Indonesia Bergabung ke BRICS, Akankah Mengancam Keamanan Indonesia?
Indonesia Bergabung ke BRICS, Akankah Mengancam Keamanan Indonesia?

Penulis : Helena Aurelia Putri (Mahasisa Semester 5 Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Isu keterlibatan Indonesia dalam kelompok BRICS tengah menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional. Keputusan ini dinilai strategis di tengah perubahan tatanan dunia multipolar, tetapi juga bisa mengancam keamanan nasional.

Apa itu BRICS?

BRICS adalah forum kerja sama ekonomi-politik lima negara besar berkembang yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang dibentuk tahun 2009. Tujuannya untuk  memperkuat kerja sama ekonomi dan politik negara-negara berkembang.

Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025 di KTT BRICS 2025 di Kazan, Rusia. Deklarasi ini diumumkan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin selaku tuan rumah bersama Presiden Indonesia dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut.

Apakah Hubungan Indonesia dengan Negara BRICS Menguntungkan?

Secara ekonomi, hubungan ini membawa peluang besar. China sudah menjadi mitra dagang utama Indonesia, sementara India dan Brasil merupakan pasar potensial bagi produk ekspor seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel. Negara-negara di BRICS juga dapat memberikan Indonesia pemasukan dari investasi asing. Seperti yang kita tahu, bahwa China telah banyak mengeluarkan inovasi teknologi baru yang dapat memberikan transfer teknologi dan inovasi kepada Indonesia.

Meski bergabung ke BRICS dianggap membuka peluang ekonomi, keanggotaan Indonesia ini menimbulkan perdebatan. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menekankan keanggotaan Indonesia di BRICS terlihat mempertegas ketergantungan kepada China. Data menunjukkan impor Indonesia dari China naik 112,6% dalam sembilan tahun terakhir, sementara investasi China melonjak sebelas kali lipat pada periode yang sama.

Kemudian, saat ini Indonesia tengah menjalani proses aksesi sebagai anggota tetap dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yakni organisasi beranggotakan beberapa negara maju dengan standar tata kelola tinggi dan lebih condong ke arah transparansi ekonomi dan integrasi dengan pasar Barat. Namun, dikhawatirkan jika Indonesia telah bergabung dengan BRICS, status aksesi di OECD akan mempengaruhi keputusan diterimanya Indonesia sebagai anggota tetap.

Dari sisi politik dan keamanan, tantangan muncul karena keterlibatan dengan Rusia saat ini tengah berperang dengan Ukraina. Hal ini berpotensi menimbulkan tekanan dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terhadap Indonesia.

Jika dilihat pada hubungan 2 negara super power saat ini, hubungan China dengan AS tidak terlihat baik-baik saja. Saat ini, AS lebih memfokuskan kebijakan luar negerinya pada kepentingan internal dengan slogan America First. Namun, langkah Indonesia bergabung dengan BRICS tetap akan dipandang sebagai bentuk “penjauhan” dari orbit Barat.

Keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi menjadi bumerang dalam konteks geopolitik, khususnya setelah Donald Trump kembali berkuasa di AS. Trump secara terbuka mengancam akan memberlakukan tarif 100% terhadap negara-negara BRICS yang mendorong perdagangan non-dolar. Bagi Indonesia, ancaman ini berisiko besar mengingat neraca perdagangan Indonesia dengan AS selama ini surplus, terutama dari ekspor bahan baku mentah.

Para pengamat menilai keanggotaan BRICS bisa membuat Indonesia dipersepsikan lebih dekat dengan “kelompok revisionis” yang menantang dominasi AS sehingga memperburuk hubungan diplomatik mereka. Lebih jauh, kedekatan Indonesia dengan China dikhawatirkan membuat Indonesia rentan ditekan AS, apalagi pemerintahan Trump periode kedua diperkirakan lebih agresif, unilateralis, dan transaksional dibanding periode pertama.

Di lain sisi, beberapa pengamat menilai keanggotaan Indonesia di BRICS adalah langkah implementasi dalam politik luar negeri yang bebas-aktif. Menurut Prof. Dewi Fortuna Anwar, Indonesia harus pandai menyeimbangkan posisi agar tidak terseret dalam rivalitas geopolitik. Sementara itu, pengamat lain menekankan bahwa BRICS bisa membuka peluang investasi baru di sektor infrastruktur dan energi hijau.

Berbeda dengan Zulfikar, Paramadina Wijayanto Samirin melihat peluang Indonesia bergabung sekaligus dengan BRICS dan OECD. Menurutnya, tidak ada aturan yang menghalangi keanggotaan ganda.

The best scenario adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki,” kata Wijayanto. Ia menekankan bahwa OECD dan BRICS bukanlah blok kaku. Anggota tetap bebas menjalin kerja sama dengan pihak lain. Menjadi anggota BRICS tidak berarti Indonesia menjauh dari AS dan blok barat, begitu juga dengan masuk menjadi anggota OECD.