Indonesia dan BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Keamanan Nasional
Indonesia dan BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Keamanan Nasional

Penulis : Dinda Alya,  Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta

Rencana Indonesia untuk bergabung dengan BRICS memunculkan perdebatan di banyak kalangan. Sebagian menganggap langkah ini bisa menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas hubungan ekonomi dan memperkuat posisi di dunia internasional. Namun ada juga yang menilai bahwa bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok negara-negara tersebut bisa menimbulkan ancaman baru terhadap keamanan nasional dan arah politik luar negeri yang selama ini dijaga dengan hati-hati.

BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, dikenal sebagai kelompok negara dengan kekuatan ekonomi dan politik yang semakin berpengaruh. Mereka berusaha menandingi dominasi Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, dalam sistem global. Gagasan utama BRICS adalah mendorong tatanan dunia yang lebih adil dengan peran yang lebih besar bagi negara-negara berkembang. Karena itu, tidak mengherankan jika Indonesia tertarik untuk mendekat ke blok ini. Sebagai negara besar dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan populasi yang besar, Indonesia memiliki potensi besar untuk berkontribusi di BRICS.

Selama ini, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif. Artinya, Indonesia tidak berpihak pada blok mana pun dan berusaha aktif memperjuangkan kepentingan nasional serta perdamaian dunia. Prinsip ini telah menjadi landasan diplomasi Indonesia sejak masa awal kemerdekaan dan terbukti membuat Indonesia dihormati di berbagai forum internasional. Namun, dalam situasi dunia yang mulai kembali terbelah antara kekuatan Barat dan Timur, keputusan untuk mendekat ke BRICS tentu menimbulkan pertanyaan apakah langkah ini masih sejalan dengan prinsip bebas aktif tersebut.

Secara ekonomi, BRICS menawarkan peluang besar bagi Indonesia. Salah satu manfaat yang mungkin didapat adalah akses terhadap pendanaan alternatif melalui New Development Bank (NDB). Lembaga ini didirikan oleh BRICS untuk membiayai proyek pembangunan di negara berkembang dengan syarat yang lebih ringan dibandingkan lembaga keuangan Barat seperti IMF atau Bank Dunia. Jika Indonesia menjadi anggota, maka peluang untuk mendapatkan dana pembangunan yang lebih fleksibel akan terbuka lebar. Hal ini bisa membantu pembiayaan proyek infrastruktur tanpa harus tunduk pada persyaratan ekonomi neoliberal yang sering menjadi beban dalam pinjaman dari Barat.

Selain dari sisi pendanaan, keanggotaan di BRICS juga bisa memperluas jaringan perdagangan dan investasi. Indonesia berpotensi memperkuat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok dan India yang merupakan dua pasar terbesar di Asia. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya bergantung pada mitra ekonomi tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Uni Eropa. Diversifikasi mitra ekonomi ini bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu blok tertentu dan memperluas ruang gerak ekonomi nasional di tengah persaingan global yang semakin tajam.

Namun di balik peluang tersebut, ada pula risiko yang tidak bisa diabaikan. Salah satu yang paling sering dibicarakan adalah potensi bergesernya arah politik luar negeri Indonesia. Jika Indonesia terlalu dekat dengan BRICS, terutama dengan Tiongkok dan Rusia, maka bisa timbul kesan bahwa Indonesia berpihak pada blok tertentu. Hal ini bisa memengaruhi hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang selama ini juga memiliki peran penting dalam pembangunan Indonesia, baik dalam investasi, perdagangan, maupun bantuan keamanan.

Dalam konteks geopolitik, hubungan dengan Rusia dan Tiongkok sering dianggap sensitif karena keduanya terlibat dalam berbagai ketegangan internasional. Rusia tengah berkonflik dengan Barat akibat perang di Ukraina, sedangkan Tiongkok memiliki sengketa dengan banyak negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Laut Cina Selatan. Jika Indonesia menjadi bagian dari BRICS, posisi diplomatiknya dalam isu-isu ini bisa menjadi rumit. Indonesia harus sangat berhati-hati agar tidak dianggap mendukung salah satu pihak, terutama karena Indonesia juga memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kawasan dan peran penting di ASEAN.

Dari sisi ekonomi, keterlibatan dalam BRICS juga bisa membawa risiko baru. Keterikatan ekonomi yang terlalu dalam dengan Tiongkok bisa menimbulkan ketergantungan berlebihan. Pengalaman dari beberapa negara yang terlibat dalam proyek Belt and Road Initiative menunjukkan adanya risiko utang yang besar dan kontrol ekonomi asing terhadap aset strategis. Indonesia perlu belajar dari kasus tersebut agar tidak terjebak dalam pola hubungan ekonomi yang tidak seimbang.

Selain itu, aspek keamanan non-tradisional juga perlu diperhatikan. Di era digital, ancaman siber dan kebocoran data menjadi masalah serius. Kerja sama dengan negara-negara BRICS, terutama di bidang teknologi dan informasi, bisa membuka peluang serangan siber jika tidak diatur dengan hati-hati. Indonesia perlu memastikan sistem keamanan digitalnya cukup kuat sebelum terlibat lebih dalam dalam proyek bersama yang melibatkan pertukaran data dan infrastruktur teknologi.

Bergabung dengan BRICS juga bisa menimbulkan tekanan politik di dalam negeri. Sebagian masyarakat mungkin melihat langkah ini sebagai bentuk pergeseran orientasi Indonesia ke arah Timur. Hal ini bisa memunculkan perdebatan politik antara kelompok yang pro terhadap kerja sama global baru dan kelompok yang masih menilai bahwa kedekatan dengan Barat lebih menguntungkan. Pemerintah harus mampu menjelaskan secara transparan apa saja keuntungan dan risiko dari keanggotaan tersebut agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di publik.

Dari sisi keamanan regional, posisi Indonesia di Asia Tenggara akan semakin penting. Jika Indonesia resmi menjadi anggota BRICS, maka otomatis pengaruhnya terhadap dinamika ASEAN juga akan meningkat. Hal ini bisa menjadi keuntungan jika Indonesia mampu memainkan peran sebagai jembatan antara BRICS dan negara-negara Asia Tenggara. Namun sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa menimbulkan kecemburuan politik di kawasan dan menurunkan solidaritas ASEAN yang selama ini menjadi kekuatan utama organisasi tersebut.

Dalam menghadapi semua kemungkinan itu, diplomasi Indonesia perlu dijalankan dengan sangat hati-hati dan pragmatis. Pemerintah harus memastikan bahwa keanggotaan di BRICS tidak membuat Indonesia kehilangan kepercayaan dari mitra tradisionalnya. Langkah yang diambil sebaiknya berdasarkan kepentingan nasional jangka panjang, bukan hanya dorongan politik sesaat atau keuntungan ekonomi jangka pendek.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan menengah yang berperan sebagai penyeimbang di tengah rivalitas global. Dengan menjaga prinsip bebas aktif, Indonesia sebenarnya bisa menjadikan keanggotaannya di BRICS sebagai cara untuk memperkuat posisi tawar, bukan untuk berpihak. Indonesia bisa berperan sebagai negara yang mendorong dialog dan kerja sama, bukan konfrontasi. Hal ini sejalan dengan peran Indonesia selama ini di berbagai forum internasional yang selalu menekankan pentingnya perdamaian dan keadilan global.

Pada akhirnya, keputusan untuk bergabung dengan BRICS tidak boleh dilihat hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek politik, keamanan, dan diplomasi. Indonesia harus berhitung dengan matang agar langkah ini tidak justru menjadi bumerang yang melemahkan stabilitas nasional. Jika dijalankan dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan BRICS untuk memperkuat kedaulatan ekonomi dan politik tanpa harus mengorbankan prinsip dasar politik luar negeri yang selama ini menjadi identitas bangsa.

Langkah ini memang berani dan penuh risiko, tetapi juga membuka kesempatan baru bagi Indonesia untuk menunjukkan perannya sebagai negara yang mandiri dan berdaulat di dunia yang semakin tidak pasti. Tantangannya adalah bagaimana menjaga agar setiap langkah tetap berada dalam koridor kepentingan nasional dan tidak terjebak dalam rivalitas kekuatan besar. Dengan keseimbangan dan kehati-hatian, Indonesia bisa menjadikan BRICS bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang strategis untuk memperkuat posisi di tatanan dunia yang sedang berubah.