Kembalinya 'Departemen Perang': Akankah menjadi ancaman bagi keamanan internasional
Penulis : Miftah Fauziyah Hafsari (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Pada Jumat, 5 September 2025, Presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump kembali membuat keputusan kontrovesial setelah berbagai kebijakan yang telah ia buat kini melalui perintah eksekutifnya, Donald Trump secara resmi memutuskan untuk menganti nama Department of Defense (Departemen Pertahanan) menjadi Department of War (Departemen Perang). Gebrakan yang dibuatnya ini menyita perhatian banyak pihak yang mempertanyakan mengapa keputusan ini diambil. pergantian satu kata tersebut dari “pertahanan” menjadi “perang” yang kelihatan sangat sederhana namun sangat berpengaruh ini memunculkan gelombang pertanyaan mendalam tentang apa sebenarnya tujuan Trump dan apakah keputusan tersebut akan berimplikasi terhadap keamanan internasional.
Beberapa surat kabar melaporkan bahwa langkah ini dilakukan sebagai bagian dari startegi Trump untuk menampilkan citra Amerika Serikat yang lebih ofensif dibandingkan defensif. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Trump sendiri dalam wawancaranya ia mengatakan bahwa kata pertahanan terlalu defensif kita perlu ofensif. serta dalam pernyataannya bahwa ia berusaha untuk menghidupkan kembali narasi “winning nation” atau bangsa pemenang, yang secara historis telah melekat pada Amerika Serikat sejak keberhasilannya dalam berbagai perang besar, termasuk Perang Dunia II dan Perang Dingin. selain itu Trump kembali menegaskan bahwa dengan mengatakan bahwa departemen perang memberitahu semua orang siapa Amerika sebenarnya. Terlihat bahwa Trump ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat sebagai major power terutama dalam politik internasional.
Beberapa surat kabar besar melaporkan bahwa langkah ini dilakukan sebagai bagian dari strategi Trump untuk menampilkan citra Amerika Serikat yang lebih ofensif dibandingkan defensif. Hal ini disampaikan sendiri oleh Trump bahwa kalimat pertahanan terlihat ragu ragu Melalui perubahan ini, Trump tampaknya berusaha menghidupkan kembali narasi “winning nation” atau bangsa pemenang , yang memang secara historis melekat pada Amerika Serikat sejak keberhasilannya dalam berbagai perang dari Perang Dunia II dan Perang Dingin.
Pergantian nama ini sebenarnya bukanlah hal yang baru karena secara historis hal ini pernah terjadi. Nama Department of Defense (Departemen Pertahanan) dahulunya adalah bernama Department of War (Departemen Perang). Department of War (Departemen Perang) dirikan pada masa Presiden George Washington tahun 1789, lembaga yang mengurus urusan angkatan darat. Untuk angkatan lainnya seperti angkatan laut saat itu AS membuat lembaga baru bernama Department of the Navy, yang memang memegang kendali penuh atas angkatan laut yang semakin besar pasca konflik dengan Prancis dan Inggris. Terlihat bahwa adanya pemisahan lembaga yang megurusi kedua hal tersebut selama hampir 150 tahun.
Kedua lembaga tersebut mengalami tantangan yang berat saat perang dunia II sehingga banyak penjabat militer san sipil yang menyadari perlunya satu lembaga pusat yang bisa mengoordinasikan seluruh cabang militer di bawah satu atap. Kemudian terjadi penggabungan Department of War dan Department of the Navy menjadi satu lembaga besar bernama National Military Establishment (NME). Pada 10 Agustus 1949, NME secara resmi diganti namanya menjadi Department of Defense (DoD) menyatukan seluruh cabang militer (Army, Navy, Air Force) di bawah satu koordinasi serta menghapus kesan “perang” dan menggantinya dengan orientasi “pertahanan nasional”.
Oleh karena itu, untuk memahami apakah kebijakan ini benar-benar menimbulkan ancaman terhadap stabilitas internasional, dapat dilihat melalui dua hal diatas yaitu dari pernyataan resmi Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat serta catatan historis mengenai pernah terjadinya pergantian nama serupa sebelumnya.
Menurut saya, bahwa potensi ancaman bagi stabilitas internasional itu tetap ada, tergantung pada bagaimana dunia menafsirkan pesan simbolik di balik keputusan tersebut. Dalam politik global, persepsi sendiri sering kali lebih berbahaya daripada tindakan nyata. Ketika sebuah negara besar seperti Amerika Serikat dengan kekuatan militer terbesar di dunia mengubah citra kelembagaannya dari “pertahanan” menjadi “perang”, maka negara-negara lain bisa menafsirkan hal ini sebagai sinyal pergeseran strategi nasional menuju sikap yang lebih agresif.
Dari perspektif keamanan internasional, langkah ini tergolong sensitif karena bahasa bukan sekadar simbol, tetapi juga representasi dari cara suatu negara berpikir dan bertindak. Dalam diplomasi global, pilihan istilah dapat membentuk citra dan menentukan arah kebijakan luar negeri. Negara yang menonjolkan istilah “pertahanan” umumnya dipersepsikan sebagai negara yang berhati-hati dan berorientasi stabilitas.
Sebaliknya, penggunaan istilah “perang” menimbulkan kesan siap menyerang atau mengedepankan kekuatan militer di atas diplomasi. Dengan demikian, perubahan istilah ini berpotensi memperburuk kepercayaan antarnegara dan memunculkan security dilemma kondisi di mana upaya satu negara untuk memperkuat keamanannya justru dianggap sebagai ancaman oleh negara lain.
Teori Konstruktivisme dalam hubungan internasional membantu menjelaskan dinamika ini. Menurut pandangan konstruktivis seperti Alexander Wendt, identitas dan perilaku negara dibentuk oleh ide, wacana, dan simbol. Bahasa memiliki kekuatan untuk mengonstruksi realitas politik.
Maka, ketika Trump memilih untuk mengganti “defense” menjadi “war”, ia sebenarnya sedang membangun ulang identitas Amerika di mata dunia dari guardian of peace menjadi war-ready power. Dunia internasional akan merespons perubahan ini bukan hanya secara rasional, tetapi juga secara simbolik, melalui tafsir terhadap niat dan citra Amerika Serikat.
Donald Trump dikenal sebagai pemimpin yang gemar mengguncang tatanan lama. Sejak awal masa pemerintahannya, ia kerap menggunakan retorika agresif, baik terhadap sekutu maupun rival. Dalam konteks ini, pengembalian nama Department of War tidak hanya mencerminkan strategi komunikasi politik, tetapi juga kesinambungan dari gaya kepemimpinan Trump yang mengutamakan kekuatan keras (hard power). Dengan ini, Trump mungkin ingin menegaskan bahwa Amerika Serikat siap menyerang siapa pun yang dianggap mengancam kepentingannya sebuah pesan yang jelas sekaligus menegangkan bagi dunia internasional.
Namun, perlu dicatat bahwa perubahan ini juga bisa dimaknai secara administratif dan simbolis semata. Secara historis, Department of Defense memang telah lama menjalankan operasi ofensif di berbagai wilayah dunia dari invasi Irak, intervensi Afghanistan, hingga operasi udara di Suriah. Jadi, perubahan nama ini bisa dianggap hanya sebagai pengakuan atas realitas yang sudah lama ada: bahwa Amerika tidak sekadar “bertahan”, melainkan juga “menyerang” demi mempertahankan pengaruhnya.
Meskipun demikian, dari sisi hukum, perintah eksekutif Trump belum tentu memiliki kekuatan tetap. Perubahan nama lembaga negara secara sah memerlukan persetujuan Kongres. Dalam hal ini, keputusan Trump hanya menjadikan “Department of War” sebagai secondary title atau sebutan tambahan. Namun karena situs resmi pemerintah sudah mencantumkan perubahan tersebut, publik menganggapnya sebagai keputusan final. Beberapa anggota Kongres dari Partai Demokrat menilai kebijakan ini sebagai bentuk provokasi politik, sedangkan sebagian dari Partai Republik melihatnya sebagai strategi untuk memperkuat semangat nasionalisme Amerika menjelang pemilu berikutnya.
Pada akhirnya, keamanan internasional tidak hanya ditentukan oleh jumlah senjata atau kekuatan militer, tetapi juga oleh bahasa, simbol, dan niat politik yang dikomunikasikan kepada dunia. Jika Amerika kini kembali menggunakan istilah “Departemen Perang (Department of War)”, maka pesan yang diterima dunia pun ikut berubah. Dunia saat ini tidak membutuhkan lebih banyak negara yang siap berperang, tetapi lebih banyak negara yang berani menjaga perdamaian. Karena itu, semestinya para pemimpin dunia memahami bahwa setiap kata yang mereka pilih membawa konsekuensi bukan hanya bagi reputasi negaranya, tetapi juga bagi masa depan keamanan global.
Keputusan Trump, apa pun motif di baliknya, menjadi pengingat bahwa dalam hubungan internasional, kata-kata dapat memicu perang sama kuatnya dengan peluru.