Kecerdasan Buatan (AI) sebagai Pedang Bermata Dua dalam Panggung Keamanan Global
Penulis : Abib Bagia Ahmad mahasiswa Hubungan Internasional,
Perkembangan mutakhir dalam teknologi Kecerdasan Buatan (AI) telah melampaui batas fiksi ilmiah dan kini menjadi kekuatan transformatif yang membentuk setiap aspek kehidupan, termasuk isu krusial keamanan internasional. Dalam konteks ini, AI digambarkan sebagai pedang bermata dua, Di satu sisi, AI menjanjikan solusi revolusioner seperti kemampuan menganalisis data intelijen dalam volume masif (Big Data) pada kecepatan super-cepat, meningkatkan akurasi identifikasi ancaman, dan membangun sistem pertahanan siber yang jauh lebih tangguh, yang berpotensi meningkatkan efisiensi dan efektivitas pertahanan nasional. Namun, di sisi lain, kemajuan yang sama ini membawa ancaman yang jauh lebih kompleks dan berpotensi destruktif dibandingkan dengan teknologi militer konvensional mana pun yang pernah ada. Penggunaan AI yang tidak terkontrol membawa risiko katalis bagi konflik, mengancam kestabilan geopolitik, dan mengikis fondasi kepercayaan masyarakat sipil. Analisis mendalam menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan lagi terletak pada pengembangan AI itu sendiri, melainkan pada tata kelola global, etika, dan kecepatan adaptasi kerangka hukum untuk mengendalikan kekuatan yang dilepaskannya. Inilah yang menuntut perhatian serius, terkoordinasi, dan proaktif dari para pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat global.
- Perlombaan Senjata Otonom: LAWS dan Risiko Eskalasi Konflik
Ancaman paling nyata dari AI terhadap stabilitas global terletak pada perlombaan senjata berbasis kecerdasan buatan, yang secara khusus berpusat pada pengembangan Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS), atau Lethal Autonomous Weapon Systems. LAWS didefinisikan sebagai sistem senjata yang mampu mengidentifikasi, memilih, dan menyerang target tanpa adanya intervensi atau kontrol manusia. Daya tarik LAWS bagi kekuatan militer terletak pada efisiensi, presisi, dan kecepatan. LAWS dapat beroperasi di lingkungan berbahaya, mengurangi risiko personel manusia, dan membuat keputusan taktis dalam hitungan milidetik, kecepatan yang tidak mungkin ditandingi oleh komandan manusia. Negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, adalah motor utama di balik perlombaan ini, melihat LAWS sebagai penentu dominasi militer masa depan.
Namun, kemampuan otonom ini justru menciptakan risiko eskalasi konflik yang tak disengaja (accidental escalation). Jika sebuah sistem otonom mengalami kesalahan algoritma, atau gagal dalam identifikasi target (mis-identification), hal itu dapat memicu serangan yang tidak dikehendaki, berujung pada korban sipil yang tidak perlu (collateral damage) atau bahkan friendly fire. Kesalahan tunggal ini berpotensi memperbesar dampak destruktif dalam konflik dan memicu respons balasan dari pihak lawan, mengubah insiden kecil menjadi konflik skala penuh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah terciptanya skenario Flash War, di mana kecepatan pengambilan keputusan oleh mesin memperpendek waktu yang tersedia bagi para pemimpin politik dan militer untuk de-eskalasi. Keputusan strategis krusial berisiko diserahkan kepada logika mesin, secara signifikan meningkatkan potensi salah perhitungan di antara kekuatan nuklir atau militer besar, yang dapat berujung pada transisi yang cepat menuju perang yang tidak dapat diubah.
Selain risiko teknis, penggunaan LAWS menghadirkan dilema etika mendasar. LAWS berpotensi mengikis ambang batas konflik karena risiko bagi prajurit manusia terasa berkurang. Perang menjadi lebih mudah dilancarkan ketika risiko korban jiwa domestik berkurang, yang pada akhirnya dapat mendorong para pemimpin untuk lebih cepat mengambil keputusan militer. LAWS juga menimbulkan krisis akuntabilitas (accountability gap): jika sebuah senjata otonom melakukan kejahatan perang, siapa yang bertanggung jawab? Apakah programmer, produsen, komandan, atau mesin itu sendiri? Ketiadaan jawaban yang jelas mengaburkan tanggung jawab moral dan hukum, sebuah perkembangan yang mengancam prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional. Dengan demikian, LAWS bukan hanya ancaman militer, tetapi juga tantangan etika dan kemanusiaan yang mendalam.
- Ancaman Hibrida dan Digital: Peperangan Siber Berbasis AI dan Deepfake
Di luar medan tempur konvensional, AI juga merupakan senjata utama dalam peperangan hibrida yang beroperasi di ranah digital dan kognitif. Ancaman ini memiliki dua dimensi utama: serangan siber yang dipercepat oleh AI dan kampanye disinformasi melalui deepfake.
- AI dalam Serangan Siber yang Dipercepat
Peperangan siber memasuki era baru dengan munculnya AI Agentik (Agentic AI). Algoritma AI kini digunakan untuk mengotomatisasi serangan siber secara mandiri untuk mencari, mengeksploitasi, dan menargetkan kerentanan dalam sistem pertahanan atau infrastruktur vital (seperti jaringan energi, komunikasi, dan keuangan). Serangan ini dapat terjadi dalam skala dan kecepatan yang mustahil dilakukan oleh tim peretas manusia. AI dapat menganalisis triliunan baris kode untuk menemukan zero-day vulnerabilities (kerentanan yang belum diketahui), merancang malware yang secara otomatis beradaptasi untuk menghindari deteksi, dan melakukan spear-phishing yang sangat personal dan meyakinkan. Kemampuan ini memungkinkan aktor negara atau kriminal untuk menargetkan seluruh sektor industri atau infrastruktur nasional secara simultan. Serangan siber yang digerakkan oleh AI menciptakan dilema pertahanan, karena waktu yang tersedia untuk mendeteksi dan merespons ancaman diperpendek dari hitungan hari atau jam menjadi hitungan menit. Negara-negara yang memiliki kemampuan AI pertahanan yang unggul akan memiliki keunggulan strategis yang besar.
- Deepfake, Disinformasi, dan Erosi Kepercayaan
Selain serangan infrastruktur, AI generatif memicu krisis yang menyerang fondasi masyarakat: krisis epistemik. AI mempermudah penciptaan konten yang sangat meyakinkan, seperti video dan audio deepfake dari kepala negara atau tokoh penting. Kampanye disinformasi yang menggunakan deepfake kini dapat ditargetkan secara hiper-spesifik, memanipulasi opini publik, mengganggu proses demokrasi, dan bahkan memicu krisis diplomatik hingga konflik bersenjata sebelum kebenaran dapat diverifikasi.
Studi kasus terbaru mengilustrasikan betapa seriusnya ancaman ini:
Manipulasi Finansial Skala Besar (Global): Salah satu kasus paling mencolok terjadi di Hong Kong, di mana seorang karyawan perusahaan multinasional ditipu hingga mentransfer $25 juta (sekitar Rp400 miliar) setelah menghadiri rapat virtual palsu. Penipu menggunakan teknologi deepfake untuk meniru wajah dan suara Chief Financial Officer (CFO) dan beberapa kolega lainnya, memberikan instruksi transfer dana yang tampaknya sah. Keberhasilan penipuan ini menunjukkan bahwa deepfake telah menjadi alat social engineering yang sangat efektif, melampaui kemampuan penipuan konvensional.
Interferensi Politik dan Pemilu (Slovakia): Pada Pemilu Parlemen Slovakia 2023, beredar rekaman audio deepfake yang meniru suara kandidat terkemuka, di mana mereka seolah-olah membahas praktik korupsi. Rekaman palsu ini disebar hanya beberapa hari sebelum pemilihan, berpotensi memengaruhi keputusan pemilih dan menunjukkan bagaimana deepfake telah menjadi senjata non-militer yang efektif untuk mengganggu proses demokrasi suatu negara.
Ancaman Domestik dan Penipuan Massal (Indonesia): Di Indonesia, telah muncul kasus-kasus penipuan yang mencatut wajah dan suara tokoh publik, seperti calon presiden dan pejabat negara, untuk menyebarkan penawaran bantuan uang palsu. Meskipun kasus-kasus ini fokus pada penipuan finansial domestik, keberhasilan manipulasi citra tokoh penting menunjukkan kerentanan masyarakat terhadap teknologi ini.
Ancaman ini menciptakan Erosi Kepercayaan. Ketika publik tidak dapat lagi membedakan antara video atau audio asli dan palsu, kredibilitas media, pemerintah, dan bahkan saksi mata hancur. Ini menciptakan lingkungan yang subur bagi polarisasi, ekstremisme, dan ketidakstabilan sosial, yang pada akhirnya merusak keamanan nasional.
III. Tantangan Tata Kelola Global dan Kesenjangan Teknologi
Masalah mendasar yang memperburuk ancaman AI adalah ketiadaan kerangka regulasi internasional yang mengikat mengenai pengembangan dan penggunaan AI, terutama dalam konteks militer. Tantangan Tata Kelola Global terletak pada kecepatan teknologi yang jauh melebihi kecepatan diplomasi. Diskusi di forum-forum penting, seperti Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW), seringkali terhenti tanpa konsensus kuat. Negara-negara penentang utama LAWS menganjurkan pelarangan total atau penerapan konsep Human Meaningful Control (HMC), sementara negara-negara pengembang enggan melepaskan keunggulan kompetitif militer mereka. Ketiadaan regulasi yang seragam mendorong perlombaan menuju standar etika terendah (race to the bottom) di mana efisiensi militer lebih diutamakan daripada pertimbangan etika.
Selain itu, terdapat kekhawatiran serius mengenai kesenjangan teknologi yang menciptakan ketidaksetaraan kekuatan global yang baru. Pengembangan AI memerlukan investasi besar dalam infrastruktur komputasi, data, dan talenta. Negara-negara yang tertinggal dalam perlombaan ini, khususnya negara-negara berkembang, berisiko kehilangan kedaulatan digital dan keamanan nasional mereka karena ketergantungan pada platform dan sistem AI yang dikembangkan oleh segelintir kekuatan global. Kesenjangan ini menciptakan bentuk neo-kolonialisme digital baru, di mana kontrol atas algoritma dan data sama kuatnya dengan kontrol atas sumber daya alam.
- Kesimpulan dan Jalan ke Depan: Mendesak Kontrol dan Etika Global
Ancaman multifaset AI terhadap keamanan internasional menuntut tanggapan global yang terkoordinasi dan proaktif yang harus melampaui kepentingan nasional. Beberapa langkah mendesak yang harus dipertimbangkan komunitas internasional meliputi:
Regulasi LAWS yang Komprehensif: Komunitas internasional harus meningkatkan upaya untuk mencapai perjanjian yang mengikat secara hukum mengenai LAWS, baik berupa pelarangan total atau penetapan standar minimal Human Meaningful Control yang ketat, untuk memastikan bahwa keputusan hidup dan mati tetap berada di tangan manusia.
Kolaborasi Riset Etis dan Keamanan Siber: Harus ada peningkatan kerja sama riset internasional untuk menjamin standar etika dan keamanan (safety and security) dalam pengembangan AI. Ini termasuk mengembangkan teknologi pendeteksi deepfake yang lebih canggih dan menerapkan audit algoritmik untuk mencegah bias dan malfungsi yang dapat memicu konflik.
Penguatan Keamanan Siber Nasional dan Global: Negara-negara harus memperkuat kemampuan keamanan siber mereka, fokus pada sistem AI yang bersifat tahan banting (resilient) terhadap serangan AI agentik, dan mengembangkan firewall kognitif dalam masyarakat melalui literasi digital yang masif untuk melawan disinformasi deepfake.
AI adalah teknologi yang tak terhindarkan, namun masa depannya tidak boleh diserahkan hanya pada kecepatan inovasi. Seluruh masyarakat global, dari pengembang, akademisi, regulator, hingga politisi harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kecerdasan buatan menjadi alat untuk memelihara perdamaian, meningkatkan kualitas hidup, dan memperkuat keamanan, bukan untuk mempercepat kehancuran. Tanpa kontrol yang jelas dan komprehensif, AI akan tetap menjadi pedang bermata dua yang siap menusuk stabilitas dan keamanan dunia, menciptakan era ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia.
