari kekacauan kebijakan perlindungan. Dunia buta dan bisu terkait anak-anak ini dalam ekonomi dan politik makro, yang memprioritaskan arus modal dan kendali perbatasan. Hal ini merupakan krisis moral.

Perbandingan antara sektor ekonomi dan politik pada migrasi merupakan keterlibatan dalam wacana atau agenda yang dangkal dan simbolis. Keterlibatan yang substantif, provokatif, dan relevan dengan subjek ini, sebagaimana dituntut oleh dinamika ekonomi politik global, mendorong kita untuk membongkar biner tradisional ini dan membentuk kembali pengkajian pada kerentanan yang saling bergesekan serta memantau isu perempuan dan anak-anak. Hak permintaan ekonomi akan perawatan, kegagalan politik dalam memberikan perlindungan, dan penderitaan kaum muda yang terlantar dan terabaikan bukanlah konsekuensi sekunder, mereka adalah bentuk mekanisme gender yang penting, di mana ekonomi politik migrasi global berintegrasi. Tujuannya agar policymaker dan akademisi sepakat untuk fokus pada realitas dunia yang sistemik dan struktural ini, studi migrasi internasional akan tetap berjalan tetapi pada dasarnya tidak utuh, dan hanya formalitas dalam implementasi maupun penjabarannya mengenai ketidakadilan.

 

Referensi

  1. Fudge, Judy. (2012). Global Care Chains: Transnational Migrant Care Workers. International Journal of Comparative Labour Law and Industrial Relations, 28(1), 63–69.
  2. Hochschild, Arlie Russell. (2000). Global Care Chains and Emotional Surplus Value. In A. Giddens & W. Hutton (Eds.), On the Edge: Living with Global Capitalism. London: Routledge.
  3. Harkins, Brian. (2020). Base Motives: The case for an increased focus on wage theft against migrant workers. Anti-Trafficking Review, (15), 42–62.
  4. International Labour Organization (ILO). (2020). The migrant pay gap: Understanding wage differences between migrants and nationals. Geneva: ILO.
  5. International Labour Organization (ILO). (2024). Women and girls on the move: Global and regional trends and challenges. Geneva: ILO.
  6. Joyce, Arwen, & Ryan, Bernard. (2024). Special Issue on Migration and Exploitation in Employment: Editorial Introduction. Industrial Law Journal, 53(1), 1–2.
  7. Parreñas, Rhacel Salazar. (2002). The Care Crisis in the Philippines. In B. Ehrenreich & A. R. Hochschild (Eds.), Global Woman: Nannies, Maids and Sex Workers in the New Economy. New York: Henry Holt.
  8. Sedacca, Natalie. (2024). Migrant Work, Gender and the Hostile Environment: A Human Rights Analysis. Industrial Law Journal, 53(1), 63–93.
  9. UNICEF. (2021). “Child Migration.” New York: UNICEF.
  10. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). (2024). “Figures at a glance.” Geneva: UNHCR.
  11. World Bank. (2020). Gender-Segmented Labor Markets and Trade Shocks. Policy Research Working Paper, WPS9450. Washington, D.C.: World Bank Group.
  12. Yeates, Nicola. (2004). Global care chains: a critical introduction. Global Migration Perspectives, (3).