Keamanan Bukan Lagi Soal Perang: Pandemi dan Kerapuhan Sosial Dunia Modern
Penulis : Salman Alfarisi, mahasiswa hubungan internasional
Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa paling mengguncang dalam sejarah modern. Pasalnya bukan hanya mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan berinteraksi, tetapi juga mengguncang tatanan keamanan internasional yang selama ini dianggap kokoh. Dunia mendadak menyadari bahwa ancaman terhadap keamanan tidak selalu datang dari perang atau senjata nuklir, melainkan bisa datang dari sesuatu yang tak terlihat secara kasat mata. Virus kecil yang melintasi batas negara tanpa izin dan tanpa paspor.
Situasi ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang keamanan global. Selama puluhan tahun keamanan ditandai dengan kekuatan atau kemampuan militer dan pertahanan wilayah. Namun sepanjang 2020, Covid-19 membalik semua pandangan tersebut. Ancaman masa depan terhadap keamanan manusia semakin beragam motifnya yang coraknya berasal dari faktor non tradisional, seperti wabah penyakit, perubahan iklim, migrasi, hingga disinformasi. Pandemi membuktikan bahwa alat pertahanan seperti tank dan rudal tidak berguna dalam membinasakan virus yang menyebar lewat udara. Amerika Serikat, China, hingga negara-negara Eropa yang kuat akan militernya pun tidak mampu menahan derasnya gelombang kematian dan krisis ekonomi yang diakibatkannya.
Dapat dibayangkan betapa ironisnya ketika pandemi yang seharusnya menjadi momentum untuk membentuk solidaritas global, justru memperuncing rivalitas geopolitik. Seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang saling menuding soal asal-usul virus dan saling berkompetisi dalam ekspansi pengaruh di dunia dengan memberikan bantuan medis.
Fenomena ini menandakan bahwa kerja sama multilateral yang menjadi fondasi tatanan dunia liberal pasca perang dingin mulai goyah. Bahkan di Eropa semangat solidaritas sempat memudar. Negara-negara anggota Uni Eropa terlihat berebut alat medis dan vaksin di awal pandemi. Banyak pihak yang kemudian mempertanyakan tentang efektivitas lembaga internasional seperti WHO dan PBB yang dianggap terlalu lambat dalam merespons krisis global. Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2020 mengakui bahwa pandemi telah menyebarkan dampak mendalam pada perdamaian dan keamanan dunia, memicu ekstremisme, populisme, dan disinformasi. Situasi ini memperlihatkan bahwa ancaman global seperti pandemi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ujian terhadap kepercayaan dan solidaritas antar negara.
Dalam dimensi ekonomi, pandemi menelanjangi sistem global yang saling ketergantungan. Kebijakan seperti isolasi mandiri atau lockdown diterapkan oleh banyak negara sehingga aktivitas ekonomi mulai tersendat. Ketika pabrik-pabrik China berhenti beroperasi, rantai pasok di seluruh dunia ikut lumpuh. Banyak negara kemudian sadar bahwa ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada satu kawasan merupakan risiko keamanan tersendiri. Karena itu muncul kebijakan baru seperti reshoring atau diversifikasi rantai pasok untuk memastikan kemandirian ekonomi nasional. Kemudian pada masa pandemi tengah berlangsung, teknologi seperti internet adalah solusi kebuntuan dari hampa nya kerumunan. Siapapun bisa menggelar pertemuan tanpa harus melanggar peraturan yang berlaku. Internet adalah jembatan penghubung bertemunya manusia dari manapun. Di masa yang bersamaan, AS dan China tengah bersaing dalam bidang teknologi, khususnya dalam produksi chip semikonduktor dan sumber daya strategis lainnya. Persaingan ekonomi pun menjadi bentuk baru dari perang dingin abad ke 21, yaitu arena pertarungan untuk menguasai infrastruktur digital dan teknologi masa depan.
Persaingan infrastruktur digital tidak meninggalkan dampak buruk yang akan datang di kemudian hari. Secara tidak langsung, pandemi juga mempercepat lahirnya medan konflik baru, yaitu ruang siber. Ketika seluruh aktivitas manusia mulai memadati ruang dunia digital, ancaman keamanan pun ikut bergeser. Serangan siber terhadap rumah sakit, lembaga penelitian vaksin, hingga institusi pemerintahan meningkat drastis. Mengutip dari Open Research Europe (Bilal dkk, 2023), menunjukan bahwa disinformasi tentang pandemi telah memperburuk krisis kepercayaan publik dan memperlemah respons kebijakan di banyak negara. Hal ini disebabkan oleh masifnya penggunaan dunia maya dan banjirnya informasi, sehingga menciptakan ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat, disini negara cukup lemah dalam mengontrol hal tersebut sehingga disinformasi bisa dengan mudah masuk dan mencuri akal rasional masyarakat yang mengkonsumsi informasinya.
Di luar persoalan geopolitik dan ekonomi, pandemi juga membawa luka sosial yang mendalam di banyak negara. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, sistem pendidikan terganggu, dan kesenjangan sosial semakin melebar. Dilansir dari World Bank, diperkirakan terdapat 70 juta orang terperosok kedalam jurang kemiskinan ekstrem akibat pandemi. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis kemanusiaan yang mengguncang fondasi sosial masyarakat global. Mereka yang hidup di negara berpenghasilan rendah dan pekerja sektor informal menjadi kelompok paling rentan. di sinilah pandemi memperlihatkan ketimpangan struktural antara negara kaya dan negara berkembang, tidak hanya persoalan distribusi vaksin, tetapi juga dalam akses terhadap layanan dasar dan jaminan sosial.
Pandemi juga mengubah cara manusia memandang keamanan hidup sehari-hari. Selama ini keamanan dipandang sebagai upaya perlindungan dari ancaman eksternal, kini maknanya meluas menjadi jaminan atas keberlangsungan hidup, termasuk kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan. Ketika rumah sakit penuh, pekerjaan hilang, dan anak-anak tidak bisa bersekolah, rasa aman masyarakat runtuh meskipun negara mereka tidak sedang berperang. Dalam konteks inilah muncul kembali relevansi konsep human security, yaitu
keamanan yang orientasinya manusia, bukan pada kekuasaan negara. Hal ini menjadi pengingat bahwa keamanan kesehatan dan sosial harus ditempatkan sejajar dengan keamanan militer, karena keduanya menentukan stabilitas suatu negara.
Dalam konteks global, perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi juga memberi implikasi jangka panjang terhadap keamanan internasional. Ketika dunia beralih ke sistem digital, aktivitas ekonomi berbasis di rumah, dan pendidikan jarak jauh, muncul realitas baru, yaitu keamanan manusia saat ini berkaitan erat dengan ketahanan teknologi dan sosial. Masyarakat yang tidak memiliki akses internet atau fasilitas kesehatan yang layak berpotensi menjadi kelompok paling rentan terhadap eksklusi sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, pandemi tidak hanya mengguncang keamanan global, tetapi juga membentuk ulang struktur sosial dunia.
Dibalik carut marutnya pandemi yang mengguncang dunia, pandemi juga meninggalkan warisan penting, yaitu kesadaran bahwa keamanan tidak bisa dibangun hanya dengan kekuatan, tetapi dengan empati dan kesiapsiagaan sosial. Banyak negara kini mulai meninjau ulang kebijakan nasional mereka untuk memasukkan unsur ketahanan masyarakat, termasuk kesiapan sistem kesehatan, pendidikan, dan jaringan sosial. Langkah-langkah seperti ini menunjukkan kesadaran melalui pergeseran arah kebijakan dari yang berorientasi mempertahankan negara menuju mempertahankan keberlangsungan hidup manusia di dalamnya. Meski dunia tampak pulih, kenyataannya pandemi telah mengubah segalanya. Dunia tidak akan pernah kembali normal seperti sedia kala sebelum covid menjalar. Pandemi Covid-19 menjadi titik balik sejarah yang memaksa negara-negara menata ulang prioritas keamanan mereka. Ancaman masa depan bukan hanya perang, melainkan juga ketimpangan sosial, kerentanan ekonomi, dan krisis kepercayaan publik. Karena itu, masa depan keamanan internasional bergantung pada kemampuan dunia untuk menyeimbangkan kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power).
Dalam lanskap global yang penuh ketidakpastian ini, keamanan internasional masa depan akan ditentukan bukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi oleh siapa yang paling siap. Siapa yang mampu memastikan rakyatnya tetap sehat, bekerja, belajar, dan merasa aman di tengah krisis. Pandemi telah menjadi pengingat keras bahwa dunia modern yang saling terhubung ini hanya sekuat simpul sosial yang mengikatnya. Ketika simpul itu rapuh, seluruh jaringan ikut runtuh. Maka, ketika kita menatap masa depan, sudah saatnya dunia mengubah cara berpikir tentang keamanan. Ini bukan lagi urusan senjata atau perbatasan, melainkan soal keberlangsungan hidup manusia. Sebab pada akhirnya, tidak ada artinya keamanan nasional jika masyarakat di dalamnya hidup dalam ketakutan, kesenjangan, dan ketidakpastian.
DAFTAR PUSTAKA
Bilal, A. dkk (2023). Comprehensive security, disinformation, and COVID-19: An analysis of the impact of mis- and disinformation and populist narratives during the pandemic. Open
Research Europe. 1-16.
Malik, S.M., Barlow, A., Johnson, B. (2021). Reconceptualising health security in post-COVID-19 world. BMJ Global Health. 1-6.
Nurhasanah, S., Napang, M., Rohman, S. (2020). COVID-19 As A Non-Traditional Threat To Human Security. Journal of Strategic and Global Studies. 3(1). 54-66.
Matthias Rog, (2020). Covid-19: The Pandemics and its Impact on Security Policy.
NDUPress.https://ndupress.ndu.edu/Media/News/News-Article-View/Article/2217675/covid-9
-the-pandemic-and-its-impact-on-security-policy/.
Megan Gates, (2025). Five Years Later: Security in a post-COVID World. Security Management Magazine.
https://www.asisonline.org/security-management-magazine/articles/2025/03/pandemic-readin ess/post-covid-security/
Agung P Vazza, (2021). Rivalitas di Gelombang Pandemi. Republika.
https://www.republika.id/posts/16717/rivalitas-di-gelombang-pandemi
Lønborg, J. H., Viveros, M., Castaneda Aguilar, R. A., Lakner, C., Lara Ibarra, G., Nguyen,
- C., & Tetteh Baah, S. K. (2025, June 5). June 2025 global poverty update from the World Bank: 2021 PPPs and new country-data. World Bank Blogs.
https://blogs.worldbank.org/en/opendata/june-2025-global-poverty-update-from-the-world-ba nk--2021-ppps-a
