Indonesia bergabung di BRICS, Apakah mengancam Keamanan Internasional?
Penulis : Jasmine Azzahra Hidayat (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, aliansi ekonomi beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan menjadi topik hangat di kancah global. Di satu sisi, banyak yang menilai keputusan ini sebagai langkah strategis memperkuat posisi Indonesia di tengah ketegangan geopolitik dunia. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran: apakah keanggotaan Indonesia di BRICS bisa mengancam keamanan internasional?
BRICS dan Tatanan Dunia Baru
Sejak awal berdirinya, BRICS dimaksudkan sebagai wadah kerja sama ekonomi negara-negara berkembang yang ingin menyeimbangkan dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kini, organisasi ini semakin vokal dalam mendorong tatanan dunia multipolar dunia di mana kekuasaan tidak hanya terpusat pada satu blok. Bagi Indonesia, BRICS membuka peluang besar: memperluas pasar ekspor, memperkuat investasi dari negara-negara anggota, dan meningkatkan posisi tawar dalam forum global seperti G20 atau WTO. Namun, sebagian pengamat Barat melihat BRICS sebagai “penantang tatanan dunia” berbasis dolar dan dominasi ekonomi-politik Barat. Kekhawatiran inilah yang membuat keanggotaan Indonesia dianggap berpotensi memicu ketegangan geopolitik baru.
Kepentingan Nasional vs Kepentingan Global
Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, tidak berpihak pada blok mana pun, tetapi aktif berperan menjaga perdamaian dunia. Maka, keikutsertaan di BRICS bukan bentuk keberpihakan, melainkan upaya memperluas jejaring diplomasi dengan negara-negara Selatan Global.
Secara ekonomi, langkah ini membawa banyak keuntungan. China adalah mitra dagang utama Indonesia, sementara India dan Brasil menjadi pasar potensial bagi produk seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel. BRICS juga membuka peluang investasi dan transfer teknologi, terutama dari China.
Namun, menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat mempertegas ketergantungan ekonomi terhadap China. Data menunjukkan, impor Indonesia dari China naik 112,6% dalam sembilan tahun terakhir, sementara investasi Tiongkok meningkat sebelas kali lipat pada periode yang sama. Di sisi lain, Indonesia juga tengah menjalani proses aksesi ke Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi negara-negara maju yang menekankan transparansi dan tata kelola ekonomi. Ada kekhawatiran bahwa kedekatan Indonesia dengan BRICS bisa mempengaruhi peluang diterimanya Indonesia di OECD, karena dua organisasi ini mewakili blok kepentingan yang berbeda.
Geopolitik: Antara Dua Kekuatan Besar
Masalah geopolitik menjadi semakin kompleks karena beberapa anggota BRICS, seperti Rusia, sedang berkonflik dengan Ukraina. Kondisi ini berpotensi menimbulkan tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap Indonesia.
Hubungan AS–China yang memanas juga menjadi latar penting. Kebijakan “America First” yang kembali diusung pemerintahan Donald Trump membuat posisi Indonesia semakin rumit. Apalagi Trump secara terbuka mengancam akan menaikkan tarif hingga 100% terhadap negara-negara BRICS yang mendukung perdagangan non-dolar. Ancaman ini bisa berdampak besar bagi Indonesia yang selama ini menikmati surplus perdagangan dengan AS.
Dalam pandangan Barat, BRICS dianggap sebagai “kelompok revisionis” yang menantang tatanan ekonomi global. Akibatnya, keikutsertaan Indonesia bisa ditafsirkan sebagai pergeseran arah politik luar negeri, dari mitra Barat menjadi bagian dari blok Timur.
Namun, sejumlah pengamat seperti Prof. Dewi Fortuna Anwar menilai langkah ini justru cerminan politik luar negeri bebas aktif yang tetap relevan. Indonesia harus pandai menyeimbangkan hubungan agar tidak terseret dalam rivalitas kekuatan besar. Saat ini, dunia menghadapi dua arah ekonomi besar:
- Status quo, yang mempertahankan sistem pasar global pasca Perang Dunia II dan cenderung menguntungkan negara maju.
- Reformasi sistem baru, yang menolak dominasi tunggal dan mendorong sistem ekonomi yang lebih adil bagi negara berkembang.
Indonesia berada di tengah-tengah tarikan dua kutub ini. Washington menawarkan penurunan tarif ekspor, sementara Beijing menawarkan pinjaman berbasis mata uang lokal. Untuk menjaga kepercayaan kedua pihak, Indonesia harus menjadi pihak netral yang menciptakan “ruang ketiga”, bukan sekadar memilih salah satu blok, tetapi menjadi jembatan di antara keduanya.
Langkah bijak bagi Indonesia adalah tidak langsung menyetujui agenda “mata uang bersama” BRICS yang bisa memicu reaksi keras dari Barat. Mengingat keputusan BRICS diambil melalui konsensus, Indonesia dapat menunda tanpa menolak, sambil tetap memperkuat kerja sama ekonomi melalui transaksi mata uang lokal. Sikap non-blok bukan berarti pasif. Justru, di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, strategi ini adalah bentuk kedaulatan dan kecerdasan diplomasi. Indonesia tidak hanya tertarik pada BRICS, tetapi juga aktif dalam proses aksesi OECD. Menurut laporan OECD pada 3 Juni 2025, Indonesia telah menyerahkan Initial Memorandum dan ditargetkan menjadi anggota tetap pada 2027.
Pemerintahan Prabowo melihat peluang strategis untuk menjadikan Indonesia penghubung antara BRICS dan OECD. Dengan posisi geografis penting di jalur perdagangan dunia seperti Selat Malaka, Indonesia memiliki potensi menjadi jembatan antara Dunia Utara dan Dunia Selatan, antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak serta-merta mengancam keamanan internasional. Justru, jika dikelola dengan bijak, langkah ini bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang di tengah perubahan tatanan dunia.
