Indonesia bergabung ke BRICS, mengancam keamanan Indonesia kah?
Indonesia bergabung ke BRICS, mengancam keamanan Indonesia kah?

Penulis : Muhammad Mufid Elbadri (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Keputusan Indonesia untuk bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada Januari 2025 menandai pergeseran penting dalam arah kebijakan luar negeri Indonesia. Langkah ini, yang diambil di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, merepresentasikan perhitungan strategis yang berbeda dari pendahulunya. Namun, di tengah harapan akan potensi ekonomi yang menjanjikan, saya berpendapat bahwa kita perlu mengkaji secara mendalam dampak keamanan dari keputusan ini.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah: apakah bergabungnya Indonesia ke dalam arsitektur BRICS akan membahayakan posisi strategis Indonesia dalam tatanan geopolitik global yang semakin terpecah? Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat BRICS semakin dipandang sebagai penyeimbang terhadap dominasi Barat, khususnya dalam konteks persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China, serta pengucilan Rusia pasca-invasi Ukraina.

Dalam pandangan saya, kebijakan ini mengandung dilema keamanan yang rumit. Di satu sisi, BRICS menawarkan akses kepada pasar dan sumber daya keuangan yang besar. Di sisi lain, bergabung dengan blok ini berpotensi menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit dalam spektrum geopolitik global, yang dapat mengancam prinsip dasar politik luar negeri bebas aktif yang telah menjadi landasan diplomasi Indonesia sejak era Soekarno.

Untuk memahami pentingnya keputusan ini, kita perlu menelaah konteks sejarah dan alasan di balik kebijakan tersebut. BRICS, yang semula terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, telah mengalami perluasan dengan masuknya Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab pada 2024. Indonesia menjadi negara ASEAN pertama yang memperoleh status keanggotaan penuh, meskipun Malaysia dan Thailand juga tengah dalam proses bergabung.

Perbedaan sikap antara pemerintahan Jokowi dan Prabowo mencerminkan perdebatan internal tentang arah strategis Indonesia. Ketika diundang pada 2023, Presiden Jokowi menunjukkan kehati-hatian, dengan kekhawatiran utama pada kemungkinan melemahnya prinsip tidak memihak. Namun, Presiden Prabowo tampaknya mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis, dengan dalih bahwa manfaat ekonomi dapat dioptimalkan tanpa mengorbankan kemandirian strategis.

Data menunjukkan bahwa nilai perdagangan Indonesia dengan negara-negara BRICS mencapai sekitar 150 miliar dolar AS pada tahun 2024, dengan komoditas utama meliputi minyak sawit mentah, batu bara, gas alam cair, dan karet. Dengan bergabungnya Indonesia, gabungan anggota BRICS kini mewakili hampir 50 persen populasi global dengan sumbangan sebesar 38 persen terhadap produk domestik bruto global berdasarkan Paritas Daya Beli. Dari sudut pandang ekonomi-politik, argumen untuk bergabung memiliki dasar yang kuat.

Namun, saya berpendapat bahwa analisis untung-rugi tidak dapat semata-mata didasarkan pada proyeksi ekonomi jangka pendek. Pertimbangan keamanan nasional, yang bersifat lebih tidak terlihat namun mendasar, harus menjadi pertimbangan utama dalam perhitungan strategis.

Indonesia berisiko menghadapi tekanan diplomatik dan ekonomi dari negara-negara Barat yang melihat BRICS sebagai kelompok yang ingin mengubah tatanan internasional liberal. Kedua, kemungkinan pembatasan akses terhadap teknologi strategis, khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan siber, dapat meningkat seiring dengan persepsi bahwa Indonesia telah bergeser dari posisi netral. Ancaman ini bukan bersifat dugaan semata. Dalam konteks keamanan siber, Indonesia telah menjadi sasaran operasi spionase siber dari kelompok ancaman tingkat lanjut yang terafiliasi dengan beberapa negara BRICS, khususnya menjelang negosiasi investasi digital ASEAN-China. Penguatan keterlibatan dengan BRICS tanpa disertai penguatan kemampuan pertahanan siber dapat membuka Indonesia terhadap ancaman yang lebih canggih.

Dimensi ekonomi dari ancaman keamanan tidak dapat diabaikan. Mantan Presiden Donald Trump, yang kembali memenangi pemilihan presiden 2024, telah secara terang-terangan mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 100 persen terhadap negara-negara BRICS yang mendorong pengurangan penggunaan dolar dalam sistem perdagangan internasional. Meskipun pernyataan politik Trump kerap bersifat berubah-ubah, rekam jejak kebijakan proteksionisnya menunjukkan bahwa ancaman ini memiliki kemungkinan pelaksanaan yang besar.

Bagi Indonesia, yang memiliki surplus perdagangan dengan Amerika Serikat dan bergantung pada ekspor komoditas dasar, tarif hukuman dapat memberikan dampak nyata terhadap neraca perdagangan. Muhammad Andri Perdana dari Bright Institute memperingatkan bahwa bergabung dengan BRICS dapat memperlebar jarak Indonesia dengan negara-negara OECD, yang selama ini menjadi mitra penting dalam kerja sama ekonomi dan alih teknologi.

Lebih jauh, pandangan negatif dari komunitas bisnis internasional dapat mengakibatkan pelarian modal dan penurunan investasi asing langsung dari negara-negara maju. Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat perubahan struktural ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada investasi asing untuk pengembangan sektor-sektor bernilai tambah tinggi.

Meskipun saya telah menggarisbawahi berbagai ancaman, akan keliru untuk mengadopsi pandangan yang sepenuhnya pesimistis. BRICS, dalam pemahaman yang tepat, dapat menjadi alat untuk memperkuat keamanan ekonomi Indonesia, yang merupakan pilar mendasar dari keamanan nasional menyeluruh.

Akses kepada Bank Pembangunan Baru dan Pengaturan Cadangan Darurat memberikan alternatif pembiayaan yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap lembaga keuangan Bretton Woods yang kerap membawa persyaratan yang memberatkan terhadap kebijakan ekonomi dalam negeri. Dalam jangka panjang, penganekaragaman sumber pembiayaan pembangunan dapat meningkatkan ruang kebijakan Indonesia dalam merumuskan strategi pembangunan yang sesuai dengan prioritas nasional.

Kerja sama dalam bidang ketahanan pangan, energi terbarukan, dan teknologi digital dengan negara-negara BRICS juga membuka peluang untuk mengurangi kerentanan struktural ekonomi Indonesia. Kerja sama dengan Brasil dalam pertanian, India dalam farmasi dan teknologi informasi, serta China dalam manufaktur dan infrastruktur dapat mempercepat perubahan ekonomi menuju model yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Dalam tatanan internasional yang semakin banyak kutub kekuatan, negara-negara kekuatan menengah seperti Indonesia memiliki ruang kesempatan yang lebih luas untuk menyuarakan kepentingan nasional tanpa terjebak dalam pilihan biner antara kubu Barat dan Timur. Keanggotaan BRICS dapat berfungsi sebagai panggung untuk mengadvokasi reformasi tata kelola global yang lebih inklusif dan mewakili kepentingan negara berkembang.

Indonesia memiliki kredibilitas sejarah sebagai pemimpin gerakan Non-Blok dan peran sentral dalam ASEAN, yang memberikan legitimasi untuk beroperasi sebagai penggerak norma dalam forum multilateral. Dengan memanfaatkan keanggotaan di BRICS, G20, ASEAN, dan potensi bergabung ke OECD, Indonesia dapat mengadopsi strategi berhubungan dengan semua pihak yang memaksimalkan daya ungkit diplomatik tanpa kehilangan kemandirian strategis.

Namun, saya menekankan bahwa strategi ini hanya bisa berjalan jika Indonesia mampu mempertahankan kredibilitas sebagai penengah jujur yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik dari kekuatan besar manapun. Ini memerlukan konsistensi dalam prinsip kebijakan luar negeri dan kemampuan untuk menolak tekanan dari semua pihak ketika kepentingan nasional dipertaruhkan.

Strategi yang diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Sugiono untuk mengejar keanggotaan sekaligus di BRICS dan OECD merepresentasikan pendekatan yang pragmatis dan strategis. Preseden dari Thailand dan Turki menunjukkan bahwa keanggotaan ganda dapat berfungsi sebagai strategi lindung nilai yang berhasil dalam mengurangi risiko geopolitik.

Dengan mempertahankan keterlibatan yang seimbang dengan kedua blok, Indonesia dapat mengirimkan tanda kepada komunitas internasional bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak didasarkan pada pilihan ideologis, melainkan pada perhitungan rasional tentang kepentingan nasional. Ini akan membantu mempertahankan kredibilitas Indonesia sebagai negara yang konsisten dengan prinsip tidak memihak dalam konteks masa kini.

Untuk mengoptimalkan manfaat dan meminimalkan risiko dari keanggotaan BRICS, Indonesia perlu melakukan investasi besar dalam penguatan kapasitas kelembagaan. Ini mencakup pembentukan tim ahli yang dapat terlibat secara efektif dalam diskusi teknis di berbagai kelompok kerja BRICS, serta koordinasi yang lebih solid antar-kementerian dalam merumuskan posisi nasional.

Khususnya dalam bidang keamanan siber, peningkatan kemampuan pertahanan menjadi keharusan. Mengingat meningkatnya ancaman spionase siber dan potensi untuk perang siber dalam konteks geopolitik yang semakin terpolarisasi, Indonesia harus mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk membangun infrastruktur pertahanan siber yang kokoh. Ini termasuk kerja sama dengan negara-negara yang memiliki kemampuan tinggi dalam keamanan siber, terlepas dari afiliasi geopolitik mereka.

Legitimasi dalam negeri dari kebijakan luar negeri merupakan elemen penting yang kerap diabaikan dalam analisis strategis. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme komunikasi publik yang berhasil untuk menjelaskan alasan di balik keanggotaan BRICS dan bagaimana hal ini sejalan dengan kepentingan nasional jangka panjang.

Transparansi dalam setiap komitmen yang diambil dalam forum BRICS, serta mekanisme pengawasan dari legislatif dan masyarakat sipil, akan memastikan bahwa kebijakan ini tetap dapat dipertanggungjawabkan dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Wacana publik yang berdasar informasi dan substantif tentang pertukaran antara manfaat ekonomi dan risiko geopolitik akan memperkuat kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri.

Kembali kepada pertanyaan mendasar yang saya ajukan di awal: apakah keanggotaan Indonesia di BRICS mengancam keamanan nasional? Berdasarkan analisis yang telah saya paparkan, saya berargumen bahwa ancaman tersebut bersifat bersyarat dan bergantung pada bagaimana Indonesia mengelola kerumitan strategis dari keanggotaan ini.

Ancaman terhadap keamanan nasional baik dalam bentuk dilema keamanan dengan Barat, keterbukaan terhadap ancaman siber, potensi pembalasan ekonomi, maupun terpengaruh dalam agenda geopolitik yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional adalah nyata dan material. Namun, ancaman ini tidak bersifat pasti terjadi. Dengan strategi yang tepat, kapasitas kelembagaan yang memadai, dan konsistensi dalam prinsip kebijakan luar negeri, risiko-risiko tersebut dapat dikurangi secara berhasil.

Saya berpendapat bahwa keberhasilan pelayaran Indonesia dalam kerumitan ini akan ditentukan oleh tiga faktor penting. Pertama, kemampuan untuk mempertahankan kemandirian strategis dan tidak terpengaruh oleh kepentingan geopolitik dari kekuatan besar manapun. Kedua, konsistensi dalam pelaksanaan prinsip bebas aktif yang tidak sekadar retorika, tetapi tercermin dalam setiap keputusan kebijakan. Ketiga, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia untuk terlibat secara berhasil dalam diplomasi multilateral yang semakin rumit.

Indonesia memiliki aset strategis yang besar: demografi yang besar, ekonomi yang dinamis, posisi geografis yang strategis, serta kredibilitas sejarah sebagai kekuatan menengah yang konstruktif. Namun, aset-aset ini hanya dapat dioptimalkan jika disertai dengan kepemimpinan yang berwawasan jauh, birokrasi yang kompeten, dan masyarakat yang paham tentang dinamika geopolitik global.

Dalam pandangan saya, keanggotaan BRICS bukan secara alamiah mengancam keamanan Indonesia. Yang menentukan adalah bagaimana Indonesia sebagai negara dan sebagai bangsa mengelola kesempatan dan risiko yang datang dengan keanggotaan tersebut. Ini memerlukan pragmatisme tanpa oportunisme, keterbukaan tanpa kepolosan, dan ambisi tanpa kesombongan.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa keamanan nasional di abad ke-21 tidak dapat didefinisikan secara sempit dalam terminologi militer atau geopolitik tradisional. Keamanan ekonomi, keamanan siber, ketahanan pangan dan energi, serta stabilitas sosial-politik merupakan dimensi-dimensi yang sama pentingnya. Keanggotaan BRICS harus dievaluasi dalam kerangka menyeluruh ini, dengan kesadaran bahwa setiap keputusan strategis membawa akibat jangka panjang yang akan membentuk arah Indonesia sebagai bangsa dalam tatanan global yang terus berubah.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus berada di BRICS atau tidak. Pertanyaan yang lebih relevan adalah: bagaimana kita memastikan bahwa keputusan ini membawa Indonesia lebih dekat kepada cita-cita sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip mendasar yang telah menjadi identitas kita dalam pergaulan internasional? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah sejarah akan mencatat keputusan ini sebagai langkah strategis yang berwawasan jauh atau sebagai kesalahan langkah yang mahal. Tanggung jawab ada pada kita semua, baik pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat.