Ketika Seorang Filantropi Menggoyahkan Keamanan Dunia
Penulis : Suthan Afif, Mahasiswa Hubungan Internasional
Filantropi dan Destabilisasi
George Soros selalu hadir sebagai sosok yang memantik perdebatan. Bagi beberapa pihak, Soros adalah simbol keterbukaan dan demokrasi liberal yang memperjuangkan transparansi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang akuntabel. Namun, ada juga yang berpendapat ia merupakan figur yang dapat mengancam kedaulatan sebuah negara. Seorang miliarder dengan jaringan global yang mampu mempengaruhi arah kebijakan politik dan ekonomi dunia. Sebagai mahasiswa hubungan internasional, saya melihat figur Soros bukan hanya sekadar fenomena personal melainkan potret baru kekuasaan global yang tak terduga dan sulit dikontrol, karena Soros menggambarkan seorang individu yang tidak memiliki kekuasaan sebesar negara, tetapi memiliki dampak sebesar negara.
Dalam konteks keamanan internasional, pertanyaan tentang “seberapa berbahayakah George Soros” bukanlah soal personal semata, melainkan tentang peran aktor non-negara dalam membentuk lanskap geopolitik global. Soros, melalui Open Society Foundations (OSF), telah menyalurkan miliaran dolar untuk memperkuat demokrasi, kebebasan pers, dan hak asasi manusia. Namun di sisi lain, pengaruh finansial dan ideologinya telah menciptakan dinamika baru dalam sistem internasional dinamika yang kerap menembus batas negara dan mengubah arah politik domestik. Karena sebuah kekuatan yang lahir dari motif filantropis ini juga dapat meningkatkan potensi destabilisasi serius yang dianggap adalah perbuatan baik tetapi dapat mengancam keamanan nasional negara-negara yang menjadi objeknya. Maka dari itu pertanyaan tentang “seberapa berbahayakah Soros” bukanlah tentang moralitas individunya, melainkan tentang batas kekuasaan dalam dunia global.
Uang Sebagai Senjata
Soros membuktikan bahwa uang bisa lebih tajam dari senjata. Pada 1992, ia mengguncang ekonomi Inggris dengan menyerang poundsterling, membuat Bank of England kehilangan miliaran dolar dan memaksa Inggris keluar dari European Exchange Rate Mechanism (ERM). Peristiwa ini membuktikan bahwa individu dengan modal besar dapat memicu krisis moneter pada level negara yang mengarah langsung pada sebuah ancaman keamanan ekonomi nasional. Tindakan itu menjadikannya “The Man Who Broke the Bank of England” Dari situ, saya belajar bahwa stabilitas ekonomi nasional ternyata bisa runtuh hanya oleh keputusan finansial satu orang.
Dalam teori keamanan internasional, ekonomi dan stabilitas politik saling terkait erat. peristiwa seperti ini menunjukkan betapa rentannya sistem global terhadap spekulasi modal. Uang tidak hanya menggerakkan pasar, tetapi juga dapat menggeser legitimasi politik. Ketika mekanisme ekonomi sebuah negara terguncang, legitimasi pemerintahannya akan ikut tergerus dan dapat membuka ruang bagi instabilitas sosial. Meskipun Soros bukan aktor negara, tetapi ia memiliki leverage struktural yang memungkinkan terjadinya tekanan ekonomi-politik terhadap negara berdaulat. Beberapa negara di Eropa Timur dan Asia Tengah bahkan menuduh jaringan OSF-nya mendukung agenda “revolusi warna” yang mengguncang stabilitas rezim pasca-komunis. Soros memang tidak menembakkan peluru, tapi efeknya terhadap negara bisa lebih mematikan daripada perang konvensional.
Konsep “open society” yang menjadi dasar filsafat Soros bukan sekadar gagasan etis, melainkan ideologi politik global. Ia menentang negara otoriter dan sistem tertutup yang dianggap membatasi kebebasan individu. Filsafat ini terdengar luhur, tetapi dalam praktiknya sering kali berhadapan dengan kedaulatan politik dan nilai-nilai lokal.
Hongaria, Rusia, dan Turki menilai bahwa OSF menjadi kendaraan ideologis Barat untuk menanamkan nilai-nilai liberal yang tidak selalu kompatibel dengan budaya politik lokal. Presiden Hungaria Viktor Orbán bahkan secara terbuka menyebut Soros sebagai dalang di balik upaya mengguncang rezim nasionalis mereka. Pandangan ini tidak sepenuhnya tanpa dasar melainkan karena dukungan finansial OSF yang disalurkan pada LSM, media independen, dan gerakan sosial mampu membentuk opini publik dan arah kebijakan domestik suatu negara.
Sebagai mahasiswa HI, saya memahami bahwa demokrasi merupakan nilai universal. Akan tetapi demokrasi yang dipaksakan lewat pendanaan eksternal sering kali kehilangan jiwanya. Ia dapat berubah menjadi proyek politik global yang tentu bukan hasil dari kesadaran masyarakat lokal. Di sinilah bahaya sesungguhnya ketika ideologi menjadi kendaraan pengaruh yang menembus batas negara tanpa legitimasi publik.
Aktor Non-Negara dan Rezim Keamanan Global
Fenomena Soros mempertegas bahwa aktor non-negara kini memiliki kapasitas yang setara bahkan melebihi sebuah negara yang dapat mempengaruhi keamanan internasional. Dalam kerangka Human Security, OSF mungkin dipandang sebagai kekuatan positif yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Namun, dalam paradigma State-centric Security kehadirannya dapat menimbulkan sebuah paradoks tentang bagaimana negara dapat melindungi dirinya dari aktor yang bekerja melampaui batas yurisdiksi hukum nasional?
Masalah ini menjadi semakin kompleks ketika Soros mulai menggunakan jaringan lembaga riset, media, dan bahkan think tank global di lebih dari 100 negara. Dari luar, semua itu tampak seperti jaringan filantropi. Namun jika kita menelisik lebih dalam, jaringan ini membentuk arus opini global yang bisa mengarahkan kebijakan negara lain tanpa proses politik formal. Masalahnya, kekuasaan semacam ini tidak memiliki mandat demokratis. Tidak ada pemilu untuk memilih Soros tetapi keputusan dan dananya bisa mengubah arah pemerintahan. Dalam kacamata keamanan internasional, ini adalah bentuk baru dari soft intervention campur tangan halus yang tak menggunakan kekuatan militer, tapi menembus jantung opini publik dan lembaga negara. Hal ini menggambarkan sebuah ancaman yang ditimbulkan bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga epistemik dan kognitif atau perebutan kendali atas narasi dan persepsi global. Karena kita hidup di era ketika informasi dan narasi lebih menentukan daripada senjata. Maka, ancaman terhadap keamanan tidak selalu datang dari luar negeri dalam arti geografis, tapi dari luar sistem nilai dan persepsi nasional itu sendiri.
Dampak Terhadap Keamanan Nasional Negara Berkembang
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pengaruh aktor global seperti Soros menghadirkan dilema strategis. Di satu sisi, dukungan OSF terhadap masyarakat sipil dan transparansi dapat memperkuat tata kelola pemerintahan. Namun di sisi lain, intervensi dalam bentuk pendanaan organisasi dan advokasi kebijakan berpotensi menggerus legitimasi institusi nasional. Dalam kerangka keamanan nasional Indonesia, pengaruh eksternal semacam ini dapat menimbulkan fragmentasi politik dan sosial, terutama ketika agenda global tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai lokal dan prioritas pembangunan nasional. Bayangkan jika arah kebijakan publik di suatu negara lebih dipengaruhi oleh donor internasional daripada oleh partisipasi rakyatnya sendiri. Demokrasi yang seharusnya lahir dari bawah justru digerakkan dari luar. Di sinilah pentingnya state resilience yaitu kemampuan negara untuk menjaga kedaulatannya dalam menghadapi arus nilai dan modal global. Indonesia yang sedang membangun peran geopolitiknya harus lebih berhati-hati terhadap bentuk soft power semacam ini. Keterbukaan memang penting, tapi keterbukaan tanpa perlindungan bisa berujung pada pengeksploitasian.
Pengaruh ideologi liberal yang terlalu kuat juga bisa menimbulkan konflik sosial dan identitas. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, gagasan global yang tidak disaring dengan nilai lokal dapat menciptakan gesekan. Politik identitas mudah tumbuh di ruang-ruang yang kehilangan arah ideologis disitulah kekuatan asing bisa masuk dengan mudah bukan dengan senjata, tetapi dengan wacana dan uang. Negara berkembang harus memahami bahwa ancaman modern tidak selalu datang dalam bentuk kolonialisme klasik, tetapi dalam bentuk ketergantungan naratif dan struktural. Kita bisa kehilangan kedaulatan bukan karena dijajah secara langsung tetapi karena didefinisikan ulang oleh kekuatan luar yang menentukan siapa kita, apa yang penting, dan ke mana arah bangsa ini harus berjalan.
Respons Dunia Terhadap Soros
Menariknya Soros bukan hanya menjadi perdebatan di negara-negara berkembang. Di Barat sendiri pengaruhnya juga menjadi bahan kontroversi. Amerika Serikat misalnya, melihat peran Soros secara ambigu di satu sisi sebagai simbol nilai liberal yang sejalan dengan politik luar negeri AS, tetapi di sisi lain Soros juga dipandang sebagai aktor yang dapat mengganggu stabilitas politik domestik.
Sementara itu, di dunia Timur terutama di Rusia dan Tiongkok Soros dipandang sebagai simbol imperialisme budaya Barat. Pemerintah Rusia bahkan melarang operasi OSF sejak 2015 dengan alasan “mengancam keamanan nasional dan tatanan konstitusional.” Bagi Tiongkok, konsep open society yang diperjuangkan Soros bertentangan langsung dengan prinsip state stability yang menjadi dasar ideologi Partai Komunis. Dari sini kita melihat bagaimana reaksi dunia terhadap Soros mencerminkan benturan dua tatanan nilai global dimana dunia liberal yang menjunjung kebebasan individu dengan dunia realistis yang menekankan stabilitas negara. Dalam benturan inilah, keamanan internasional menjadi arena tarik-menarik antara nilai, kepentingan, dan kekuasaan.
Penutup
Soros bukanlah ancaman dalam pengertian konvensional seperti agresi militer atau terorisme, melainkan representasi dari ancaman transnasional berbasis pengaruh dan modal. ancamannya lebih halus. Ia hadir dalam wujud ketidakseimbangan kekuasaan di era globalisasi. Ia merupakan representasi dari dunia yang berubah ketika seorang individu bisa mempengaruhi politik, ekonomi, dan narasi global lebih besar dari banyak negara kecil. Ia juga menunjukkan bahwa keamanan tidak lagi hanya bergantung pada batas teritorial, tetapi juga pada kemampuan negara menjaga kedaulatan politik, ekonomi, dan naratifnya dari penetrasi aktor global.
Bahaya terbesar dari fenomena Soros bukanlah pada personalnya, melainkan struktur dunia yang membiarkan ketimpangan kekuasaan ini terus melebar. Ketika kapital, ideologi, dan narasi bisa menembus batas negara tanpa kontrol, maka konsep keamanan harus diperluas tidak hanya melindungi teritorial, tapi juga melindungi kesadaran dan identitas nasional.
Menurut saya pribadi, keamanan di abad ke-21 tidak lagi bisa diukur dengan jumlah tank atau misil, tetapi seberapa kuat sebuah negara menjaga pikirannya sendiri dari dominasi narasi global. Dalam konteks itu, George Soros adalah simbol yang tepat ketika seorang filantropis yang secara tidak langsung menantang definisi baru tentang kedaulatan.
Pada akhirnya, George Soros bukan hanya sekedar individu kaya raya melainkan cermin dari sistem dunia yang kita ciptakan. Dunia yang terbuka, saling terhubung, dan rentan terhadap pengaruh siapa pun yang memiliki modal besar. Menyalahkan Soros sepenuhnya juga tidak dibenarkan, tetapi mengabaikan dampaknya terhadap keamanan nasional adalah kesalahan yang lebih besar. Kita tidak sedang berhadapan dengan “musuh baru”, melainkan dengan realitas baru. Dunia yang semakin liberal dan global membutuhkan kewaspadaan yang semakin tinggi. Bahayanya bukan pada ide open society, tetapi pada ketimpangan kekuasaan yang membuat sebagian orang mampu mengendalikan dunia tanpa pernah duduk di kursi pemerintahan. Dalam logika globalisasi, Soros mungkin tak bisa dihentikan, tapi kita bisa belajar darinya bahwa keamanan hari ini bukan soal siapa yang punya senjata melainkan siapa yang mengendalikan wacana, data, dan arah berpikir dunia. Dunia yang aman tidak selalu berarti dunia tanpa Soros, tetapi dunia yang mampu menyeimbangkan kekuatan antara kebebasan global dan kedaulatan nasional.
