Ketika Iklim Menjadi Ancaman Baru: Menakar Bahaya Perubahan Iklim terhadap Keamanan Manusia dan Tanggung Jawab Negara
Ketika Iklim Menjadi Ancaman Baru: Menakar Bahaya Perubahan Iklim terhadap Keamanan Manusia dan Tanggung Jawab Negara

Penulis : Natasya Angelina, Mahasiswa Hubungan Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan. Ia telah berkembang menjadi ancaman multidimensional yang memengaruhi aspek politik, ekonomi, dan terutama keamanan manusia. Di tingkat global, berbagai laporan dari badan internasional menempatkan krisis iklim sebagai salah satu ancaman terbesar bagi stabilitas dunia. Di Indonesia, situasinya bahkan lebih kompleks. Negara kepulauan ini menghadapi dampak langsung dari deforestasi, kenaikan permukaan laut, dan ketimpangan ekonomi yang lahir dari ekspansi komoditas pertanian seperti kelapa sawit, kopi, dan kakao. Di balik kemegahan industri ekspor tersebut, tersimpan persoalan serius yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan kehidupan jutaan masyarakat pedesaan.

Mengutip dari kajian mengenai kebijakan iklim Indonesia, perluasan perkebunan besar di Sumatra dan Kalimantan telah menggusur hutan tropis dalam skala masif, memicu kebakaran hutan, serta memperburuk emisi karbon nasional. Dampak ekologis itu bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga menyentuh dimensi keamanan manusia. Ketika udara tercemar kabut asap, produktivitas menurun, dan masyarakat kehilangan sumber air bersih, maka hak dasar atas kesehatan dan kehidupan layak ikut terancam. Menurut penelitian yang dikutip dalam laporan tersebut, komunitas adat dan masyarakat rural menjadi kelompok paling rentan, karena bergantung pada tanah dan hasil pertanian yang kini terdegradasi.

Dalam konteks keamanan internasional, perubahan iklim dapat menjadi katalis bagi konflik baru. Ketika sumber daya alam semakin menipis, kompetisi antaraktor meningkat, baik di tingkat lokal maupun global. Kasus konflik agraria di Jambi, Riau, dan Kalimantan Barat menunjukkan bagaimana ketidakadilan lingkungan dapat memicu ketegangan sosial dan bahkan kekerasan. Menurut pandangan sejumlah peneliti, situasi ini menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak lagi berdiri di luar ranah keamanan, melainkan menjadi bagian integral dari ancaman non-tradisional yang harus direspons melalui kebijakan publik yang adil dan inklusif.

Kebijakan Sertifikasi Nasional

Menanggapi tantangan tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan sejumlah kebijakan sertifikasi nasional seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), ISCoffee, dan ISCocoa. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap dominasi standar sertifikasi internasional seperti RSPO, dengan tujuan memperkuat kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Merujuk dari pandangan Wijaya dan Glasbergen, kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk reclaiming public authority (upaya pemerintah untuk mengambil kembali kendali atas regulasi keberlanjutan dari tangan lembaga asing). Dengan kata lain, pemerintah ingin memastikan bahwa konsep sustainability tidak hanya ditentukan oleh kepentingan pasar global, tetapi juga oleh kebutuhan sosial dan ekonomi nasional.

Kritik Hak Asasi Manusia terhadap Implementasi Kebijakan

Dari perspektif hak asasi manusia, implementasi kebijakan ini masih jauh dari ideal. Menurut sejumlah laporan, banyak perusahaan yang memperoleh sertifikat ISPO tanpa memenuhi indikator keberlanjutan secara substansial. Audit kerap bersifat administratif dan tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya akuntabilitas negara dalam melindungi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Di sisi lain, banyak komunitas adat kehilangan tanah ulayat mereka tanpa konsultasi yang bermakna, melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui dalam hukum internasional. Hal ini memperlihatkan paradoks antara klaim keberlanjutan dan realitas pelanggaran HAM di lapangan.

Kebijakan sertifikasi memang membuka peluang bagi petani kecil untuk berpartisipasi dalam rantai pasok global, tetapi manfaatnya belum merata. Banyak petani kopi dan kakao di Sulawesi, misalnya, masih belum mengetahui prosedur maupun manfaat sertifikasi tersebut. Ini menunjukkan adanya kesenjangan informasi yang berdampak langsung pada hak masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap kebijakan lingkungan yang memengaruhi hidup mereka. Selain itu, lemahnya koordinasi antarinstansi membuat kebijakan sering tumpang tindih dan sulit dievaluasi secara menyeluruh.

Menurut berbagai analisis, akar persoalan kebijakan iklim Indonesia terletak pada orientasi ekonomi jangka pendek. Negara sering kali menempatkan isu iklim sebagai instrumen diplomasi perdagangan, bukan sebagai upaya perlindungan HAM dan keamanan manusia. Ketika deforestasi terus dibiarkan dan konflik agraria tidak diselesaikan, maka yang terancam bukan hanya lingkungan, tetapi juga stabilitas sosial dan politik. Dalam konteks keamanan internasional, ini menjadi masalah serius, karena instabilitas internal dapat berimplikasi pada hubungan antarnegara, terutama dalam isu transboundary haze pollution yang kerap menimbulkan ketegangan di kawasan Asia Tenggara.


Jalan ke Depan: Membangun Keadilan Iklim dan Keamanan Manusia

Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya negara menempatkan perubahan iklim sebagai bagian utama dari agenda keamanan nasional dan global. Perlindungan terhadap lingkungan harus dipahami sebagai perlindungan terhadap manusia itu sendiri. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme transparansi, meningkatkan partisipasi publik, serta memastikan bahwa setiap kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim benar-benar berpihak pada masyarakat yang paling rentan. Kerja sama internasional dalam transfer teknologi hijau juga harus ditingkatkan, bukan hanya demi efisiensi ekonomi, tetapi demi keberlanjutan ekologi dan sosial yang lebih adil.

Menurut pendekatan keamanan manusia, ancaman terbesar abad ini bukan berasal dari perang antarnegara, melainkan dari ketidakmampuan kolektif kita menjaga planet ini tetap layak huni. Perubahan iklim adalah ancaman eksistensial yang melampaui batas-batas politik dan kedaulatan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia harus menunjukkan kepemimpinan moral dalam upaya mitigasi global. Dengan menempatkan hak asasi manusia dan keberlanjutan sebagai inti dari kebijakan iklim, kita bukan hanya melindungi bumi, tetapi juga memastikan masa depan yang aman bagi generasi berikutnya.