Indonesia ke BRICS, apakah akan mengancam keamanan Indonesia?
Indonesia ke BRICS, apakah akan mengancam keamanan Indonesia?

Penulis : Ahmat Faris (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Isu mengenai kemungkinan Indonesia bergabung dengan kelompok ekonomi besar BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) memunculkan beragam perdebatan, tidak hanya dari aspek ekonomi dan politik luar negeri, tetapi juga dari sudut pandang keamanan nasional. Keputusan suatu negara untuk bergabung dengan blok kekuatan tertentu memiliki dampak strategis yang signifikan seiring dengan perubahan dinamika geopolitik di seluruh dunia. Langkah menuju BRICS untuk Indonesia berpotensi memperkuat posisi ekonomi dan diplomatik Indonesia di tingkat internasional, tetapi juga membuka ruang bagi ancaman baru terhadap stabilitas keamanan nasional, baik tradisional maupun non-tradisional.

Selama ini, BRICS dianggap sebagai platform alternatif yang memungkinkan negara-negara berkembang menantang dominasi ekonomi dan politik Barat, terutama AS dan sekutunya. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang terbesar di Asia Tenggara, memiliki daya tarik strategis untuk bergabung dengan kelompok ini karena kekuatan ekonominya yang relatif stabil, populasinya yang besar, dan posisi geopolitiknya yang penting di kawasan Indo-Pasifik. Mereka juga ingin membangun sistem keuangan global yang tidak lagi bergantung pada dolar AS. Namun, keterlibatan Indonesia dalam BRICS mencakup masalah ekonomi dan politik yang dapat memengaruhi hubungan keamanan dengan negara-negara besar lain—terutama AS, Jepang, dan Australia—yang selama ini menjadi mitra strategis.

Dari sisi kepentingan ekonomi, keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi besar mendatangkan manfaat. Negara-negara BRICS memainkan peran penting dalam perdagangan global dan menguasai sekitar 30% PDB dunia. Dengan masuknya Indonesia, peluang ekspor, investasi, dan kerja sama pembangunan infrastruktur akan semakin luas. BRICS juga memiliki New Development Bank (NDB), yang dapat menawarkan sumber pembiayaan alternatif untuk proyek pembangunan di Indonesia tanpa syarat yang ketat yang sering diberikan oleh lembaga keuangan Barat. Namun, ada bahaya geopolitik yang tidak dapat diabaikan di balik peluang ekonomi tersebut. BRICS, terutama karena dominasi Tiongkok dan Rusia di dalamnya, sering dianggap sebagai kelompok yang menantang sistem internasional yang selama ini dipimpin oleh Barat. Negara-negara sekutu Barat mungkin melihat kegabungan Indonesia sebagai perubahan strategi politik di luar negeri yang dapat mengubah keseimbangan keamanan di wilayah tersebut.

Dari sudut pandang keamanan internasional, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dapat menimbulkan ancaman strategis yang tidak langsung. Indonesia telah berusaha untuk menjaga politik luar negerinya yang bebas, bukan berpihak, tetapi aktif dalam menciptakan perdamaian. Prinsip ini telah menjadi dasar diplomasi Indonesia sejak era Soekarno. Namun, menjadi anggota BRICS dapat membuat mitra Barat percaya bahwa Indonesia mulai bergerak ke arah blok anti-Barat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kerja sama keamanan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia, terutama dalam bidang pertahanan, intelijen, dan transportasi laut. Meskipun demikian, kawasan Indo-Pasifik saat ini menjadi tempat persaingan strategis antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan Tiongkok. Persaingan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika keamanan di wilayah tersebut.

Selain itu, bergabung dengan BRICS dapat menjadi tantangan diplomatik bagi Indonesia. Misalnya, Indonesia dapat menghadapi masalah politik luar negeri yang rumit jika terjadi konflik antara Rusia dan negara-negara NATO atau anggota BRICS seperti Tiongkok dan India. Sebagai anggota BRICS, solidaritas mungkin memerlukan dukungan dari anggota lain. Namun, karena prinsip bebas aktif dan kepentingan nasional, Indonesia harus bersikap netral. Kondisi ini dapat menyebabkan tekanan diplomatik dan politik yang dapat mengganggu stabilitas kebijakan luar negeri dan keamanan nasional.

Apabila Indonesia bergabung dengan BRICS, mungkin menghadapi masalah baru dalam hal keamanan yang tidak konvensional. Istilah-istilah seperti keamanan siber, ketergantungan teknologi, dan arus investasi yang dikaitkan dengan kepentingan politik harus diperhatikan. Misalnya, ketergantungan negara anggota BRICS seperti Tiongkok terhadap infrastruktur dan teknologi digital dapat menimbulkan risiko keamanan siber. Beberapa kasus kebocoran data, serangan siber, dan infiltrasi digital telah menunjukkan bahwa keamanan digital kini menjadi komponen penting dari keamanan nasional. Jika Indonesia bergantung terlalu banyak pada infrastruktur teknologi anggota BRICS, terutama Tiongkok, maka eksploitasi data dan dominasi digital dapat mengancam kedaulatan informasi negara.

Selain itu, struktur keamanan ekonomi Indonesia dapat diubah oleh kekuatan ekonomi politik anggota BRICS. Misalnya, investasi besar di sektor energi, infrastruktur, dan pertambangan oleh Tiongkok, Rusia, atau India dapat memperkuat ketergantungan ekonomi negara-negara tersebut. Ketika ketergantungan ekonomi meningkat, kedaulatan ekonomi semakin terbatas. Dalam beberapa keadaan, tekanan ekonomi dapat digunakan sebagai alat politik untuk mempengaruhi kebijakan nasional. Ini telah terbukti dalam beberapa situasi di Afrika dan Asia Tengah, di mana negara-negara anggota BRICS memanfaatkan investasi besar untuk meningkatkan kekuatan politik mereka di luar negeri. Situasi serupa dapat mengancam otonomi strategis Indonesia di masa depan jika tidak berhati-hati.

Namun, bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak selalu membawa dampak yang buruk. Selain itu, langkah ini dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk memperluas jenis hubungan luar negeri Indonesia. Indonesia dapat memperkuat posisinya di antara negara-negara terkuat di dunia dengan menjadi anggota BRICS. Selain itu, keanggotaan ini dapat menjadi cara untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di forum global, seperti mewujudkan sistem keuangan internasional yang lebih adil dan terbuka. Kemampuan untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai blok kekuatan di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks adalah penting dalam diplomasi kontemporer. Indonesia dapat memanfaatkan BRICS sebagai alat untuk meningkatkan otonomi strategisnya, bukan sebagai bentuk ketergantungan baru, asalkan melakukannya dengan cara yang tepat.

Dalam hal politik luar negeri, kemajuan menuju BRICS mungkin sejalan dengan prinsip "bebas aktif" selama Indonesia mampu mengimbangi hubungan dengan semua pihak. Konsep bebas aktif tidak berarti netral dalam semua hal; sebaliknya, itu berarti aktif memperjuangkan kepentingan bangsa tanpa terikat pada aliansi politik tertentu. Dalam situasi seperti ini, Indonesia dapat menggunakan BRICS sebagai forum untuk mendukung agenda pembangunan global, transisi ke energi hijau, dan reformasi ekonomi global tanpa kehilangan hubungan baik dengan Barat. Untuk menghindari ambiguitas yang dapat dimanfaatkan pihak luar, keseimbangan ini membutuhkan ketegasan strategi dan kejelasan arah kebijakan luar negeri.

Apabila Indonesia bergabung dengan BRICS, menjaga stabilitas di Asia Tenggara akan menjadi masalah utama. Selama bertahun-tahun, Indonesia bergantung pada ASEAN sebagai dasar politik internasionalnya. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat menimbulkan ketegangan di antara negara-negara ASEAN yang lebih dekat dengan Barat, seperti Singapura dan Filipina. Dengan demikian, kohesi ASEAN dapat terganggu, dan peran Indonesia sebagai "pemimpin alami" di kawasan ini dapat melemah. Oleh karena itu, kebijakan untuk bergabung ke BRICS harus direncanakan dengan teliti agar tidak mengorbankan kepemimpinan regional Indonesia, yang selama ini berfungsi sebagai alat penting untuk menjaga keamanan kawasan.

Keputusan untuk bergabung ke BRICS tidak hanya memiliki konsekuensi di luar, tetapi juga berdampak pada keamanan nasional. Dalam konteks politik domestik, masalah BRICS dapat menyebabkan perselisihan ideologis antara orang-orang yang mendukung blok Timur dan mereka yang lebih suka Barat. Untuk kepentingan mereka sendiri, aktor-aktor di dalam negeri dapat memanfaatkan polarisasi politik seperti ini. Dalam jangka panjang, ketegangan politik di dalam negeri dapat membahayakan stabilitas keamanan nasional, terutama jika dikombinasikan dengan perang opini dan disinformasi di media sosial. Akibatnya, sangat penting bagi pemerintah untuk membuat narasi publik yang kuat dan jelas tentang alasan dan tujuan strategis bergabung dengan BRICS.

Dinamika keamanan energi dan sumber daya alam adalah elemen tambahan yang perlu diperhatikan. Salah satu tujuan utama BRICS adalah meningkatkan kerja sama strategis dalam bidang energi dan mineral. Sebagai negara yang memiliki banyak sumber daya, Indonesia akan menjadi mitra yang sangat menarik. Namun, jika tidak diatur dengan baik, eksploitasi sumber daya oleh investor asing dari negara anggota BRICS dapat menyebabkan konflik sosial dan lingkungan. Instabilitas keamanan non-tradisional di dalam negeri dapat disebabkan oleh masalah seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan marjinalisasi masyarakat lokal. Keuntungan dari BRICS dapat berbalik menjadi kerentanan baru jika Indonesia tidak memiliki tata kelola sumber daya yang kuat.

Dari sudut pandang global, kemajuan Indonesia menuju BRICS juga harus dilihat dalam konteks persaingan antara negara-negara besar. Dunia saat ini bergerak menuju tatanan multipolar di mana tidak ada satu kekuatan yang berkuasa. Meskipun Amerika Serikat tetap memiliki peran yang signifikan, Tiongkok dan Rusia semakin berpengaruh. Indonesia dan negara-negara menengah lainnya memiliki kesempatan untuk bertindak secara mandiri dalam konteks ini. Selama inisiatif ini tidak diartikan sebagai keberpihakan ideologis, BRICS dapat menjadi salah satu alat diplomasi Indonesia untuk meningkatkan pengaruhnya di tingkat global. Dengan demikian, keterlibatan Indonesia dalam BRICS dapat memperkuat posisinya sebagai "jembatan" yang menghubungkan Barat, Timur, dan Utara.

Sebaliknya, setiap tindakan strategis selalu membawa risiko. Jika Indonesia tidak dapat mengimbangi kepentingan ekonomi dan keamanannya, ancaman terhadap kedaulatan negara akan meningkat. Risiko nyata yang harus diantisipasi termasuk ketergantungan ekonomi pada satu blok, kerentanan digital yang disebabkan oleh transfer teknologi yang tidak aman, dan tekanan geopolitik dari musuh global. Dalam situasi seperti ini, kebijakan luar negeri yang teliti, jujur, dan berorientasi pada kepentingan nasional sangat penting. Indonesia harus mampu memastikan bahwa keikutsertaannya di BRICS adalah untuk memperkuat posisinya di dunia yang semakin kompleks daripada mengikuti agenda negara lain.

Kesimpulannya, meskipun bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak secara otomatis akan menimbulkan ancaman bagi keamanan negara, itu adalah kemungkinan yang sebenarnya dan harus dipertimbangkan dengan hati-hati. BRICS dapat menjadi peluang taktikal untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di pasar global. Namun, langkah ini dapat menyebabkan ketegangan geopolitik, memperburuk hubungan keamanan dengan mitra lama, dan membuka celah baru dalam bidang keamanan non-tradisional jika tidak direncanakan dengan cermat. Kemampuannya untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan keuntungan ekonomi global adalah kunci keberhasilan Indonesia. Indonesia dapat memanfaatkan BRICS sebagai alat untuk memperkuat kedaulatan, bukan sebagai ancaman bagi keamanan negaranya, jika mereka menerapkan diplomasi yang konsisten pada prinsip bebas aktif dan kebijakan yang transparan dan berorientasi pada kepentingan nasional.