Ketimpangan dan kemiskinan membayangi Indonesia Thailand
Ketimpangan dan kemiskinan membayangi Indonesia Thailand

Penulis : Shalda Puteri Hawari ( Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta )

Kawasan Asia Tenggara hingga kini masih dibayangi oleh masalah ketimpangan dan kemiskinan yang saling berkaitan erat. Dua persoalan ini bukan hanya menjadi tantangan internal bagi masing-masing negara, tetapi juga berimplikasi pada stabilitas dan pembangunan kawasan secara keseluruhan. Indonesia dan Thailand sebagai dua negara pendiri ASEAN memiliki posisi strategis serta pengaruh kuat dalam menentukan arah kerja sama regional. Namun, di balik status prestisiusnya sebagai pionir organisasi kawasan, kedua negara tersebut masih menghadapi persoalan mendasar berupa ketidakmerataan di berbagai sektor, terutama ekonomi dan sosial. Ketimpangan pendapatan, perbedaan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan menjadi masalah yang nyata dan menekan. Kondisi ini menjadi alarm yang penting untuk segera ditangani karena dampaknya yang merugikan mempengaruhi di banyak aspek kehidupan.  

Bentuk ketimpangan di Indonesia dan Thailand

Indonesia dan Thailand dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan percepatan ekonominya di muka internasional. Dengan Indonesia yang menjalin berbagai kerjasama ekonomi internasional seperti bergabung ke BRICS dan Thailand yang memaksimalkan potensi ekonominya di sektor otomotif dan pariwisata. Tetapi, capaian ekonomi tersebut tidak dapat menghapuskan lubang ketimpangan yang ada.

Kedua negara ini memiliki salah satu bentuk ketimpangan yang sama dimana kekayaan nasionalnya hanya dikuasai oleh para elit saja sementara jutaan masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemudian, Indonesia dan Thailand juga mengalami ketidakmerataan pada pembangunan di negaranya. Banyak pembangunan hanya dilakukan di pusat perkotaan saja seperti Jakarta dan Bangkok. Sebaliknya, desa-desa tidak merasakan akses yang sama yang artinya konsentrasi pembangunan hanya difokuskan di wilayah perkotaan yang kembali memperjelas ketimpangan. Pembangunan yang tidak merata ini mendorong terjadinya perbedaan pada akses layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan lain lain. Sekolah-sekolah di daerah kota memiliki fasilitas yang modern dengan tenaga pengajar yang terlatih. Sedangkan di desa untuk menemukan sekolah yang layak saja sudah kesulitan. Belum lagi mobilisasi ke sekolah pun sangat minim harus menyeberangi sungai yang dalam, jembatan ringkih, dan akses akses jalanan yang miris lainnya. Begitu juga dengan akses kesehatan, di kota semua terasa mudah dan cepat, tetapi di daerah pelosok untuk menjangkau perjalanan ke perawatan medis harus menempuh jarak yang sangat jauh.

Potret ini menunjukkan bahwa meskipun kedua negara mencatat pertumbuhan ekonomi yang impresif, hasil pembangunan masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu dan tidak menyentuh sebagian besar masyarakat. Ketimpangan antar wilayah, antar kelas sosial, dan antar akses layanan publik menjadi bukti bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini belum inklusif.

Penyebab ketimpangan

Pada dasarnya ketimpangan yang dirasakan oleh Indonesia dan Thailand diawali akibat pembangunan yang tidak merata. Sehingga kemajuan hanya akan dirasa oleh perkotaan dan wilayah-wilayah desa hanya akan terus terhenti di titik yang tidak pernah berubah. Ketidakmerataan ini yang kemudian mendasari banyak masyarakat tidak dapat merasakan peluang dan akses yang setara. Selain itu, kebijakan politik juga mempengaruhi bagaimana ketimpangan semakin marak terjadi. Sering kali kebijakan politik mengacu dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu sehingga kepentingan masyarakat-masyarakat kecil sering terpinggirkan.

Tak hanya disebabkan oleh peran negara yang masih belum maksimal, pasar juga memperlebar kesenjangan dan membentuk kemiskinan semakin melebar. Pasar menjadi tempat dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya, dia tidak pernah memikirkan terkait ketertinggalan. Di pasar pemilik modal selalu unggul dalam keuntungannya. Misal di Indonesia, para investor saat ini menguasai lahan dengan luas sebesar ratusan ribu hektar, sedangkan masyarakat khususnya petani yang sangat bergantung pada luas lahan hanya memiliki 1-2 hektar saja. Oleh karena itu, keuntungan yang dirasakan hanya berputar pada elit-elit pemilik modal saja sedangkan masyarakat kecil tetap berada di lingkar kemiskinan. Di Thailand yang ekonominya sering mengandalkan pada sektor pariwisata menyebabkan masyarakat-masyarakat di wilayah kecil seperti daerah petani juga terus berada di titik kemiskinan. Masyarakat pedesaan pun sulit untuk mengimbangi sumber daya sumber daya yang ada di perkotaan karena keterampilan atau kriteria yang dituntut sering kali tidak sesuai akibat sulitnya akses pada pendidikan.

Ketimpangan akibat pasar juga dapat disebabkan karena adanya globalisasi dimana menuntut negara untuk membuka pasar yang dapat dijajah seluas-luasnya. Negara yang tidak mampu mengimbangi masifnya globalisasi melalui kebijakannya akan kembali mengorbankan rakyatnya sendiri. Barang impor memasuki pasar lokal dengan harga yang murah untuk menggaet konsumen akibatnya pengusaha kecil lokal kalah bersaing, banyak buruh pabrik lokal kehilangan pekerjaan yang menyebabkan ketimpangan itu sendiri akan semakin melebar.

Dampak akibat ketimpangan

Ketimpangan akan mendorong urbanisasi secara besar-besaran bahkan hampir tidak terkontrol. Banyak penduduk desa yang hijrah ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan, namun sering berakhir di sektor informal dengan penghasilan rendah. Kemudian, pemerataan penduduk akan menjadi isu baru dimana kepadatan akan terus menghantui wilayah kota. Hal ini menimbulkan beban sosial baru di perkotaan seperti meningkatnya pengangguran terselubung, kemacetan, hingga kriminalitas.

Selanjutnya, ketimpangan yang memicu isu-isu sosial tadi menimbulkan stabilitas politik. Di Thailand, kesenjangan antara masyarakat di Bangkok dengan provinsi-provinsi lain menjadi salah satu akar konflik politik yang berulang, seperti pertentangan antara kelompok “Baju Merah” dan “Baju Kuning”. Perbedaan kepentingan ini menunjukkan bagaimana ketimpangan ekonomi dapat memperdalam polarisasi politik.

Ketimpangan yang awalnya terjadi pada sektor pasti meluas dan memicu ketimpangan di sektor lainnya. Ketimpangan memicu ketidakmampuan pada akses pendidikan, kesehatan yang layak, infrastruktur dan berdampak pula akhirnya kualitas sumber daya manusia menurun. Sehingga ketimpangan pun akan menghambat terjadinya pembangunan berkelanjutan.

Strategi Indonesia, Thailand dan Aktor Internasional

Beberapa agenda dan strategi Indonesia dalam mengatasi ketimpangan dan kemiskinan dapat dilihat dari beberapa program dan kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Kartu Indonesia Pintar, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan lain-lain. Lapangan pekerjaan juga dimaksimalkan tidak hanya di daerah perkotaan melalui pembangunan infrastruktur di luar Jawa agar kesenjangan antarwilayah dapat ditekan.

Sedangkan di Thailand mengatasi ketimpangan dan kemiskinan melalui kebijakan Universal Coverage Scheme yakni kebijakan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh warga negara. Thailand juga memberikan bantuan modal melalui programnya yakni Village Fund Program dengan total dana sebesar 1 juta bath untuk dikelola warga desa membuka peluang usaha.

Dunia internasional pun turut berperan dalam membantu negara-negara yang mengalami isu ketimpangan dan kesulitan. Banyak aktor yang ikut terlibat seperti IMF dan World Bank melalui pinjaman dana untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur. ASEAN yang mendorong terbukanya peluang-peluang kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Serta PBB sebagai organisasi internasional melalui Sustainable Development Goals (SDGs) yang mendorong negara-negara untuk mengurangi ketimpangan dan menghapus kemiskinan ekstrem pada 2030. Tekanan moral dan diplomasi internasional ini dapat menjadi dorongan tambahan bagi Indonesia dan Thailand untuk serius menangani masalah ketimpangan.

Penutup

Indonesia dan Thailand, meski berada di jalur pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, masih menghadapi tantangan besar berupa ketimpangan dan kemiskinan. Kedua masalah ini bukan sekadar soal distribusi pendapatan, tetapi juga berimplikasi pada stabilitas sosial-politik serta masa depan pembangunan kawasan. Pada akhirnya, jika Indonesia dan Thailand mampu menekan ketimpangan dan kemiskinan, hal ini bukan hanya membawa manfaat bagi rakyatnya, tetapi juga memperkuat fondasi integrasi dan stabilitas Asia Tenggara secara keseluruhan.