Keadilan Gender dalam Tata Kelola Demokrasi : Studi atas Kiprah Perempuan di Penyelenggara Pemilu
Keadilan Gender dalam Tata Kelola Demokrasi : Studi atas Kiprah Perempuan di Penyelenggara Pemilu

Berita FISIP. Jumat, 31 Oktober 2025. Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali mengadakan Bincang Alumni #9 pada Jumat, 31 Oktober 2025 secara daring melalui Zoom Meeting. Kegiatan ini mengangkat tema “Keadilan Gender dalam Tata Kelola Demokrasi: Studi atas Kiprah Perempuan di Penyelenggara Pemilu” dan menghadirkan narasumber Masayu Fitria, M.Sos, alumni Ilmu Politik yang saat ini aktif sebagai ASN di Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI. Acara ini dipandu oleh Annisa Aristawidya, mahasiswa Ilmu Politik yang turut memantik jalannya diskusi agar lebih interaktif dan mendalam.

Dalam pemaparannya, Masayu Fitria menyoroti bagaimana hak politik perempuan tidak hanya sebatas pada keterwakilan di parlemen, tetapi juga pada peran strategis dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Ia menjelaskan bahwa perempuan memiliki potensi besar dalam memperkuat tata kelola pemilu yang berintegritas, tetapi masih menghadapi hambatan struktural dan kultural yang membatasi ruang geraknya. Hambatan tersebut mencakup bias gender yang menempatkan perempuan pada ranah domestik, minimnya pengetahuan teknis terkait pemilu, dan keterbatasan akses terhadap jejaring politik.

Lebih lanjut, Masayu memperkenalkan pendekatan mubadalah atau kesalingan yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Kodir sebagai cara pandang alternatif dalam membangun relasi gender yang setara. Prinsip ini menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam tanggung jawab publik maupun domestik, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu. Ia menegaskan bahwa ketika perempuan diberikan ruang yang sama, mereka mampu berkontribusi secara signifikan dalam memperkuat nilai-nilai keadilan dan empati di dalam proses demokrasi. Namun, selama konstruksi sosial masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat, maka perjuangan menuju kesetaraan akan terus menghadapi hambatan.

Sesi diskusi berlangsung dengan interaktif. Beberapa mahasiswa menyoroti pentingnya kebijakan afirmatif dalam memperkuat posisi perempuan di lembaga publik, sementara peserta lain menanyakan bagaimana perempuan dapat mengatasi stereotip dan tekanan sosial saat bekerja di bidang politik. Menanggapi hal tersebut, Masayu mengungkapkan bahwa perubahan membutuhkan dukungan sistemik dari lembaga, masyarakat, dan individu agar nilai kesetaraan dapat benar-benar terwujud.

Sebagai penutup, Masayu menegaskan bahwa keadilan gender harus menjadi prinsip dasar dalam setiap proses politik dan pengambilan keputusan publik. Ia berpesan agar mahasiswa Ilmu Politik tidak berhenti belajar dan terus menumbuhkan keberanian untuk terlibat aktif dalam perubahan sosial yang berpihak pada kesetaraan.

Penulis : Annisa, Mahasiswa Ilmu Politik