Hubungan Tanpa Status dan Generasi Muda: Mencari Keuntungan Tanpa Komitmen?
Oleh Gisca Chairunisa (Mahasiswa Sosiologi Semester 4 FISIP UIN Jakarta)
Hubungan Tanpa Status (HTS) menjadi salah satu fenomena sosial yang semakin marak dalam kehidupan modern, terutama di kalangan generasi muda. Jika dalam masyarakat tradisional hubungan interpersonal umumnya terikat dalam suatu status yang jelas, perkembangan dinamika sosial di era kontemporer justru memungkinkan munculnya HTS, yaitu hubungan yang tampak memiliki ikatan emosional, tetapi tanpa kejelasan status formal antara kedua belah pihak. Fenomena ini menimbulkan berbagai diskursus akademis dan sosial, khususnya dalam memahami kompleksitas serta dinamika hubungan tersebut. Salah satu pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori pertukaran sosial yang dikembangkan oleh George C. Homans.
Teori pertukaran sosial Homans berfokus pada interaksi sosial dalam tingkat mikro, yaitu hubungan antar individu yang didasarkan pada prinsip-prinsip psikologis dalam menjelaskan perilaku sosial. Pendekatan ini menekankan bahwa dalam setiap interaksi sosial, individu cenderung bertindak berdasarkan ekspektasi terhadap imbalan yang akan diperoleh. Berbeda dengan teori interaksi simbolik yang menekankan aspek subjektif dalam membangun makna sosial, teori pertukaran sosial lebih menitikberatkan pada perilaku nyata dalam hubungan interpersonal. Dalam pandangan Homans, hubungan sosial dapat dianalogikan dengan transaksi ekonomi, di mana individu yang memberikan sesuatu dalam hubungan tersebut akan mengharapkan suatu imbalan sebagai kompensasi.
Sebagai contoh, pada masa Revolusi Industri di Inggris, para pemilik perusahaan memberikan insentif atau imbalan yang besar bagi pekerja dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas mereka. Prinsip dasar ini juga dapat diaplikasikan dalam konteks HTS di mana individu yang terlibat dalam hubungan tersebut cenderung mempertahankan interaksi selama mereka merasa memperoleh keuntungan, baik dalam bentuk kepuasan emosional, kenyamanan, atau keuntungan sosial lainnya.
Dengan demikian, teori pertukaran sosial dapat digunakan sebagai kerangka analisis dalam memahami fenomena HTS. Pendekatan ini dapat membantu menjelaskan bagaimana hubungan ini berkembang, bentuk imbalan yang diperoleh oleh individu yang terlibat, serta faktor-faktor yang menyebabkan konsep hubungan semacam ini semakin tersebar luas di kalangan generasi muda.
Ajaran Homans: Imbalan Adalah Syarat Hubungan Interpersonal
Dalam teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George C. Homans, terdapat asumsi dasar bahwa individu yang terlibat dalam hubungan interpersonal melakukannya karena adanya imbalan atau ganjaran yang dapat diperoleh. Konsep pertukaran sosial ini menekankan bahwa setiap interaksi membawa konsekuensi tertentu, baik dalam bentuk materiil, seperti barang, maupun non-materiil, seperti sanjungan atau pengakuan sosial. Agar pertukaran sosial dapat terjadi, terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, perilaku atau tindakan individu harus bertujuan untuk memperoleh sarana dalam mencapai tujuan tertentu. Kedua, perilaku tersebut berorientasi pada pencapaian tujuan yang hanya dapat terwujud melalui interaksi dengan individu lain.
Lebih lanjut, perilaku sosial individu dalam interaksi interpersonal dapat dikaji melalui kecenderungan-kecenderungan yang membentuk pola respon mereka. Homans mengidentifikasi tiga bentuk kecenderungan utama dalam interaksi sosial. Pertama, kecenderungan peranan (role disposition), yaitu kecenderungan yang berkaitan dengan tugas, kewajiban, serta posisi sosial yang dimiliki oleh individu dalam suatu hubungan. Kedua, kecenderungan sosiometrik (sociometric disposition), yaitu kecenderungan yang berhubungan dengan preferensi individu terhadap orang lain serta tingkat kepercayaan yang diberikan dalam suatu interaksi sosial. Ketiga, ekspresi (expression disposition), yaitu kecenderungan individu dalam menampilkan kebiasaan atau ekspresi khas yang menjadi bagian dari dinamika sosial mereka.
Untuk memperjelas proses pertukaran sosial, Homans mengembangkan lima proposisi utama yang saling berhubungan. Pertama, proposisi sukses, yang menyatakan bahwa semakin sering suatu tindakan memperoleh imbalan, maka semakin besar kemungkinan tindakan tersebut akan diulang. Kedua, proposisi stimulus, yang menyatakan bahwa semakin mirip suatu stimulus dengan stimulus yang pernah memberikan hasil positif di masa lalu, maka semakin besar kemungkinan individu akan mengulangi tindakan yang sama. Ketiga, proposisi nilai, yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai suatu tindakan bagi individu, semakin besar kemungkinan tindakan tersebut akan dilakukan secara berulang. Dengan kata lain, frekuensi suatu tindakan berbanding lurus dengan nilai yang dikandungnya.
Keempat, proposisi deprivasi-satiation, yang menyoroti bahwa semakin sering seseorang menerima imbalan yang sama, maka nilai imbalan tersebut akan menurun karena kejenuhan. Dalam hal ini, Homans menjelaskan bahwa adanya eksposur yang berlebihan terhadap suatu imbalan dapat mengurangi daya tariknya. Kelima, proposisi restu-agresi, yang menegaskan bahwa apabila individu tidak menerima imbalan sesuai dengan harapannya, maka hal tersebut dapat memicu emosi negatif dan mendorong perilaku agresif sebagai bentuk respons. Dalam proposisi ini, Homans menekankan pentingnya faktor emosional dalam pertukaran sosial.
Melalui pendekatan ini, teori pertukaran sosial menawarkan pemahaman mendalam mengenai bagaimana individu berinteraksi dalam kehidupan sosial, khususnya dalam konteks hubungan interpersonal. Kerangka ini dapat digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena sosial, termasuk dinamika HTS di era modern.
Jika Homans bicara HTS: Mengejar Keuntungan Tanpa Komitmen
Dalam teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George C. Homans, terdapat prinsip dasar yang dikenal sebagai distributive justice, yaitu suatu aturan yang menyatakan bahwa imbalan yang diterima seseorang harus sebanding dengan investasi yang telah diberikan. Homans menegaskan bahwa dalam hubungan sosial, manusia secara alami cenderung mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan usaha dan pengorbanan seminimal mungkin. Dengan demikian, setiap interaksi sosial selalu berorientasi pada unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), serta keuntungan (profit) yang menjadi dasar terbentuknya hubungan antarindividu.
Teori ini memiliki relevansi yang kuat dalam menganalisis fenomena HTS, yang merupakan suatu bentuk interaksi interpersonal yang tidak terikat oleh status formal, tetapi tetap melibatkan adanya imbalan dan pengorbanan. Dalam hubungan semacam ini, kedua individu biasanya memiliki kesepakatan tertentu yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan emosional maupun sosial tanpa keterikatan pada komitmen status tertentu, seperti pacaran atau pernikahan. Hubungan ini seringkali dipilih oleh individu yang merasa belum siap untuk menjalani hubungan dengan status yang jelas, baik karena alasan pribadi, sosial, maupun psikologis.
Dalam konteks HTS, imbalan yang diperoleh oleh individu dapat berupa afeksi, perhatian, atau kebersamaan. Meskipun tidak memiliki status yang jelas, individu yang terlibat dalam hubungan ini tetap mendapatkan dukungan emosional, interaksi sosial yang bermakna, serta pengalaman romantis yang memberikan kepuasan tertentu. Namun, imbalan tersebut tidak diperoleh tanpa adanya pengorbanan. Setiap individu dalam hubungan ini tetap harus meluangkan waktu, energi, dan perasaan untuk menjaga keberlangsungan interaksi yang terjalin. Salah satu bentuk pengorbanan yang umum dijumpai dalam hubungan semacam ini adalah kewajiban untuk memberikan perhatian dan waktu kepada pasangan, seperti melakukan kegiatan bersama, berkomunikasi secara intens, atau memenuhi ekspektasi emosional satu sama lain.
Selain unsur imbalan dan pengorbanan, HTS juga menawarkan keuntungan bagi individu yang menjalankannya. Keuntungan utama dari hubungan ini adalah adanya kebebasan dalam menjalani interaksi tanpa keterikatan pada aturan yang melekat dalam hubungan formal. Individu yang terlibat dalam HTS tetap dapat menjalani kehidupan pribadinya tanpa tekanan sosial yang seringkali muncul dalam hubungan berstatus formal. Selain itu, hubungan semacam ini juga memberikan fleksibilitas bagi individu dalam menentukan arah hubungan tanpa harus terikat pada norma atau ekspektasi sosial tertentu.
Namun, dalam praktiknya, tidak jarang HTS tetap melibatkan elemen komitmen, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam bentuk status formal. Dalam beberapa kasus, individu yang terlibat dalam hubungan ini tetap menjalin kesepakatan untuk mempertahankan interaksi mereka dalam jangka waktu tertentu, bahkan dengan ekspektasi menuju hubungan yang lebih serius. Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, aspek substansi dalam hubungan lebih diutamakan dibandingkan dengan penetapan status yang jelas. Generasi muda, khususnya, seringkali lebih menekankan pada aspek kenyamanan, komitmen emosional, dan kompatibilitas dalam interaksi interpersonal dibandingkan dengan tekanan untuk menentukan status formal dalam hubungan.
Namun demikian, HTS juga memiliki risiko tertentu, terutama dalam hal kestabilan emosional individu yang terlibat. Karena tidak adanya status yang jelas, hubungan ini rentan terhadap perubahan arah yang mendadak atau bahkan pengakhiran yang tidak terduga. Salah satu fenomena yang sering dikaitkan dengan HTS adalah ghosting, yaitu tindakan menghilang secara tiba-tiba tanpa adanya komunikasi atau kejelasan mengenai alasan penghentian hubungan. Fenomena ini sering kali menyebabkan ketidakstabilan emosional bagi individu yang masih mengharapkan keberlanjutan hubungan, mengingat tidak adanya kejelasan dalam dinamika yang telah terjalin.
Adapun faktor utama yang menyebabkan maraknya fenomena HTS di kalangan generasi muda dapat ditinjau dari dua perspektif utama. Pertama, adanya kecenderungan untuk mengutamakan substansi hubungan dibandingkan dengan penetapan status formal. Bagi sebagian individu, keberlangsungan hubungan dan keterlibatan emosional lebih penting dibandingkan dengan label atau status yang menyertainya. Kedua, ketidaksiapan dalam mengemban tanggung jawab sosial dan psikologis yang melekat pada hubungan dengan status formal, sehingga individu cenderung memilih bentuk hubungan yang lebih fleksibel. Dalam hal ini, HTS memungkinkan individu untuk memenuhi kebutuhan afeksi tanpa harus menghadapi konsekuensi yang dianggap lebih kompleks dalam hubungan yang memiliki status yang lebih jelas.
Kesimpulan
Berdasarkan studi literatur serta observasi lingkungan yang telah dilakukan, Hubungan Tanpa Status (HTS) tidak hanya menjadi sebuah diskursus menarik dalam kajian sosiologi, tetapi juga merupakan fenomena sosial yang semakin masif dan relevan untuk diteliti. Konsep hubungan interpersonal yang terkandung dalam HTS dapat dianalisis menggunakan teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George C. Homans. Dalam praktiknya, fenomena ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda yang semakin mengadopsi pola hubungan semacam ini.
HTS menawarkan keseimbangan antara imbalan dan pengorbanan yang dianggap lebih menguntungkan bagi individu yang menjalaninya. Sejalan dengan pemikiran Homans, manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan dengan seminimal mungkin pengorbanan. Dalam konteks HTS, individu mendapatkan keuntungan berupa afeksi, kebersamaan, dan dukungan emosional tanpa harus menanggung tanggung jawab besar yang biasanya melekat pada hubungan dengan status yang jelas. Hal ini menjadikan HTS sebagai pilihan yang semakin diminati oleh banyak individu yang belum siap berkomitmen dalam hubungan formal seperti pacaran atau pernikahan.
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan salah satu proposisi dalam teori Homans, yaitu proposisi sukses. Proposisi ini menyatakan bahwa jika suatu tindakan terus memberikan imbalan yang diharapkan, maka individu akan semakin sering melakukan tindakan tersebut. Dalam hal ini, individu yang merasa diuntungkan dengan pola hubungan HTS cenderung mempertahankan dan mengulanginya dalam kehidupan mereka. Konsep ini berkontribusi terhadap penyebaran dan normalisasi HTS di berbagai kelompok sosial, khususnya di kalangan generasi muda. Dengan demikian, fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan pola relasi sosial, tetapi juga menunjukkan bagaimana teori pertukaran sosial dapat digunakan untuk memahami dinamika hubungan interpersonal dalam masyarakat modern.(Tries)
Daftar Pustaka
Krech, D., Crutchfield, R. S., & Ballachey, E. L. (1962). Individual in society: A textbook of social psychology. McGraw-Hill.
Poloma, Margaret. Sosiologi Kontemporer. Cet. 4; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000.
William D. Perdue, Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Palo Alto,Calif Mayfield. 1986.