Lagu Wind of Change, Keruntuhan Soviet, dan Keterlibatan CIA
Penulis : Robi Sugara (Dosen Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta)
Lagu "Wind of Change" dari band rock legendaris asal Jerman, Scorpions, kerap dipandang sebagai persembahan musikal atas runtuhnya Tembok Berlin Jerman, sekaligus simbol berakhirnya konflik ideologi antara Timur dan Barat.
Namun, di balik kepopulerannya, lagu ini tidak lepas dari kontroversi. Uni Soviet sempat menuding "Wind of Change" sebagai propaganda budaya yang didanai CIA (Central Intelligence Agency), badan intelijen Amerika Serikat, dengan tujuan melemahkan pengaruh serta kekuatan Soviet.
Tuduhan keterlibatan intelijen dan campur tangan asing seperti ini memang kerap membayangi setiap gerakan massa yang menuntut kebebasan atau keadilan.
Wind of Change, Angin Perubahan untuk Kebebasan
Lagu "Wind of Change" terinspirasi dari kunjungan Scorpions ke Rusia pada 1989 dalam ajang Moscow Music Peace Festival. Saat itu, dunia berada pada titik krusial Perang Dingin, dengan blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat berhadapan dengan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Lagu ini diawali dengan siulan sederhana namun ikonik, yang seketika menghadirkan nuansa damai, penuh harapan, sekaligus reflektif. Kontras dengan dunia yang baru saja melewati dekade ketegangan nuklir dan konflik ideologi: kapitalisme dan komunisme, nada siulan itu sejak awal sudah mengundang pendengar untuk merenungkan besarnya perubahan yang tengah berlangsung.
Kemudian lirik awal “I follow the Moskva, down to Gorky Park” yang menyebut lokasi di Moskow (Moskow) adalah sebuah gambaran sungai yang membelah kota, sementara Gorky Park merupakan taman ikonik di Moskow.
Lirik berikutnya: “Listening to the wind of change” yang menggambarkan angin perubahan yang menggambarkan momentum sejarah: runtuhnya Tembok Berlin, berakhirnya blokade ideologi, dan lahirnya era baru.
Lagu ini tercatat menjadi lagu paling terkenal dan paling laris dalam sejarah musik rock di dunia. Lagu ini, tercatat sebagai salah satu single terlaris sepanjang masa, dengan penjualan lebih dari 14 juta kopi. Video klipnya menggambarkan suasana runtuhnya Tembok Berlin, protes massa, dan simbol perdamaian.
Keruntuhan Soviet dan Keterlibatan CIA
Sebab-sebab keruntuhan Uni Soviet tidak bersifat tunggal. Runtuhnya negara adidaya itu tentu tidak semata-mata dipicu oleh lagu Wind of Change atau sekadar keterlibatan CIA. Faktor utama berawal dari tekanan ekonomi yang dialami rakyat di 15 republik anggota Uni Soviet sejak pertengahan 1980-an.
Pada saat itu, Presiden Mikhail Gorbachev memperkenalkan dua kebijakan penting, yakni glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi), yang justru mempercepat dinamika perubahan di dalam negeri.
Glasnost, atau keterbukaan, merupakan kebijakan reformasi politik yang digagas Mikhail Gorbachev. Melalui kebijakan ini, pemerintah mendorong transparansi, kebebasan berpendapat, serta peran media yang lebih bebas dalam melaporkan isu politik, sosial, maupun ekonomi.
Kritik terhadap pemerintah dan Partai Komunis pun mulai diperbolehkan. Namun, kebijakan ini juga memicu kesadaran baru di tengah masyarakat yang pada akhirnya melahirkan gelombang protes serta gerakan separatis di sejumlah republik Soviet.
Perestroika, atau restrukturisasi, adalah kebijakan reformasi ekonomi yang diluncurkan oleh Gorbachev. Melalui kebijakan ini, sistem ekonomi terpusat ala komunis mulai diarahkan agar lebih produktif, efisien, dan kompetitif. Perestroika juga memberikan otonomi ekonomi yang lebih besar kepada republik-republik Soviet.
Namun, kebijakan ini justru membuka jalan bagi tuntutan kemandirian yang pada akhirnya mendorong sebagian republik untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat Soviet.
Kedua kebijakan ini mendapat penolakan keras dari kelompok konservatif Partai Komunis dan sejumlah pejabat tinggi yang menamakan diri State Committee on the State of Emergency. Mereka merencanakan kudeta terhadap Gorbachev pada Agustus 1991, tetapi upaya tersebut gagal setelah menghadapi perlawanan kuat yang dipimpin Boris Yeltsin, Presiden Rusia, republik terbesar dalam Uni Soviet.
Kegagalan kudeta itu justru mempercepat runtuhnya Uni Soviet sekaligus menandai berakhirnya Perang Dingin pada Desember 1991. Republik-republik Soviet kemudian memproklamasikan kemerdekaannya, sementara Rusia tampil sebagai pewaris utama aset dan posisi geopolitik Uni Soviet.
Lagu "Wind of Change" yang terinspirasi dari suasana Moskow kemudian menjadi semacam pengiring lahirnya kebebasan setelah runtuhnya otoritarianisme Soviet. Kehadirannya bak sebuah soundtrack dalam film, yang memberi energi dan makna lebih dalam pada peristiwa sejarah.
Seperti yang pernah diungkapkan teoritikus Marxis asal Italia, Antonio Gramsci, seni—termasuk musik—merupakan instrumen penting dalam membentuk kesadaran politik rakyat. Sebuah lagu dapat berfungsi sebagai propaganda, simbol perlawanan, sekaligus sarana membangun solidaritas kolektif.
Oleh karena itu, tuduhan bahwa Wind of Change didanai CIA tampaknya kurang valid. Sulit membayangkan sebuah karya intelijen atau pemerintah mampu menghasilkan lirik dan aransemen sekuat serta seotentik lagu tersebut.
Hal serupa juga dapat dilihat dalam tuduhan terhadap aksi 25 Agustus 2025, yang disebut-sebut dibiayai pihak asing. Padahal, aksi tersebut lebih tepat dipahami sebagai gerakan murni rakyat yang lahir dari akumulasi ketimpangan sosial.
Bedanya, jika runtuhnya otoritarianisme Soviet sempat memiliki lagu pengiring yang ikonik, maka di Indonesia belum muncul karya seni sejenis. Para seniman justru lebih sibuk memperdebatkan soal royalti atau bahkan menjadi bagian dari lingkar kekuasaan yang tengah dikritik.
Telah di pubish pada berita online liputan6.com pada tanggal 08 September 2025 di link https://www.liputan6.com/opini/read/6153864/lagu-wind-of-change-keruntuhan-soviet-dan-keterlibatan-cia