Keamanan Manusia dalam Ancaman Perubahan Iklim
Keamanan Manusia dalam Ancaman Perubahan Iklim

Penulis : Wahyu Rifqi Febrian (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Keamanan internasional merujuk pada upaya yang dilakukan oleh aktor internasional untuk kesejahteraan politik, sosial, dan ekonomi dari ancaman internal atau eksternal. Dalam beberapa dekade ke belakang, isu tentang keamanan masih berpusat pada potensi konflik militer antar-negara atau biasa disebut ancaman tradisional. Namun, Barry Buzan mempertanyakan kembali definisi keamanan yang menurutnya sudah tidak terlalu relevan di era modern jika hanya berbicara tentang potensi konflik militer. Menurut Buzan, dalam pengertian yang lebih modern, keamanan lebih berfokus pada aktor non-negara dan ancaman non-militer. Dalam perkembangannya, berbagai isu keamanan mulai meluas, salah satunya tentang potensi ancaman keamanan dari perubahan iklim.

Dampak dari perubahan iklim kian besar dan meluas. Dalam diskursus keamanan internasional, perubahan iklim berpotensi memicu kerentanan, ketidakstabilan, dan konflik dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dampaknya secara langsung menggerus fondasi keamanan manusia. Perubahan iklim adalah ancaman yang tidak hanya mengancam kedaulatan teritorial, tetapi juga mengancam ketersediaan makanan, air, mata pencaharian, dan bahkan hak untuk hidup. Oleh karena itu, isu perubahan iklim harus menjadi perhatian serius dalam setiap diskusi tentang keamanan manusia. Perubahan iklim dapat dianggap sebagai ancaman keamanan manusia dan internasional melalui tekanan sumber daya (resource stress), migrasi paksa, dan ketidakstabilan politik.

Tekanan Sumber Daya (Resource Stress)

Kenaikan suhu global dan perubahan iklim dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya vital, terutama sumber terhadap air bersih. Hal ini tentunya dapat menyebabkan berbagai masalah serius, seperti meningkatnya resiko kesehatan terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam kasus serupa yang terjadi di negara Kiribati, fasilitas WASH (water, sanitation, and hygiene) rusak parah dan situasi ini memaksa perempuan, yang bertanggung jawab mengelola air di rumah tangga, untuk mencari sumber air lebih jauh sehingga mengorbankan banyak waktu untuk merawat anak atau usaha kecil mereka. Di sisi anak, khususnya balita dan anak perempuan, kekurangan akses air bersih memicu meningkatnya diare dan penyakit menular lainnya, sehingga menambah beban perawatan di dalam keluarga.

Tidak hanya daerah Pasifik, laporan World Resources Institute juga mengungkapkan bahwa 25 negara kini menghadapi tekanan air yang sangat tinggi, dimana lebih dari 80% pasokan air tahunan mereka telah digunakan untuk pertanian, industri, dan kebutuhan domestik. Masalah ini bukan hanya menghambat produksi pangan, tetapi juga meningkatkan potensi konflik antarkomunitas karena perebutan sumber daya. Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan juga nyata. Food and Agriculture Organization melaporkan bahwa hasil panen global padi, gandum, dan jagung menurun hingga 5–10% akibat perubahan pola iklim ekstrem, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai ratusan miliar dolar setiap tahun. Di tingkat mikro, jutaan petani kecil terancam kehilangan pendapatan, memaksa mereka berpindah pekerjaan atau bahkan bermigrasi ke wilayah urban dan tekanan semacam ini memperburuk ketimpangan sosial.

Dari perspektif keamanan manusia, tekanan sumber daya menandakan bahwa ancaman iklim bukan sekadar isu lingkungan, melainkan juga isu eksistensial. Kekurangan air dapat memicu persaingan antarwilayah, kekurangan pangan memicu kerusuhan sosial, dan ketergantungan energi fosil membuat negara terjebak dalam krisis ekonomi ketika harga global melonjak. Diperlukan berbagai solusi seperti pembangunan infrastruktur air yang adaptif, inovasi pertanian tahan iklim, investasi energi terbarukan, serta kebijakan distribusi pangan yang adil untuk. Tanpa upaya semacam ini, perubahan iklim akan memperluas kesenjangan dan menurunkan kapasitas negara dalam melindungi rakyatnya.

Migrasi Paksa

Perubahan iklim kini menjadi salah satu pendorong terbesar migrasi manusia di abad ke-21. World Bank dalam laporan “Groundswell Report” (2023) memperkirakan bahwa lebih dari 216 juta orang berpotensi terpaksa bermigrasi di dalam wilayah mereka sendiri sebelum tahun 2050 akibat dampak perubahan iklim. Termasuk kekeringan panjang, kenaikan permukaan laut, dan bencana ekstrem. Di Asia Timur dan Pasifik, diperkirakan 49 juta orang akan menjadi pengungsi iklim, sementara di Afrika Sub-Sahara jumlahnya bisa mencapai 86 juta. Angka-angka ini menunjukkan bahwa migrasi paksa bukan lagi fenomena marginal, melainkan gelombang demografis yang akan membentuk geopolitik masa depan. 

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) kini mulai secara eksplisit mengakui pengungsi iklim sebagai langkah awal dalam perspektif keamanan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim mulai meningkat drastis dan dapat membahayakan keamanan manusia itu sendiri. Negara kepulauan Pasifik seperti Tuvalu dan Kiribati menghadapi ancaman eksistensial karena tenggelam, memicu kekhawatiran tentang kedaulatan dan permukiman kembali dalam skala besar. Migrasi yang masif jika tidak dikelola dengan baik oleh mekanisme internasional, dapat menimbulkan ketegangan besar di negara-negara penerima, bahkan berpotensi memicu xenophobia dan ketidakamanan perbatasan, sebagaimana dikhawatirkan di sebagian Eropa dan Asia.

Di Indonesia sendiri, ancaman migrasi iklim juga mulai terlihat. Kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2024 menyebutkan bahwa sekitar 199 ribu penduduk pesisir utara Jawa berpotensi terdampak langsung oleh rob dan abrasi yang dipicu oleh kenaikan muka laut. Sementara di wilayah Nusa Tenggara Timur, kekeringan ekstrim memaksa ribuan keluarga berpindah ke kota besar untuk mencari penghidupan baru. Migrasi paksa ini berdampak pada tekanan ekonomi dan sosial meningkat di wilayah tujuan, sementara desa asal mengalami kehilangan sumber daya manusia produktif.

Ketidakstabilan Politik

Bencana ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti Badai Katrina di AS atau Topan Haiyan di Filipina menunjukkan bagaimana satu peristiwa cuaca dapat melumpuhkan infrastruktur penting, melumpuhkan ekonomi, dan menguji kemampuan negara untuk menyediakan keamanan dasar bagi warganya. Di negara-negara berkembang, kerentanan ini diperparah oleh tata kelola yang lemah dan ketergantungan pada sektor berbasis alam. Dalam teori security, ketika negara gagal menyediakan keamanan dasar seperti makanan, air, perlindungan. Legitimasi dan stabilitasnya akan runtuh, membuka ruang bagi aktor non-negara atau kelompok ekstremis untuk beroperasi.

Menurut laporan United Nations Development Programme tahun 2023, lebih dari 40% konflik bersenjata sejak 1950-an terjadi di wilayah yang rentan terhadap tekanan iklim dan degradasi lingkungan. Hal ini membuktikan bahwa perubahan iklim tidak menciptakan konflik secara langsung, tetapi memperkuat kondisi yang memicunya seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kegagalan tata kelola.

Contoh paling jelas terjadi di Suriah pada awal 2010-an. Kekeringan panjang antara 2006–2010 menghancurkan hasil pertanian, memaksa lebih dari satu juta petani bermigrasi ke kota-kota besar seperti Aleppo dan Damaskus. Ketika pemerintah gagal menanggapi krisis dengan efektif, frustrasi sosial meningkat dan memicu protes yang kemudian bereskalasi menjadi perang saudara. Studi oleh Center for Climate and Security pada tahun 2022 menegaskan bahwa perubahan iklim menjadi penyebab tidak langsung dari konflik tersebut. Fenomena serupa berpotensi muncul di wilayah Sahel, Afrika, dimana penurunan curah hujan dan degradasi padang rumput meningkatkan ketegangan antara petani dan penggembala, menciptakan ruang bagi kelompok ekstremis untuk memperluas pengaruh.

Dari sisi global, ketidakstabilan akibat iklim menimbulkan efek domino seperti migrasi lintas-batas yang meningkat mempengaruhi kebijakan domestik negara lain, memunculkan sentimen anti-imigran, dan memperkeruh hubungan diplomatik. Dengan demikian, perubahan iklim sudah seharusnya dipandang sebagai ancaman serius bagi fondasi keamanan internasional.

Perubahan iklim kini tidak hanya sekedar isu lingkungan semata dan kini berdiri sebagai ancaman keamanan manusia yang paling nyata saat ini. Ancaman ini terus merusak prinsip fundamental manusia untuk hidup melalui tekanan sumber daya, migrasi paksa, hingga ketidakstabilan politik suatu negara. Sangat penting bagi kita untuk menggeser fokus keamanan dari ancaman tradisional ke fokus ancaman non-tradisional seperti perubahan iklim. Mengabaikan perubahan iklim berarti mengabaikan potensi hilangnya hak asasi manusia.

Jika dahulu konsep keamanan identik dengan kekuatan militer dan pertahanan teritorial, maka kini ancaman datang dalam bentuk yang lebih halus namun jauh lebih destruktif seperti kenaikan suhu global, krisis sumber daya, migrasi massal, dan ketidakstabilan politik yang mengakar dari tekanan lingkungan. Dengan demikian, perubahan paradigma menuju keamanan manusia harus menjadi inti dari setiap kebijakan iklim, baik di tingkat nasional maupun internasional. Krisis iklim tidak mengenal batas negara, maka solusinya pun harus bersifat lintas-batas, kolaboratif, dan berpihak pada kemanusiaan. Karena pada akhirnya, menjaga bumi berarti menjaga masa depan manusia itu sendiri.