Hubungan Ekonomi Indonesia-China Era Prabowo, Akan Jadi Seperti Apa?
Penulis : Salsabila Halimsyah Rambe, Mahasiswi Prodi Ilmu Hubungan Internasional
Hubungan ekonomi antarnegara memang tidak pernah sepenuhnya netral. Selalu ada kepentingan politik dan strategi kekuasaan di balik angka kerja sama perdagangan dan investasi. Hubungan ekonomi antara Indonesia dan China, jika dilihat dalam perspektif ekonomi politik internasional, dipahami sebagai upaya saling menegosiasikan kepentingan masing-masing negara. China di satu sisi, berusaha untuk memperluas pengaruhnya, juga memperluas jangkauan pasar. Indonesia di sisi lain, berupaya memanfaatkan peluang investasi sembari menjaga kontrol atas sumber dayanya. Hubungan ekonomi Indonesia-China sebenarnya membawa peluang sekaligus potensi ketergantungan yang baru.
Peta perekonomian Indonesia seolah selalu dihiasi oleh bayangan China. Dari proyek kereta cepat yang membelah Jawa, hingga investasi di sektor energi dan arus perdagangan di berbagai pelabuhan, China seringkali hadir di setiap lini pembangunan. Saat ini, kita ada di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Hubungan ekonomi Indonesia dan China kembali menjadi sorotan, apakah Indonesia akan semakin bergantung pada China, atau justru hubungan kedua negara ini akan mengawali kemandirian ekonomi Indonesia di masa depan?
Jejak Kerja Sama Ekonomi Indonesia-China
China tidak hanya mitra dagang bagi Indonesia, tetapi juga dapat menjadi mitra untuk memperkuat ekonomi global Indonesia. Melalui inisiatif Belt and Road, China membangun jejaring ekonomi lintas kawasan. Inisiatif ini menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jaringan infrastruktur darat dan laut. Indonesia, dengan posisi geografis strategis yang menautkan Samudra Hindia dan Pasifik, menjadi simpul yang cukup penting dalam proses berjalannya proyek tersebut.
Selama pemerintahan Presiden Jokowi, investasi China telah menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan perekonomian. Proyek infrastruktur besar seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung, pembangunan kawasan industri Morowali, hingga investasi di sektor energi dan digital menjadi jejak kerja sama perekonomian kedua negara ini. Bahkan, data BKPM mencatat bahwa China menempati posisi kedua sebagai investor terbesar di Indonesia pada tahun 2023.
Namun, di balik banyak keberhasilan kerja sama ekonomi tersebut, banyak sekali muncul kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia kepada China di bidang Ekonomi. Banyak yang menyoroti bagaimana sejumlah proyek dibiayai melalui skema pinjaman besar, sementara keterlibatan tenaga kerja lokal masih terbatas. Dalam kacamata ekonomi politik internasional, kondisi ini mencerminkan posisi di mana negara berkembang sering kali berada dalam posisi bergantung kepada investasi asing. Meski tidak sepenuhnya negatif, pola ini menantang kemampuan Indonesia untuk mengontrol arah kebijakan industrinya sendiri.
Ketimpangan posisi tawar antara Indonesia dengan investor asing masih cukup besar. Perusahaan China seringkali memegang kendali besar atas banyak proyek-proyek penting, sementara mitra lokal hanya berperan sebagai penyedia lahan dan tenaga kerja. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang sumber daya alam Indonesia yang akan kembali dieksploitasi tanpa menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat lokal.
Transfer teknologi juga seringkali tidak berjalan dengan optimal. Pada implementasinya, banyak proyek yang masih mengandalkan teknologi, bahan baku, dan tenaga ahli dari China. Hal ini memperlambat proses industrialisasi domestik yang diharapkan menjadi tonggak bagi ekonomi yang mandiri.
Sejumlah proyek juga menuai kritik dari sisi lingkungan. Contohnya, Perusahaan China yang mengelola pembangunan kawasan industri nikel di Sulawesi. Proyek ini seringkali dikaitkan dengan isu degradasi lahan, juga persoalan limbah. Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi yang tampak saling menguntungkan tidak selalu lepas dari konsekuensi sosial dan ekologis.
Meski demikian, menolak investasi asing bukanlah solusi karena saat ini tidak ada negara yang dapat benar-benar berdiri sendiri. Bagi Indonesia, tantangan utamanya bukan menolak investasi China, melainkan memastikan bahwa arus modal itu benar-benar mendorong nilai tambah domestik. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan hilirisasi, transfer teknologi, juga perlindungan terhadap tenaga kerja lokal agar hubungan ekonomi ini tidak sekadar menjadi alat penunjang kepentingan asing. Jika tidak, Indonesia berisiko berketergantungan dengan investasi-investasi asing.
Arah Kebijakan Ekonomi Indonesia-China di Era Prabowo
Prabowo, dengan latar belakang nasionalis yang kuat, tampaknya akan berupaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan investasi asing dan kedaulatan ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan dilema, jika terlalu membuka diri, Indonesia berisiko kehilangan kontrol atas sumber daya strategisnya. Namun jika terlalu menutup diri, momentum pertumbuhan ekonomi bisa terganggu. Prabowo harus memastikan bahwa keterbukaan terhadap modal asing tidak mengikis kedaulatan ekonomi nasional.
Bagi Indonesia, kedekatan ekonomi dengan China menawarkan peluang besar sekaligus risiko. Pemerintahan Prabowo tampaknya akan melanjutkan kebijakan Jokowi dengan menjaga hubungan baiknya dengan China, tetapi juga tetap menjaga hubungan baik dengan mitra lainnya seperti Jepang, juga Amerika Serikat. Strategi ini mencerminkan politik luar negeri bebas-aktif dalam bentuk yang lebih realistis, dengan Indonesia yang mencoba menyeimbangkan kepentingan ekonominya.
China, dengan pengaruh ekonominya yang besar, tentu akan tetap menjadi mitra penting. Pemerintahan Prabowo punya peluang untuk memanfaatkan relasi ini dengan lebih strategis. Indonesia dapat menegosiasikan proyek-proyek besar seperti industri hilirisasi nikel, kerja sama energi hijau, dan pengembangan infrastruktur. Hal ini demi memastikan bahwa modal asing digunakan untuk memperkuat perekonomian nasional, bukan sebaliknya. Pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan untuk menegosiasikan ulang bentuk hubungan ekonomi agar tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mampu memperkuat kemandirian ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Telah terlihat selama ini, Prabowo tampak berupaya menyeimbangkan pengaruh China dengan memperluas jejaring diplomasi ekonomi ke negara lain. Prabowo aktif menghadiri forum-forum ekonomi internasional seperti KTT G20 di Brasil, sekaligus memperkuat kerja sama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Langkah-langkah tersebut dapat dianggap sebagai upaya menghindari ketergantungan, juga menghindari arah geopolitik yang terlalu condong ke satu kekuatan. Langkah-langkah tersebut juga dapat menampilkan kredibilitas politik luar negeri Indonesia di mata dunia.
Di era globalisasi ekonomi, tentu saja Indonesia tidak bisa sepenuhnya menutup diri, Hubungan kerja sama ekonomi Indonesia–China akan terus berlanjut, tetapi arah dan bentuknya kerja sama ini, kini bergantung pada bagaimana pemerintahan Prabowo menuliskan sejarah barunya bagi perekonomian Indonesia. Prabowo pernah menegaskan pentingnya “berdiri di atas kaki sendiri”. Namun di era globalisasi, kemandirian tidak lagi berarti menolak investasi asing, melainkan cerdas dalam mengelolanya.
