Kota Depok: Konteks Sejarah dan Dinamika Sosial Politik Awal Terbentuk
Kota Depok: Konteks Sejarah dan Dinamika Sosial Politik Awal Terbentuk

OLEH: Dr. Muhamad Adian Firnas, , S.IP, M.Si

TANGGAL 27 April 2024 lalu, Kota Depok memperingati hari jadinya ke-25. Sebagai kota penyangga Jakarta, perkembangan Kota Depok semakin pesat dan menjadi daya tarik masyarakat untuk bermukim di Depok. Itulah sebabnya penduduk Depok sangat beragam, baik dari sisi etnis maupun agama.

sejarah perkembangan Kota Depok dari era VOC hingga lahirnya Kota Depok.
 
Zaman VOC

Sejarah Depok tidak bisa dilepaskan dari pendudukan VOC. Bisa dikatakan sejarah Depok dimulai ketika VOC menguasai daerah itu dan statusnya ditetapkan milik seorang pejabat tinggi VOC yang bernama Cornelis Chastelein pada abad ke-17.

Cornelis Chastelein lahir di Amsterdam, Belanda, 10 Agustus 1657. Dia merupakan keturunan bangsawan Prancis. Ibunya, Maria Cruydenier, warga Belanda, anak Walikota Dordrecht. Di usia 17 tahun, bungsu dari delapan bersaudara itu mengawali kariernya di VOC, kemudian ikut ekspansi ke Batavia dengan kapal Huis te Cleeff, pada 24 Januari 1675.

Cornelis dan rombongan tiba di Batavia pada 16 Agustus di tahun yang sama. Ia kemudian bertugas di bagian administrasi atau pembukuan pada Kamer van Zeventien.

Cornelis kemudian tumbuh menjadi pria dewasa dengan karier yang terus merangkak naik hingga kemudian sampai tahun 1682 sukses dan menjadi pengusaha besar dan menjadi salah satu pejabat tinggi VOC. Kira-kira pada tahun ini juga Chastelein menikah dengan Catharina van Quaelborg dan memiliki seorang putra bernama Anthony.

Wilayah Depok saat itu meliputi sebidang tanah yang terletak di antara Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan. Cornelis Chastelein mendapatkan tanah tersebut dengan cara membeli kepada Lucas van de Meur, residen Cirebon, seharga 300 rijksdaalders dengan status kepemilikan.

Ketika pindah ke Depok sekitar tahun 1705, Chastelein bukan hanya membawa keluarganya saja, melainkan juga budak-budaknya yang berjumlah sekitar 200 orang. Para budak ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Bali, Sulawesi, dan Timor.

Dibawanya budak-budak ini bertujuan untuk mengembangkan Depok menjadi lahan perkebunan kakao, jeruk sitrun, nangka, dan belimbing. Para budak ini tidak hanya bekerja di perkebunan. Chastelein memfungsikan mereka di rumah sebagai pembantu, tukang kayu, dan mandor. Pada malam hari, budak-budak ini diwajibkan mengikuti pelajaran agama Kristen.

Dalam hubungan kerja sehari-hari, hubungan antara Cornelis Chastelein dan budak-budaknya tidak seperti hubungan majikan dan budak, akan tetapi seperti hubungan patron dan klien.

Menurut Pensioen, yang dimaksud hubungan patron-klien di sini adalah hubungan kerja di antara majikan dan budak yang dianalogikan seperti hubungan bapak dan anak.

Dalam hubungan ini sang patron menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan memenuhi kebutuhan sandang pangan kliennya, sementara sang klien sebagai balas jasa mengabdi dan melayani patron dan keluarganya. Pola hubungan ini dilakukan Chastelein karena ia mendasarkan hubungan mereka pada nilai-nilai agama Kristen yang dianutnya.

Pola hubungan yang demikian kemudian berakibat pada dibuatkan suatu rencana masa depan bagi budak-budaknya apabila Chastelein meninggalkan mereka. Menurut Irsyam (penulis buku Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an), ada dua prinsip utama yang menjadi rencana Chastelein bagi para budaknya. Pertama, memberikan perubahan status dari budak menjadi orang bebas yang menjadi pemeluk agama Kristen.

Kedua, memberikan bekal modal hidup mereka di kemudian hari dengan memberikan kepemilikan harta yang berupa tanah. Prinsip-prinsip tersebut kemudian secara tertulis dicantumkan dalam surat wasiatnya tanggal 13 Mei 1714.

Surat wasiat tersebut diserahkan kepada Jarong van Bali, kepala pemerintahan yang diangkat oleh Cornelis Chastelein sebagai pedoman dalam melaksanakan tugasnya.

Usaha perkebunan dan perdagangan hasil bumi yang dikembangkan Chastelein tergolong cukup maju. Demikian pula dengan misi penyebaran agama Kristen yang dilakukannya.

Sampai dengan tahun 1713, dari 200 budaknya sekitar 120 berhasil dikristenkan Cornelis Chastelein yang ditandai kesediaan para budak itu menerima sakramen pembaptisan sebagai simbol menjadi Kristen sekaligus menerima pembebasan. Sisanya sebanyak 80 orang budak menolak untuk menerima sakramen pembaptisan dan kembali kepada agama asalnya.

Sesuai dengan surat wasiat Cornelis Chatelein di atas, maka para budak yang tidak mau dibaptis maka mereka tidak diberikan tanah dan dilarang tinggal di tanah Depok. Para budak dikelompokkan dalam 12 marga serta diberi nama keluarga, yakni, Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, dan Zadokh.

Marga-marga itulah yang kemudian dikenal sebagai masyarakat asli Depok. Chastelein sangat memperhatikan kehidupan budak-budaknya semasa hidupnya. Selain menghibahkan tanah, alat-alat pertanian, hewan ternak, dan lain sebagainya, Ia juga membangunkan rumah untuk budak-budaknya.

Itulah sebabnya ketika Chastelein meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, para budaknya sangat terpukul. Untuk mengenangnya, para budaknya memberi gelar de Stichter van Depok, yang artinya Pendiri Depok kepada Cornellis Chastelein sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya.

Sepeninggal Chastelein, Anthony Chastelein yang merupakan anaknya melanjutkan tugas untuk menjalankan ketentuan yang diamanatkan ayahnya sebagaimana yang tertuang dalam surat wasiatnya tersebut. Ia kemudian mendaftarkan warisan tanah ayahnya di Depok untuk mantan budak-budaknya.

Sayangnya sebelum tugas itu selesai, Anthony juga wafat pada 1715. Setelah ditinggal Anthony, istri Anthony, Anna Chastelein de Haan, menikah lagi dengan seorang anggota Raad van Justitie yang bernama Johan Francois de Witte van Schoten pada 1717.

Sebagai seorang yang paham hukum, suami Anna Chastelein de Haan membuat penafsiran terhadap permohonan Cornelis Chastelein. Ia menafsirkan bahwa para mantan budak Chastelein beserta keturunannya hanya mempunyai hak menggunakan tanah secara bebas untuk selamanya.

Johan kemudian mengajukan permohonan kepada College van Schepenen di Batavia untuk memberikan surat-surat kepemilikan tanah-tanah Depok kepadanya.

Permohonan itu dikabulkan dan hingga abad ke-19 Johan Francois de Witte van Schoten tercatat sebagai pemilik tanah Depok. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Johan Francois de Witte van Schoten ini dianggap sebagai strategi hukum untuk menyelamatkan komunitas Depok melalui kepemilikan yang sah ini sehingga pemerintah di Batavia tidak dapat seenaknya mengambil alih tanah Depok.

Hal ini dibuktikan ketika Johan Francois de Writte van Schoten ini pulang ke Belanda pada tahun 1734, ia tidak menjual tanah Depok, tetapi justru menyerahkan kepada para budak-budak Chastelein.

Sepeninggal Cornelis Chastelein dan keturunannya, memberikan dampak yang besar kepada masyarakat Depok asli. Mereka kemudian membuka diri dan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Sejak saat itu interaksi barang dan jasa terjadi dan sentuhan dengan masyarakat luar mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat Depok.

Merespons perkembangan tersebut pada 1850, Raad van Indie mengumumkan secara resmi bahwa tanah Depok sebagai hak milik mantan Budak Cornelis Chastelein. Respons positif pemerintah Kolonial Belanda berlanjut ketika tahun 1871, pemerintah Kolonial Belanda memberikan otonomi bagi masyarakat Depok untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri.

Kewenangan ini dimanfaatkan oleh masyarakat Depok melalui pemilihan seorang penguasa sebagai badan pemerintah tertinggi. Badan ini dinamakan Het Gemente Bestur van Particuliere Land Depok. Badan ini membawahi sembilan mandor serta dibantu para pecalang polisi desa serta Kumitir atau menteri lumbung.

Penanggung jawab badan ini oleh para warganya disebut presiden. Dengan demikian jabatan presiden ini sebenarnya merupakan wakil dari komunitas para mantan budak yang mendapatkan tanah dari Chastelein. Pemimpin badan ini dipilih secara demokratis oleh warganya setiap tiga tahun sekali.

Pusat pemerintahannya terletak di titik Kilometer 0 yang ditandai dengan Tugu Depok. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung yang dahulu difungsikan sebagai kantor pemerintahan, saat ini gedung tersebut digunakan sebagai Rumah Sakit Harapan.

Presiden pertamanya adalah Gerrit Jonathans, menjabat pada tahun 1913. Presiden berikutnya tercatat ada tiga, antara lain Martinus Laurens, menjabat tahun 1921; Leonardus Leander, menjabat tahun 1930; dan terakhir Johannes Matijs Jonathans, menjabat tahun 1952.

Para pemimpin tersebut memerintah masyarakat Depok dalam wilayah seluas 1.244 hektare. Para mantan budak dan keluarganya ini kemudian tumbuh berkembang menjadi suatu komunitas tersendiri di Depok yang identitasnya ditentukan oleh statusnya sebagai umat Kristen.

Keberadaan mereka secara legal diperkuat dengan statusnya yang telah mendapatkan status pemilih tanah, walaupun dalam hal ini mereka mengaturnya secara bersama-sama.

Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang, pada 1942 maka Indonesia memasuki babak baru dibawah pemerintahan militer Jepang. Karena terbatasnya sumber daya manusia berakibat Depok tidak mendapatkan pengawasan secara langsung oleh pemerintahan militer Jepang.

Kegiatan dan 'pemerintahan’ di Depok tetap dilakukan oleh Het Germeente Bestur van het Particulier Land Depok.

Perubahan besar justru dialami Depok ketika Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945 dan kemudian berujung pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Seiring dengan itu kekuasaan Belanda berangsur-angsur terkikis bahkan hilang sama sekali. Pemerintah Indonesia kemudian mengambil alih kekuasaan dan menata kembali tanah-tanah partikelir di Indonesia. Pada 8 April 1949 pemerintah mengeluarkan Keputusan Pemerintah tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan memberlakukan Undang-undang Agraria.

Dengan keluarnya keputusan tersebut maka berakhirlah pemerintahan tanah partikelir Depok sejak saat itu Depok menjadi tanah negara. Status administrative Depok kemudian menjadi salah satu Kecamatan dalam lingkungan Kawedanan Parung, Kabupaten Bogor.

Akibat perkembangan pembangunan yang begitu pesat seiring dijadikannya Depok sebagai proyek perumahan oleh Perum Perumnas dan beberapa perusahaan swasta pada kisaran 1976, menyebabkan status administratif Depok perlu ditinjau ulang.

Apalagi kemudian pemerintah juga membangun Kampus Universitas Indonesia di Depok sebagai pengembangan Kampus Salemba yang dirasakan tidak kondusif lagi bagi perkembangan perguruan tinggi ternama dan terbesar di Indonesia. Ini membuat Depok semakin bergeliat dengan pembangunannya. Pembangunan Kampus UI dan kawasan-kawasan perumahan di Depok ini mau tidak mau semakin mengubah Depok menjadi kota baru.

Kehadiran Perumnas dan Universitas Indonesia membuat Kota Depok kemudian ditetapkan sebagai kota pemukiman dan pusat pendidikan tinggi di wilayah Bodetabek. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan ibukota negara, Depok menghadapi berbagai masalah perkotaan, kependudukan, mobilitas, dan pembangunan ekonomi.

Pemerintah pusat kemudian memutuskan suatu pola dekonsentrasi planologi tentang pengembangan wilayah Jabodetabek yang tertuang dalam Inpres No.13/1976. Dengan keluarnya inpres tersebut, wilayah Depok kemudian dimasukkan sebagai pusat pertumbuhan baru dan daerah penyangga bagi kota Jakarta.

Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Depok sangat penting bagi penyangga pertumbuhan Kota Jakarta, terutama sebagai daerah pemukiman dalam rangka menanggulangi masalah kependudukan di Jakarta.

Merespons perkembangan tersebut, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan status Depok dari kecamatan menjadi Kota Administratif Depok. Tujuan pembentukan Kota Administratif Depok adalah untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna dan berdaya guna yang merupakan sarana bagi pembinaan wilayah, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha peningkatan laju pembangunan.

Pembentukan Kota Administratif Depok didahului dengan terbitnya Surat Menteri Dalam Negeri RI No.135/3127/PUOD, tanggal 2 Agustus 1980 tentang Peningkatan Status Kecamatan Depok yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor agar dilakukan langkah-langkah untuk membentuk Kotif Depok.

Setelah menerima surat tersebut, Bupati Bogor saat itu, Ayip Ruchby, mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II No.PB.011/139/kpts/Huk/1999 Tentang Pembentukan Tim Persiapan Pembentukan Kotif Depok pada tanggal 23 Agustus 1980. Tim ini terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana lapangan yang anggotanya berjumlah 43 orang.

Setelah tim selesai bekerja dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan akhirnya Kota Administratif Depok resmi terbentuk  berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 43/1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri, H Amir Machmud.

Menurut peraturan tersebut, Kotif Depok terdiri dari 3 Kecamatan dan 17 Desa, yaitu:
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 Desa, yaitu Depok, Depok Jaya, Pancoran Mas, Mampang, Rangkapan Jaya, Rangkapan Jaya Baru.
2. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 Desa, yaitu: Beji, Kemiri Muka, Pondok Cina, Tanah Baru, Kukusan.
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 Desa, yaitu: Mekarjaya, Sukma Jaya, Sukamaju, Cisalak, Kalibaru, Kalimulya.

Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok berkembang pesat, baik di bidang Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan.

Khususnya bidang pemerintahan, semua desa berganti menjadi kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 dan 23 kelurahan, yaitu:
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu Depok, Depok Jaya, Pancoran Mas, Rangkapan Jaya, Rangkapan Jaya Baru.
2. Kecamatan Beji terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu Beji, Beji Timur, Pondok Cina, Kemirimuka, Kukusan, Tanah Baru.
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 Kelurahan, yaitu Sukmajaya, Suka Maju, Mekarjaya, Abadi Jaya, Baktijaya, Cisalak, Kalibaru, Kalimulya, Kali Jaya, Cilodong, Jatimulya, Tirta Jaya.

Sebagai kota administratif, pemerintah Depok dipimpin oleh seorang Walikota. Sejak terbentuk tahun 1981 hingga tahun 1999 Kota Administratif Depok telah dipimpin oleh 7 orang walikota, yaitu:
1. Drs. Moch. Rukasah Suradimaja (1982-1984)
2. Drs. H.M.I. Tamdjid (1984-1988)
3. Drs. H. Abdul Wachyan (1988-1991)
4. Drs. H. Moch. Masduki (1991-1992)
5. Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)
6. Drs. H. Yuyun Wirasaputra (plh walikota) (1996-1997)
7. Drs. H. Badrul Kamal (1997-1999).
 
Peningkatan Status menjadi Kota

Proses peningkatan status dimulai dengan terbitnya Surat Gubernur Kepala Daerah TK I Jawa Barat No.650/555-pem/1993 tertanggal 12 Februari 1993 tentang Persiapan Peningkatan Status Kota Administrasi Cilegon, Bekasi, Depok, dan Tasikmalaya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II.

Untuk mewujudkan surat keputusan gubernur tersebut, pada tanggal 2 Agustus 1993, Bupati Bogor mengeluarkan Surat Keputusan No.065/190/kpts/huk/1993 tentang Pembentukan kelompok Kerja Peningkatan Status Kotif menjadi Kotamadya.

Berdasarkan SK Bupati tersebut, maka terbentuklah susunan tim pelaksana peningkatan status Kotif Depok. Penanggung jawab dipegang oleh Bupati Bogor, Wakil Penanggung jawab oleh Wakil Bupati Bogor, Ketua Pelaksana oleh Asisten Sekwilda 1 Bogor, Wakil Ketua I oleh Ketua Bappeda Bogor, Wakil Ketua II oleh Walikota Depok, Sekretaris I oleh Kabid Statistik dan Pelapor Bappeda, Sekretaris II oleh Sekretaris Kota Administratif Depok.

Tim ini membawahi tiga kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Penataan Wilayah, Kependudukan, dan Pertanahan, Kelompok Kerja Penataan Ruang dan Fisik, dan Kelompok Kerja Aset (Keuangan, Kepegawaian, dan Material).

Untuk mendukung proses pembentukan Kotamadya Depok, Pemerintah Bogor kemudian memohon DPRD Kabupaten Bogor melalui surat Bupati tanggal 6 Maret 1994 No.650/48-Tapem, perihal mohon persetujuan peningkatan status Kota Administratif Depok menjadi DT II Depok.

DPRD kemudian mengadakan rapat pada 16 Mei 1994. Rapat tersebut mencapai kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam Surat keputusan DPRD TK II Bogor Nomor.135/SK.DPRD/03/1994 tanggal 16 Mei 1994 tentang persetujuan pembentukan Kotamadya DT II Depok.

Setelah mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten DT II Bogor, Bupati Bogor kemudian mengajukan usulan pembentukan Kotamadya Depok kepada Gubernur Jawa Barat melalui surat No.125.1/230-A-Tapem, tanggal 22 Juni 1994 tentang usulan pembentukan Kotamadya Depok.

Berdasarkan pertimbangan dan proses yang sudah dilalui, Gubernur Jawa Barat mengajukan usulan pembentukan Kotamadya Depok kepada Mendagri melalui surat No.125.17 795/Otda/1995 tanggal 7 Juni 1995 perihal usulan pembentukan Kotamadya Depok.

Usulan ini kemudian mendapat tanggapan dari Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Januari 1997 melalui radiogram yang ditandatangani oleh Sekretaris Dirjen PUOD yang isinya memberitahukan akan diadakannya observasi lapangan oleh tim sekretariat PUOD dalam rangka rencana pembentukan Kotamadya DT II Depok yang akan dilaksanakan pada 17 Januari 1997.

Dari hasil observasi lapangan tersebut tim PUOD tidak keberatan dengan peningkatan status Kotif menjadi Kotamadya. Atas dasar observasi ini, pada tanggal 10 Maret 1998 Mendagri menerbitkan surat No.135.32/961/PUOD perihal tanggapan atas RUU tentang Pembentukan Kotamadya DT II Depok dan Kotamadya DT Cilegon yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara.

Akhirnya perubahan tersebut ditetapkan pada tanggal 20 April melalui UU 15/1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon.

Dalam UU tersebut pada bagian pertimbangan disebutkan bahwa Kota Administratif Depok dalam perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang sesuai dengan peran dan fungsinya sehingga perlu diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana pengelolaan wilayah tersebut.

Perkembangan tersebut memberikan gambaran  mengenai dukungan dan potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Akhirnya berdasarkan pertimbangan tersebut maka Kota Administratif Depok dibentuk menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II.

Dalam perundangan tersebut dicantumkan bahwa luas wilayah Depok adalah 20.029 hektar yang meliputi wilayah Kota Administratif Depok dan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.

Kotamadya Depok kemudian diresmikan pada 27 April 1999 dan bersamaan dengan itu pula Drs. H. Badrul Kamal dilantik sebagai Pejabat Sementara Walikotamadya Depok.

Peningkatan status Kota Depok menjadi daerah otonom telah menjadi faktor penentu yang sangat dominan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan dinamika sosial politik Kota Depok. Dibalik perubahan status Depok menjadi Kotamadya ada peran Drs. H. Badrul Kamal yang dianggap sebagai tokoh sentral perubahan itu.

Dalam wawancara dengan tabloid Suara Kita, Badrul Kamal yang merupakan Walikotatif Depok Tahun 1997-1999 mengatakan bahwa ide perubahan status itu berdasarkan masukan-masukan dari tokoh-tokoh masyarakat dan pihak-pihak lain yang menginginkan perubahan status Depok menjadi Kotamadya.

Usulan itu kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian yang melibatkan masukan-masukan dari masyarakat sampai ke kelurahan-kelurahan. Berbekal kedekatannya dengan Bupati Bogor karena Badrul Kamal sebelumnya pernah menjabat sebagai Asisten Administrasi Pembangunan Kabupaten Bogor ia aktif melakukan lobi-lobi terkait perubahan Depok menjadi Kotamadya.

Usulan ini disetujui Bupati Bogor untuk selanjutnya dibahas di DPRD, lanjut ke DPRD Provinsi, dan DPR RI hingga lahirnya Undang-Undang pembentukan Kotamadya Depok Itu.

Menurut Badrul Kamal, dengan hanya tiga kecamatan maka perkembangan Depok tidak akan signifikan. Oleh karena itu Badrul Kamal mengusulkan kepada Bupati Bogor agar 3 kecamatan yang ada pada saat itu dimekarkan menjadi  6 kecamatan. Pemekaran 3 kecamatan ini menurut Badrul Kamal satu paket dengan usulan perubahan status Depok menjadi Kotamadya.

Akhirnya seiring dengan diundangkannya perubahan status Depok menjadi Kotamadya, maka terjadi juga pemekaran kecamatan dari yang semula tiga menjadi enam kecamatan yang meliputi Kecamatan Beji, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya, Pancoran Mas, dan Limo, dengan 63 kelurahan.

Pemekaran wilayah Kota Depok terus berlanjut. Berdasarkan Peraturan Kota Depok 8/2007, tentang Pembentukan Kecamatan di Kota Depok, dilakukan pemekaran wilayah kecamatan dari 6 kecamatan menjadi 11 kecamatan.

Kecamatan baru hasil pemekaran itu yaitu Bojongsari dari pemekaran Sawangan, Cipayung dari pemekaran Pancoran Mas, Cilodong dari pemekaran Sukmajaya, Tapos dari pemekaran Cimanggis, serta Cinere dari pemekaran Limo.

Satu-satunya kecamatan yang belum pernah mengalami pemekaran adalah Beji. Sejak saat itu maka pemerintahan di Kota Depok terdiri dari 11 Kecamatan dan 63 Kelurahan.(tris)