Indonesia bergabung ke BRICS. Apakah akan mengancam keamanan Indonesia?
Indonesia bergabung ke BRICS. Apakah akan mengancam keamanan Indonesia?

Penulis : Muhammad Aidil Andi Maulana ( Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Gagasan agar Indonesia bergabung dengan BRICS yang merupakan forum kerja sama ekonomi dan politik antara Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, kembali menjadi bahan diskusi yang serius di berbagai kalangan. Ada yang menilai langkah ini sebagai strategi cerdas untuk memperkuat posisi Indonesia di tatanan dunia yang semakin multipolar. Namun ada pula yang khawatir bahwa keputusan tersebut bisa menjadi langkah yang berisiko, terutama terhadap keamanan nasional dan arah politik luar negeri Indonesia yang selama ini berpegang pada prinsip bebas aktif.

Perdebatan ini sebenarnya mencerminkan perubahan besar dalam dinamika politik internasional. Dunia saat ini tidak lagi berada dalam tatanan unipolar seperti era 1990-an, ketika Amerika Serikat memegang dominasi tunggal pasca-Perang Dingin. Seiring kebangkitan Tiongkok, India, dan Rusia, dunia bergerak menuju sistem multipolar dimana dunia yang memiliki banyak pusat kekuatan dengan kepentingan dan pengaruh yang saling bersinggungan. Dalam sistem seperti ini, negara-negara berkembang tidak lagi menjadi objek kebijakan global, melainkan mulai berusaha menegaskan dirinya sebagai aktor yang berdaulat.

BRICS muncul sebagai simbol dari perubahan besar itu. Forum ini dibentuk dengan semangat untuk menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil, di mana negara-negara berkembang memiliki suara yang lebih besar. Dalam praktiknya, BRICS berupaya membangun mekanisme kerja sama finansial dan ekonomi yang lebih independen dari Barat, termasuk melalui pendirian New Development Bank (NDB). Bank ini dirancang sebagai alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak mengharuskan penerima dana mengikuti syarat politik yang sering kali membatasi kedaulatan nasional, seperti yang berlaku di IMF atau Bank Dunia.

Dari perspektif ekonomi dan diplomasi, keinginan Indonesia untuk bergabung ke BRICS bisa dimengerti. Indonesia merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu kekuatan menengah dengan peran penting di G20. Melalui BRICS, Indonesia dapat memperluas jaringan perdagangan, memperkuat akses terhadap pembiayaan pembangunan, dan memperdalam kerja sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) dengan negara-negara berkembang lain. Dalam kerangka jangka panjang, langkah ini juga bisa membantu memperkuat kemandirian ekonomi nasional dan memperluas pengaruh diplomasi Indonesia di tingkat global.

Namun, langkah besar seperti ini tidak bisa dilihat secara sempit hanya dari kacamata ekonomi. Keputusan untuk bergabung dengan BRICS juga memiliki dimensi politik dan keamanan yang sangat signifikan. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar: apakah langkah ini bisa mengganggu keamanan nasional Indonesia?

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan keamanan dalam konteks hubungan internasional modern. Keamanan tidak lagi dipahami secara sempit sebagai isu militer atau pertahanan teritorial saja. Dalam studi keamanan kontemporer, dikenal istilah comprehensive security yaitu keamanan yang mencakup berbagai dimensi seperti ekonomi, diplomasi, politik, sosial, dan bahkan lingkungan. Karena itu, setiap keputusan strategis di level global harus dilihat melalui lensa yang lebih luas: apakah keputusan tersebut memperkuat atau justru melemahkan posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan stabilitasnya di tengah perubahan global.

Jika kita menelusuri sejarah diplomasi Indonesia, prinsip bebas aktif telah menjadi pedoman utama dalam menjaga keamanan nasional. “Bebas” berarti tidak berpihak kepada blok kekuatan besar mana pun, sementara “aktif” berarti ikut berperan dalam menciptakan perdamaian dan keadilan dunia. Prinsip ini berfungsi sebagai pagar strategis yang menjaga strategic autonomy yaitu kemampuan Indonesia untuk menentukan arah kebijakan luar negerinya tanpa tekanan dari pihak luar.

Bergabung dengan BRICS bisa menimbulkan tantangan terhadap prinsip ini. Meskipun BRICS tidak secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai blok tandingan Barat, kenyataannya forum ini sering dipersepsikan demikian. Dua anggotanya, Tiongkok dan Rusia, secara terbuka menentang hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya. Jika Indonesia bergabung, langkah itu bisa dibaca oleh dunia Barat sebagai pergeseran orientasi geopolitik Indonesia ke arah non-Barat. Dalam politik internasional, persepsi seperti ini memiliki konsekuensi yang nyata.

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang masih menjadi mitra utama Indonesia dalam investasi, perdagangan, dan kerja sama teknologi. Jika hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut terganggu akibat persepsi keberpihakan Indonesia, maka dampaknya bisa langsung terasa pada stabilitas ekonomi nasional. Bahkan, dalam konteks keamanan kawasan Indo-Pasifik yang kini menjadi pusat rivalitas antara AS dan Tiongkok, pergeseran diplomatik Indonesia bisa menimbulkan ketegangan baru di kawasan.

Kondisi semacam ini dalam teori keamanan internasional disebut sebagai security dilemma, atau dilema keamanan. Konsep ini menjelaskan situasi ketika tindakan suatu negara untuk memperkuat posisinya justru dianggap sebagai ancaman oleh negara lain. Dalam kasus ini, upaya Indonesia untuk memperluas pengaruh global melalui BRICS bisa dianggap sebagai langkah yang memperkuat posisi Tiongkok di kawasan, sehingga memicu reaksi strategis dari Barat. Akibatnya, bukannya memperkuat keamanan, keputusan ini justru dapat menciptakan ketegangan baru yang berpotensi mengancam stabilitas kawasan.

Selain tantangan eksternal, BRICS juga memiliki kompleksitas internal yang perlu diperhitungkan. Forum ini bukan aliansi yang solid secara politik. Terdapat perbedaan mendasar di antara anggotanya, mulai dari sistem politik, model ekonomi, hingga kepentingan geopolitik. Tiongkok dan India, dua kekuatan besar di BRICS, memiliki sengketa perbatasan dan persaingan pengaruh di Asia. Rusia menghadapi sanksi internasional dan isolasi politik akibat invasinya ke Ukraina. Sementara Brasil dan Afrika Selatan menghadapi tantangan ekonomi domestik dan ketidakstabilan politik.

Dalam konteks ini, bergabung ke BRICS berarti Indonesia harus menavigasi dinamika internal yang sangat kompleks. Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terseret dalam konflik kepentingan di antara para anggotanya. Jika tidak cermat, posisi Indonesia justru bisa terpinggirkan dalam forum yang didominasi oleh kekuatan besar seperti Tiongkok dan Rusia.

Dari sisi ekonomi, tantangan lain muncul dalam bentuk potensi ketergantungan baru. BRICS memang menjanjikan akses pendanaan alternatif melalui New Development Bank, namun kapasitas lembaga ini masih terbatas. Lebih dari itu, dominasi ekonomi Tiongkok dalam BRICS sangat kuat, baik dari segi modal, teknologi, maupun jaringan perdagangan. Jika Indonesia terlalu bergantung pada BRICS, terutama pada Tiongkok sebagai mitra utama, maka hal ini bisa menciptakan bentuk baru dari economic dependency atau ketergantungan ekonomi. Ketergantungan semacam ini berpotensi mengurangi kedaulatan ekonomi nasional dan menimbulkan economic vulnerability, yang pada akhirnya bisa berdampak langsung pada keamanan nasional.

Kondisi ini bukan hal yang mustahil terjadi. Kita sudah melihat contoh serupa di beberapa negara Afrika yang terlalu bergantung pada pinjaman dan investasi dari Tiongkok, yang pada akhirnya menghadapi kesulitan dalam menjaga kedaulatan ekonominya. Indonesia tentu tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Jika keputusan bergabung ke BRICS tidak diiringi dengan strategi diversifikasi ekonomi yang kuat, maka manfaat ekonomi yang diharapkan bisa berbalik menjadi beban struktural bagi perekonomian nasional.

Di tingkat regional, keanggotaan Indonesia di BRICS juga berpotensi memengaruhi kohesi ASEAN. Selama ini Indonesia berperan sebagai pemimpin informal dan penjaga prinsip ASEAN centrality, yaitu memastikan ASEAN tetap menjadi pusat arsitektur keamanan dan kerja sama regional di Asia Tenggara. Namun jika Indonesia bergabung ke BRICS, langkah ini bisa menimbulkan perbedaan pandangan di antara negara-negara ASEAN. Beberapa negara, seperti Vietnam dan Singapura, cenderung memperkuat hubungan dengan Barat, sementara Malaysia dan Thailand mungkin akan mengikuti langkah Indonesia. Kondisi ini berpotensi memecah solidaritas ASEAN dan mengganggu stabilitas kawasan.

Semua faktor ini menunjukkan bahwa keputusan bergabung ke BRICS bukan langkah yang bebas risiko. Dari sudut pandang keamanan nasional, keanggotaan Indonesia di BRICS bisa menimbulkan dua jenis ancaman. Pertama, ancaman eksternal yang berasal dari reaksi negatif negara-negara Barat dan potensi meningkatnya rivalitas geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Kedua, ancaman internal-struktural, berupa ketergantungan ekonomi terhadap satu kekuatan dominan di dalam BRICS serta potensi hilangnya pengaruh Indonesia dalam ASEAN jika orientasi politik luar negerinya berubah secara drastis.

Namun demikian, saya juga meyakini bahwa ancaman ini tidak bersifat mutlak. Semuanya bergantung pada bagaimana Indonesia menavigasi posisinya. Keamanan nasional bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dapat diperkuat melalui kebijakan luar negeri yang cerdas dan adaptif. Dalam konteks ini, Indonesia sebaiknya tidak melihat BRICS dan Barat sebagai dua kutub yang saling meniadakan. Sebaliknya, Indonesia perlu memainkan peran sebagai jembatan di antara keduanya.

Dalam teori hubungan internasional, strategi semacam ini dikenal sebagai hedging strategy, atau strategi penyeimbangan risiko. Artinya, Indonesia bisa menjalin kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan BRICS, sambil tetap mempertahankan hubungan strategis dengan negara-negara Barat. Dengan cara ini, Indonesia dapat menikmati manfaat ekonomi dari kedua belah pihak tanpa kehilangan otonomi strategisnya.

Selain itu, Indonesia juga bisa mengadopsi pendekatan soft balancing, yaitu menyeimbangkan kekuatan global tanpa melakukan konfrontasi langsung. Melalui keanggotaan di BRICS, Indonesia bisa memperjuangkan reformasi tatanan ekonomi global agar lebih inklusif, tanpa harus menentang sistem yang sudah ada. Pendekatan semacam ini memungkinkan Indonesia memperkuat posisi tawar globalnya tanpa harus kehilangan kepercayaan dari mitra tradisionalnya.

Jadi, apakah bergabung dengan BRICS bisa mengganggu keamanan Indonesia? Jawabannya, bisa iya, bisa tidak, tergantung bagaimana Indonesia mengelolanya. Jika langkah ini dilakukan tanpa strategi yang matang dan hanya didorong oleh semangat simbolik untuk menantang Barat, maka potensi gangguan terhadap keamanan nasional sangat besar. Indonesia bisa kehilangan keseimbangan strategisnya, menghadapi tekanan ekonomi dari luar, dan bahkan melemahkan posisinya di kawasan.

Namun, jika keputusan ini diambil dengan kalkulasi yang cermat, berlandaskan kepentingan nasional dan dilaksanakan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, maka BRICS justru bisa menjadi sarana untuk memperkuat keamanan nasional Indonesia. Melalui diversifikasi kerja sama, Indonesia bisa memperluas sumber daya ekonomi, memperkuat posisi diplomatik, dan memainkan peran penting sebagai kekuatan penyeimbang di dunia multipolar.

Pada akhirnya, keputusan ini akan menjadi ujian besar bagi diplomasi Indonesia. Ujian apakah kita mampu memanfaatkan peluang global tanpa kehilangan arah dan prinsip. Dunia sedang berubah dengan cepat, dan di tengah perubahan itu, Indonesia tidak boleh menjadi negara yang hanya mengikuti arus. Kita harus menjadi negara yang mampu menentukan arus.

Keamanan nasional Indonesia tidak akan terganggu oleh keanggotaan di BRICS jika kita mampu menjaga tiga hal penting: pertama, kemandirian ekonomi agar tidak bergantung pada satu kekuatan; kedua, konsistensi politik luar negeri bebas aktif agar Indonesia tetap dihormati sebagai penyeimbang global; dan ketiga, peran aktif dalam ASEAN agar stabilitas kawasan tetap terjaga. Selama tiga pilar ini dijaga, BRICS bukanlah ancaman — melainkan peluang strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia.

Bagi saya, tantangan sesungguhnya bukan pada pertanyaan apakah BRICS berbahaya, tetapi apakah Indonesia siap menghadapi dunia yang semakin kompleks. Dunia yang tidak lagi terbelah antara Timur dan Barat, tetapi penuh dengan persaingan kepentingan yang cair dan cepat berubah. Dalam dunia seperti ini, keamanan nasional tidak bisa dijaga hanya dengan kekuatan militer, tetapi juga dengan diplomasi yang cerdas, ekonomi yang tangguh, dan kebijakan luar negeri yang konsisten.

Jika Indonesia mampu menjaga keseimbangan itu, maka bergabung ke BRICS tidak akan menjadi ancaman, melainkan tonggak baru dalam perjalanan panjang Indonesia menuju kemandirian dan kekuatan global yang sejati.