Ketika Ancaman Tak Lagi Berwujud Senjata: Refleksi Keamanan di Era Pasca-Pandemi
Ketika Ancaman Tak Lagi Berwujud Senjata: Refleksi Keamanan di Era Pasca-Pandemi

Penulis : Anggia Revalina Sahlaa (Mahasiswa Hubungan Internasonal)

Pandemi COVID-19 menjadi titik balik besar dalam sejarah hubungan internasional. Bukan lagi sekadar krisis kesehatan, melainkan ujian bagi sistem keamanan global, ekonomi, dan solidaritas antarnegara. Pandemi ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap stabilitas dunia tidak selalu muncul dari peperangan atau rivalitas kekuatan besar, tetapi juga dari virus mikroskopis yang mengguncang sistem sosial-ekonomi global. Dalam studi keamanan internasional, COVID-19 memperluas makna keamanan dari fokus pada state security menuju human security yang menempatkan kesejahteraan dan keselamatan manusia sebagai fokus utama dalam analisis keamanan.

Selama ini teori realisme dan neorealisme mendominasi studi keamanan dengan menekankan kekuatan militer dan anarki sistem internasional. Namun, pandemi menyingkap kelemahan paradigma ini. Ketika virus menyebar lintas batas, kekuatan militer tidak mampu berbuat banyak. Dunia tidak membutuhkan senjata, melainkan laboratorium, sistem deteksi dini, dan solidaritas antarnegara. Muncul kesadaran bahwa ancaman non-tradisional seperti penyakit, perubahan iklim, dan disinformasi digital sama pentingnya dengan ancaman militer.

COVID-19 juga memperdalam ketimpangan global yang berujung pada ancaman keamanan sosial dan politik. Bank Dunia (2021) mencatat bahwa 88–115 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun pertama pandemi. Krisis ekonomi ini melahirkan potensi konflik sosial, meningkatnya kriminalitas, dan ketegangan politik. Dalam perspektif human security, ini menunjukkan kegagalan negara melindungi keamanan ekonomi dan sosial warganya. Kelemahan rantai pasok global menunjukkan seberapa erat keterikatan antarnegara dalam tatanan dunia saat ini.

Ketika produksi di satu negara berhenti, efeknya menjalar ke seluruh ekonomi global. IMF melaporkan kontraksi ekonomi global hingga -3% pada 2020 dan menjadi yang terburuk sejak Perang Dunia II. Krisis ekonomi yang berkepanjangan melemahkan legitimasi politik, mendorong bangkitnya populisme, dan menimbulkan ketidakstabilan di dalam negeri. Dalam konteks ini, keamanan ekonomi terbukti menjadi fondasi penting bagi stabilitas politik nasional dan global.

Di ranah kesehatan global, organisasi internasional seperti WHO berperan penting, tetapi efektivitasnya terbatas oleh kepentingan politik negara anggota. Padahal, dalam kerangka collective security yang ditekankan teori liberalisme, keamanan global bergantung pada komitmen bersama. Namun pandemi justru memperlihatkan rapuhnya solidaritas internasional, di mana negara-negara lebih mengutamakan kepentingan domestik ketimbang kerja sama global. Kesenjangan akses vaksin mempertegas ketimpangan tersebut.

WHO dan UNICEF (2022) melaporkan lebih dari 70% penduduk negara berpenghasilan tinggi telah divaksin penuh, sementara di negara miskin angkanya di bawah 20%. Ketidakadilan ini bukan sekadar masalah etika, tetapi juga ancaman terhadap keamanan global, selama virus bertahan di satu wilayah, risiko varian baru tetap ada. Fenomena ini mencerminkan bahwa keamanan setiap negara bergantung pada keamanan negara lain. Isolasionisme terbukti bukan strategi yang efektif di dunia yang saling terhubung.

Respons global terhadap pandemi menunjukkan empat kelemahan besar. Politik dalam negeri di banyak negara seringkali membatasi ruang kerja sama antarnegara, sehingga solidaritas global sulit terwujud. Investasi jangka panjang dalam bidang pencegahan dan kesehatan publik juga masih sangat minim, membuat sistem kesehatan dunia rapuh ketika krisis datang. Selain itu, pandangan terhadap keamanan masih bersifat sempit karena perhatian utama tetap tertuju pada kekuatan militer, bukan pada ancaman non-tradisional seperti penyakit atau bencana. Di sisi lain, sistem global dalam pembagian sumber daya terbukti tidak adil dan justru memperkuat kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa struktur global yang ada saat ini justru menimbulkan ketidakamanan, terutama bagi negara-negara yang secara ekonomi dan teknologi masih tertinggal. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan pemahaman baru tentang keamanan internasional yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian. Pendekatan human security yang diperkenalkan oleh UNDP pada tahun 1994 dapat menjadi kerangka yang relevan. Konsep ini mencakup tujuh aspek utama keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, komunitas, dan politik yang seluruhnya saling berkaitan. Pandemi membuktikan bahwa kegagalan di satu bidang, misalnya kesehatan, dapat mengguncang seluruh sistem keamanan manusia. Karena itu, kebijakan pasca-pandemi perlu berfokus pada keselamatan dan kesejahteraan manusia, bukan semata-mata pada kepentingan negara.

Penerapan konsep human security menuntut adanya reformasi kelembagaan dan koordinasi lintas sektor. Negara perlu menyatukan kebijakan di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi ke dalam satu strategi keamanan nasional yang terpadu. Pada tingkat internasional, hal ini berarti memperkuat kerja sama antarnegara serta mengurangi politisasi lembaga global seperti WHO agar fungsi kemanusiaan dan kesehatan dapat berjalan lebih efektif. Investasi di bidang kesehatan publik pun seharusnya tidak lagi dipandang sebagai beban anggaran, melainkan sebagai bagian dari strategi keamanan nasional yang vital untuk menjaga stabilitas jangka panjang.

Dari sisi teori, pandemi COVID-19 mendorong perubahan cara pandang dalam studi keamanan internasional. Pandemi ini menantang dominasi pemikiran yang berpusat pada negara (state-centric) dan membuka ruang bagi pendekatan konstruktivis serta teori kritis yang menekankan pentingnya ide, norma, dan solidaritas antarbangsa. Pandemi COVID-19 menjadi cermin bagi dunia yang sedang bergerak menuju sistem keamanan yang lebih manusiawi dan saling bergantung.

Selain itu, ancaman di dunia digital semakin meningkat sejak aktivitas banyak berpindah ke ruang online selama pandemi. Aksi peretasan, pencurian data, dan penyebaran informasi palsu menjadi ancaman baru yang dapat mengganggu keamanan tanpa terjadi peperangan fisik. Oleh karena itu, gagasan human security perlu mencakup perlindungan keamanan digital bagi setiap orang. Pemerintah perlu menjaga warganya tidak hanya dari penyakit, tetapi juga dari penyebaran informasi yang dapat memecah belah masyarakat dan mengganggu stabilitas politik.

Secara keseluruhan, pandemi COVID-19 seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk membangun sistem keamanan dunia yang lebih baik. Dunia tidak bisa lagi hanya mengandalkan kekuatan militer sebagai ukuran keamanan. Sebaliknya, negara-negara perlu menempatkan keamanan manusia sebagai prioritas utama agar setiap orang dapat hidup dengan layak, aman, dan terbebas dari ketakutan maupun kekurangan. Dengan cara itu, keamanan di era pasca-pandemi bukan sekadar bertahan dari krisis, tetapi juga upaya untuk menciptakan dunia yang lebih kuat, adil, dan peduli pada kesejahteraan bersama.

Krisis ini juga mengajarkan bahwa kekuatan sejati sebuah negara tidak ditentukan oleh besarnya kemampuan militer, melainkan oleh ketangguhannya dalam menghadapi ancaman yang bersifat multidimensi seperti wabah, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi. Jika pelajaran ini diabaikan, dunia berisiko mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Namun, apabila komunitas internasional mampu memperluas makna keamanan dan menempatkan manusia sebagai inti dari setiap kebijakan, maka dunia pasca-COVID memiliki peluang untuk menjadi lebih tangguh, adil, dan aman bagi semua.

Namun, setelah pandemi mereda, tanda-tanda kembalinya paradigma lama justru mulai terlihat. Anggaran militer global pada tahun 2023 kembali mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, melebihi masa pra-pandemi. Alih-alih memperkuat sistem kesehatan dan ketahanan sosial, banyak negara kembali berlomba memodernisasi senjata dan teknologi pertahanan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pelajaran penting dari krisis global sering kali cepat dilupakan begitu ancaman tidak lagi terlihat. Padahal, keamanan sejati bukan hanya soal kemampuan bertahan dari serangan eksternal, melainkan kemampuan beradaptasi terhadap ancaman yang tak kasat mata seperti pandemi, krisis iklim, dan ketidakstabilan digital.

Dalam konteks inilah, keamanan seharusnya dipahami sebagai sebuah ekosistem yang saling terhubung. Kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan stabilitas politik tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kegagalan satu aspek akan berimplikasi pada aspek lainnya. Dunia global yang semakin terintegrasi menuntut logika keamanan yang juga bersifat lintas batas dan lintas sektor. Dengan kata lain, keamanan tidak lagi bisa dimonopoli oleh negara atau militer, ia kini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional.

Pandemi juga menegaskan pentingnya kepercayaan publik terhadap negara dan organisasi internasional. Selama krisis, penyebaran informasi palsu dan kepentingan politik dalam isu kesehatan terbukti dapat menimbulkan risiko besar, bahkan setara dengan virusnya. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada otoritas, pelaksanaan kebijakan menjadi jauh kurang efektif. Karena itu, keamanan ke depan sangat bergantung pada kualitas tata kelola, keterbukaan informasi, dan kemampuan pemerintah membangun legitimasi di mata rakyat.

Dari sudut pandang global, masa setelah pandemi seharusnya menjadi kesempatan untuk memperkuat semangat kerja sama internasional dan memperbaiki sistem keamanan dunia. Namun realitas justru menunjukkan hal sebaliknya. Konflik Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok membuat dunia kembali terjebak dalam pola persaingan yang saling merugikan. Ini menjadi ironi, karena dunia baru saja menghadapi krisis besar yang hanya bisa diselesaikan lewat kerja sama, tetapi kini kembali terpecah oleh kepentingan nasional masing-masing. Jika krisis global lain datang, misalnya pandemi baru, perubahan iklim, atau krisis pangan, tidak ada satupun negara yang mampu menanganinya sendirian.

Oleh karena itu, masa depan keamanan dunia sangat ditentukan oleh kemampuan negara-negara untuk benar-benar memetik pelajaran moral dari pandemi. Keamanan bukan hanya tanggung jawab satu negara, melainkan hasil dari keberhasilan bersama. Dunia memerlukan sistem keamanan yang dibangun di atas empati, keadilan, dan kerja sama, bukan semata-mata pada kekuatan militer. Sama seperti virus yang bisa menembus batas negara, rasa aman juga tidak bisa diciptakan hanya dengan pertahanan fisik, tetapi dengan solidaritas dan kepedulian antar sesama manusia.

Pandemi juga menunjukkan bahwa keamanan di masa depan tidak hanya bergantung pada kemampuan pemerintah menghadapi ancaman, tetapi juga pada kesiapan masyarakat itu sendiri. Peran komunitas sangat penting dalam menghadapi krisis global. Di banyak tempat, justru masyarakat yang saling membantu ketika pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan sepenuhnya. Karena itu, masa setelah pandemi perlu dimanfaatkan untuk memperkuat kemampuan masyarakat melalui edukasi kesehatan, pemahaman teknologi, serta akses layanan sosial yang lebih baik. Jika masyarakat kuat dan saling mendukung, maka keamanan negara juga akan lebih terjaga.