Kuliah Umum Prodi Ilmu Politik Bahas Demokrasi Indonesia dan Potensi Penyebaran Misinformasi Dalam Pemilu
Auditorium Bahtiar Effendy, FISIP Daring – Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta menggelar Studium Generale (Kuliah Umum) dengan tema “Pemilu 2024: Misinformasi dan Demokrasi Indonesia”, Kamis (05/10/2023) di Auditorium Bahtiar Effendy, Kampus FISIP UIN Jakarta.
Kegiatan kuliah umum yang dihadiri oleh ratusan sivitas akademika FISIP UIN Jakarta ini mengundang Arya Fernandes (Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS) sebagai narasumber dan M. Ezha Fachriza (Dosen FISIP UIN Jakarta) sebagai moderator. Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. Iding Rosyidin dan Kaprodi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Dr. Suryani.
Wadek Iding dalam sambutan pembukaanya mengatakan bahwa menyatakan pentingnya memahami potensi penyebaran misinformasi dalam konteks pemilihan umum. Ia menggarisbawahi bahwa pemilu adalah puncak dari proses demokratisasi, di mana masyarakat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka berdasarkan atas informasi yang benar dan akurat.
Wadek juga menyoroti peran media sosial dan teknologi informasi dalam memfasilitasi penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan.
“Ketika informasi yang salah disebarluaskan di berbagai platform digital, terutama di media sosial yang dampaknya bisa sangat merusak. Ini dapat memengaruhi persepsi publik, memicu kebingungan, dan bahkan memicu ketegangan dalam Masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, Wadek juga berharap agar para peserta kuliah umum dapat mencerna materi yang diberikan narasumber dengan baik.
Arya Fernandez dalam presentasinya memaparkan hubungan antara demokrasi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut Arya, provinsi yang demokratis umumnya memiliki nilai IPM yang tinggi.
Sistem yang demokratis memungkinkan pemimpin yang terpilih untuk membuat kebijakan yang memperhatikan peningkatan kualitas hidup, pelayanan publik dan pembangunan manusia. Negara yang demokratis lanjutnya, memiliki institusi yang stabil dan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Dengan meningkatnya ekonomi, maka IPM (pendapatan per kapita, akses pendidikan dan Kesehatan) juga akan meningkat. Oleh karena itu, IPM merupakan variabel yang paling mempengaruhi Indeks Demokrasi. Semakin tinggi IPM suatu provinsi, semakin tinggi pula Indeks Demokrasinya,” ujarnya.
Arya juga menambahkan bahwa kondisi politik nasional saat ini sudah mengalami perubahan dimana proporsi pemilih muda (berusia 17-39 tahun) diprediksi mendekati 60 persen dari total pemilih dan adanya perubahan ketertarikan pemilih dari pemimpin populis menjadi pemimpin yang berintegritas.
“Selain itu, medium informasi juga saat ini sudah mengalami perubahan. Penetrasi internet yang meningkat dan sosial media menjadi rujukan informasi politik,” tambahnya.
Dengan meningkatnya akses publik pada internet, lanjutnya, maka potensi Miss-informasi yang bisa menjadi sumber polarisasi di level pemilih juga turut meningkat.
Dirinya juga mengungkapkan terdapat beberapa model gangguan informasi yang akan terjadi pada pemilu 2024, diantaranya adalah menyebarnya fake news untuk mendiskreditkan calon/partai, penyelenggara atau mempengaruhi proses pemilihan, fake news yang menyasar manipulasi pemungutan dan penghitungan suara, dan fake news terkait hasil survey dan hitung cepat.
“Oleh karena itu, para pemilih harus berperan aktif untuk membendung lahu peredaran informasi bohong. Selain itu, pihak penyelenggara pemilu juga harus lebih aktif dalam merespon isu-isu liar soal pemilu,” tutupnya.