Jejak Karbon di Balik Algoritma: Dilema Lingkungan dalam Era AI
Penulis : Syifa Sausan (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah menjadi perbincangan dunia dalam dua dekade terakhir. AI hadir sebagi wajah baru di bidang teknologi karena terkenal cepat dan sangat membantu semua aspek kehidupan. AI dianggap sebagai pusat revolusi industri keempat karena AI bukan hanya sekedar membantu menjawab soal murid tetapi AI juga digunakan dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, pendidikan dan bahkan digunakan di dalam sistem keamanan negara. Setiap sesuatu memiliki sisi baik dan buruknya, oleh karena itu muncullah pertanyaan kritis terkait kecerdasan buatan ini : “Apakah AI benar-benar penyelamat umat manusia, atau justru bom waktu global yang siap meledak kapan saja?”
Dalam praktiknya, AI berperan besar dalam memberikan solusi kehidupan bahkan bisa lebih cepat dibandingkan dengan solusi yang diberikan oleh manusia. Contoh sederhananya adalah ketika kita ingin mendapatkan jawaban atas persoalan yang kita dapatkan secara cepat dan akurat, kita akan membuka salah satu aplikasi AI dan bertanya padanya. Alhasil dalam kurun waktu ± 2 menit kita sudah mendapatkan jawaban yang kita mau. Hal tersebut sangat mempermudah kehidupan sehari-hari. Namun, pernahkah terpikir bahwa teknologi AI yang selalu kita gunakan di era sekarang memiliki pengaruh dan dampak yang besar terhadap kelangsungan lingkungan di bumi? Artikel ini akan membahas tentang topik AI vs Lingkungan yang banyak tidak disadari oleh manusia bahwa AI memberikan dilema kepada lingkungan kesayangan kita. Kira-kira apa pengaruhnya bagi masa depan kita yang kita menaruh harapan besar di sana?. Simak opini berikut ini.
AI atau kecerdasan buatan telah menjadi sumber solusi di berbagai bidang tak terkecuali lingkungan. AI menghadirkan solusi-solusi luar biasa bagi kerusakan lingkungan yang sulit untuk diatasi sekalipun. AI bisa membantu manusia memahami data yang sangat besar dan rumit—seperti pola cuaca, emisi karbon, atau kondisi tanah. Kemampuannya untuk mendeteksi pola tersembunyi dan memprediksi hasil di masa depan sangat berguna dalam mengelola energi, pertanian, transportasi, dan banyak sistem penting lainnya. Dilansir dari UNEP, AI mengonsumsi air dalam jumlah yang besar untuk keberlangsungan sistem AI yang berjalan. Pusat data server AI menggunakan air untuk mengaktifkan server AI serta mendinginkan kompoonen listrik dan hal tersebut menimbulkan limbah elektronik yang besar dan kelangkaan air yang semakin banyak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengingat seperempat populasi manusia sudah kekurangan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Selain air, AI juga menggunakan mineral penting untuk menjalankan sistemnya, contohnya adalah penggunaan tanah untuk menggerakkan microchip yang berfungsi untuk mengaktifkan sistem AI. Tanah tersebut diambil dan ditambang dengan cara merusak lingkungan dan tidak berkelanjutan. Untuk memberikan kompleksitas pada proses perjalanan AI, pusat data AI membutuhkan lebih banyak energi dan energi tersebut didapat dari hasil pembakaran fosil yang berdampak buruk pada bumi. Dampak buruk yang dihasilkan adalah gas rumah kaca yang dapat mengubah iklim bumi secara drastis.
Peneliti dari University of Massachusetts mengatakan bahwa proses AI proses tersebut dapat menghasilkan lebih dari 626.000 pon setara karbon dioksida atau hampir lima kali lipat emisi rata-rata mobil Amerika selama masa pakainya (termasuk produksi mobil itu sendiri). Tentu saja hal tersebut memberikan kejutan yang besar kepada dunia mengingat eksistensi AI dapat mengalahkan emisi karbon yang dihasilkan oleh mobil. Limbah elektronik yang dihasilkan sangat berbahaya karena mengandung bahan-bahan kimia seperti merkuri dan cadmium yang dapat merusak kesehatan seluruh makhluk hidup. Senyawa-senyawa berbahaya tersebut mencemari air dan seperti yang telah kita ketahui bahwa air adalah sumber utama kehidupan manusia dan makluk hidup lainnya. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, maka keamanan makhluk hidup di bumi akan terancam dan akan mengakibatkan krisis lingkungan. Berita buruknya adalah bisa sampai kehilangan dan kekurangan populasi manusia akibat pencemaran lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan manusia.
Saat ini, perusahaan-perusahaan atau institusi-institusi yang menggunakan AI hanya peduli terhadap kesejahteraan finansial mereka. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas membuat mereka semema-mena dan tidak peduli akan dampak buruk besar yang akan dihadapi oleh setiap aspek yang ada di bumi. Lingkungan, sosial, budaya, politik, ekonomi semua mendapatkan dampaknya. Menurut Earth.Org, dibutukan aksi-aksi kesadaran terhadap limbah AI ini seperti pengelolaan dan daur ulang limbah elektronik. Untuk memastikan pemrosesan dan daur ulang limbah elektronik terkait AI yang aman dan secara signifikan mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan, diperlukan undang-undang yang lebih ketat dan praktik pembuangan yang etis. Cara lain adalah dengan Mempromosikan standar desain AI yang etis, termasuk menghindari pengumpulan data yang tidak perlu dan memastikan pertimbangan akhir masa pakainya diperhitungkan, juga penting. Untuk memastikan penciptaan, penggunaan, dan pembuangan teknologi AI yang etis, pemerintah dan badan pengatur serta peneliti harus berkolaborasi dan menerapkan standar dan batasan yang tepat.
Opini dari Massachusetts Institute of Technology mengatakan setiap kali sebuah model digunakan contohnya ketia seseorang menggunakan ChatGPT untuk meringkas sebuah email, perangkat keras komputasi yang menjalankan operasi tersebut mengonsumsi energi. Para peneliti memperkirakan bahwa kueri ChatGPT mengonsumsi listrik sekitar lima kali lebih banyak daripada pencarian web sederhana. Apalagi, semakin berkembangnya waktu banyak permintaan dari banyak perusahaan atau institusi yang ikut menciptakan AI mereka masing-masing. Hal ini semakin memperumit dinamika AI vs Lingkungan di era sekarang. Sebagian pengguna pasti merasa awam dengan hal ini. Tidak banya lembaga-lembaga yang yang mengedukasikan hal ini kepada masyarakat luas. Padahal, hal ini sangatlah penting untuk diketahui demi keadaan dan kondisi bumi di masa kini dan di masa depan. Industri ini memang dinilai tidak berkelanjutan, tetapi ada cara untuk mendorong pengembangan AI generatif yang bertanggung jawab yang mendukung tujuan lingkungan.
Di tengah dinamika ini, regulasi AI dan standar global baru sangat diperlukan untuk meminimalisir kerusakan yang terjadi. ISO Center Indonesia sebagai lembaga non-pemerintah internasional yang mengembangkan dan menerbitkan standar-standar internasional berbasis Indonesia telah membuat regulasi AI demi masa depan Indonesia yang aman dengan referensi utamanya adalah ISO secara global. Standar global baru tersebut bernama ISO/IEC 42001:2023 dan menjadi panduan penggunaan AI secara global. Standar global baru ini memberikan kerangka kerja komprehensif bagi organisasi yang ingin mengembangkan, menerapkan, dan mengelola sistem AI secara etis dan bertanggung jawab. Standar ini tidak hanya berfokus pada inovasi, tetapi juga pada bagaimana inovasi tersebut dikelola agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kepatuhan. Tujuan utama ISO/IEC 42001:2023 adalah untuk membangun kepercayaan kepercayaan publik dan pemangku kepentingan terhadap sistem AI. Membantu organisasi mempersiapkan dan memenuhi persyaratan regulasi AI yang berkembang. Manajemen risiko efektif yang mungkin terjadi salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Menjadikan pemangku organisasi atau institusi AI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan efisiensi operasional.
Semua hal ini dilakukan agar penggunaan AI di masa sekarang tidak berdampak buruk secara berkelanjutan di masa depan. Semoga generasi di masa depan tidak mendapatkan dampak buruknya AI dan mereka dapat mengembangkan teknologi AI ke arah yang lebih aman dan bermanfaat bagi bumi dan seluruh aspek yang ada di dalamnya. Kesimpulannya, AI menyumbang peran besar dalam kemajuan teknologi modern: di satu sisi, kecerdasan buatan (AI) menjanjikan efisiensi, inovasi, dan solusi bagi krisis iklim; namun di sisi lain, proses pelatihan dan pengoperasian sistem AI justru menyumbang emisi karbon yang besar akibat konsumsi energi yang masif dan penggunaan pusat data berdaya tinggi. Dilema ini menunjukkan bahwa kemajuan digital tidak otomatis sejalan dengan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, tantangan utama di era AI adalah bagaimana mengembangkan teknologi cerdas yang juga ramah lingkungan dan beretika, dengan menekan dampak ekologis tanpa menghambat inovasi, agar masa depan digital tidak menjadi beban baru bagi planet yang sudah rapuh.
Sumber
https://www.scientific-computing.com/analysis-opinion/true-cost-ai-innovation
https://news.mit.edu/2025/explained-generative-ai-environmental-impact-0117
https://www.astutis.com/astutis-hub/blog/artificial-intelligence-environmental-impacts
https://environment.upenn.edu/news-events/news/ai-and-environmental-challenges
https://www.umn.ac.id/teknologi-ai-untuk-sustainability-ancaman-atau-solusi/
https://blog.ucs.org/pablo-ortiz/what-are-the-environmental-impacts-of-artificial-intelligence/
