George Soros dan Pergeseran Keamanan Dunia: Dari Senjata ke Gagasan
George Soros dan Pergeseran Keamanan Dunia: Dari Senjata ke Gagasan

Penulis : Najwa Meila Calista, mahasiswa Hubungan Internasional

Setiap kali terjadi demonstrasi besar atau muncul tanda-tanda perubahan politik di suatu negara, satu nama seolah selalu kembali mencuat — George Soros.
Dari Eropa hingga Asia, bahkan dalam aksi massa di Indonesia pada Agustus 2025, narasi daring dengan cepat menuding dirinya. Entah mengapa, setiap kali masyarakat menuntut reformasi atau akuntabilitas, Soros selalu dijadikan sosok “tangan tak terlihat” yang paling mudah disalahkan.

Dari media konservatif di Barat hingga propaganda politik di Timur, namanya berulang kali muncul dalam teori konspirasi yang menuduh adanya “pendanaan asing” di balik setiap gejolak sosial. Ia digambarkan sebagai dalang global yang mampu menggoyang pemerintahan, memicu revolusi, bahkan mengatur arah dunia lewat jaringan lembaga dan donasinya. Padahal, sebagian besar tuduhan itu tidak pernah terbukti secara empiris.

Namun, fenomena ini menarik untuk dipahami bukan karena kisah Soros itu sendiri, melainkan karena refleksi tentang cara dunia memaknai ancaman.
Mengapa satu individu bisa begitu mudah dijadikan simbol ketakutan kolektif?
Apakah karena pengaruhnya yang nyata — atau karena dunia modern membutuhkan “musuh bersama” untuk menjelaskan kegelisahan sosial yang mereka ciptakan sendiri?

Pertanyaan yang sesungguhnya adalah:
Apakah Soros benar-benar ancaman bagi keamanan global dan nasional — atau justru cermin dari cara kita mendefinisikan keamanan yang terlalu sempit, seolah keamanan hanya berarti kontrol, bukan kesadaran?

Soros Sebagai Aktor Non-Negara

George Soros bukanlah seorang kepala negara, dan ia pun tidak memimpin pasukan militer — namun pengaruhnya melampaui batas-batas negara dengan cara yang jarang bisa dicapai oleh individu mana pun.
Dalam studi keamanan internasional, sosok seperti ini dikenal sebagai non-state actor — individu atau organisasi yang beroperasi di luar otoritas pemerintahan mana pun, tetapi tetap memiliki kapasitas untuk memengaruhi stabilitas global. Tidak seperti aktor kekuasaan tradisional, Soros tidak menguasai wilayah atau kekuatan militer. Sumber kekuatannya terletak pada jaringan — orang-orang, lembaga, dan gerakan yang diperkuat oleh gagasan dan filantropinya.

Melalui Open Society Foundations (OSF), Soros menyalurkan soft power, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Joseph Nye, yang merujuk pada kemampuan memengaruhi pihak lain melalui ketertarikan dan persuasi, bukan paksaan. Program pendidikan, jurnalisme independen, kampanye transparansi, serta proyek hak asasi manusia menjadi instrumen pengaruhnya — bukan untuk mendominasi, tetapi untuk mentransformasi.

Namun, justru karena pengaruhnya bersifat non-coercive inilah, Soros sering dipandang mencurigakan oleh negara-negara dengan rezim tertutup atau otoriter. Tuduhan pertama terhadap dirinya sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional” muncul di Rusia pada tahun 2015, ketika pemerintah menetapkan OSF sebagai organisasi “tidak diinginkan” (undesirable organization). Presiden Vladimir Putin menuduh Soros mendanai gerakan pro-demokrasi yang memicu instabilitas politik di Eropa Timur — termasuk Revolusi Oranye di Ukraina dan Revolusi Mawar di Georgia.

Narasi serupa kemudian menyebar ke Hungaria, tanah kelahirannya sendiri, di mana Perdana Menteri Viktor Orbán melancarkan kampanye publik bertajuk Stop Soros, menuduhnya mendorong migrasi massal ke Eropa. Di Turki dan Filipina, tuduhan pendanaan terhadap kelompok oposisi juga kerap dikaitkan dengan jaringan OSF. Dengan cepat, Soros berubah dari seorang filantropis menjadi simbol global tentang bagaimana gagasan dapat dianggap lebih berbahaya daripada senjata.

Konteks ini turut bergema di Indonesia, terutama pada demonstrasi besar bulan Agustus 2025. Narasi daring yang beredar di media sosial menuding bahwa gerakan protes itu dibiayai oleh lembaga asing yang berafiliasi dengan Soros. Tidak ada bukti empiris yang menguatkan klaim tersebut, namun pola ini serupa dengan apa yang terjadi di negara-negara lain: ketika rakyat menuntut perubahan, muncul narasi bahwa protes itu bukan murni aspirasi lokal, melainkan hasil campur tangan asing.

Dalam konteks keamanan internasional, pola ini menggambarkan bagaimana soft power dapat dianggap sebagai ancaman nyata bagi rezim yang sangat bergantung pada stabilitas dan kontrol. Bagi negara-negara seperti Rusia atau Turki, ide tentang “masyarakat terbuka” (open society) bukan sekadar wacana, tetapi gangguan terhadap tatanan politik domestik. Sementara bagi masyarakat demokratis, OSF justru dilihat sebagai upaya memperkuat human security — keamanan manusia melalui pendidikan dan kebebasan berpikir.

Dengan demikian, George Soros bukan hanya menjadi sosok penting dalam ekonomi global, tetapi juga fenomena keamanan lintas negara. Ia mewakili bentuk baru dari kekuatan global — kekuatan yang tidak berakar pada senjata, tetapi pada gagasan. Dan keberadaannya mengingatkan kita bahwa perubahan paling signifikan di dunia sering kali tidak dimulai dari pasukan bersenjata, melainkan dari pikiran-pikiran yang tidak dapat dikendalikan oleh kekuasaan.

Peralihan dari Keamanan Militer ke Keamanan Ideologis

Selama sebagian besar sejarah manusia, keamanan diukur dari jumlah pasukan, batas wilayah, dan kekuatan senjata yang dimiliki suatu negara. Logikanya sederhana: semakin kuat militermu, semakin aman negaramu. Namun, di abad ke-21, garis depan keamanan telah bergeser—bukan lagi di medan perang, melainkan di ranah narasi, informasi, dan ideologi. Dan George Soros adalah salah satu simbol paling nyata dari pergeseran itu.

Ia tidak memimpin pasukan atau meluncurkan rudal. Pengaruhnya justru mengalir melalui sekolah, media, lembaga riset, dan LSM yang menuntut pemerintah lebih transparan dan akuntabel. Bagi banyak pemimpin—terutama yang kekuasaannya bertumpu pada kontrol terpusat—pengaruh semacam ini jauh lebih mengganggu daripada invasi fisik. Karena gagasan, sekali disebarkan, tak bisa lagi dikurung oleh tembok atau sensor.

Naiknya nama Soros sebagai “ancaman” mencerminkan perubahan cara negara merasakan ketidakamanan. Dulu, ancaman datang dari luar: pasukan asing atau aliansi musuh. Kini, di dunia yang saling terhubung, bahaya sering muncul dari dalam—dari warga yang semakin sadar, semakin terhubung, dan semakin berani bersuara. Ketika masyarakat memiliki akses pada pendidikan dan informasi, mereka mulai mempertanyakan otoritas. Dan ketika kekuasaan takut pada pertanyaan, ia mulai menganggap pengetahuan sebagai senjata.

Inilah mengapa Soros dan Open Society Foundations kerap dituduh melakukan “campur tangan asing.” Bukan karena mereka berniat mengguncang negara, tapi karena mereka memberdayakan masyarakat untuk berpikir kritis, berorganisasi, dan menuntut perubahan. Apa yang dianggap sebagai subversif oleh sebagian pemerintah, bisa jadi hanyalah proses alami dari demokratisasi. Ketakutan negara bukanlah cerminan dari kekuatan Soros—melainkan dari rapuhnya mereka sendiri.

Dari perspektif keamanan internasional, dinamika ini menunjukkan sebuah paradoks. Nilai-nilai yang mendorong perdamaian dan keterbukaan—seperti kebebasan berpendapat, pendidikan, dan hak asasi manusia—justru sering dianggap sebagai ancaman dalam sistem yang otoriter. Dengan kata lain, prinsip yang membuat masyarakat tangguh justru dapat membuat mereka memberontak. Kekuasaan, ketika dihadapkan dengan akuntabilitas, merasa terancam.

Pergeseran ini juga memperlihatkan bentuk “perang” baru: bukan perang tank dan drone, melainkan perang informasi dan persepsi. Propaganda, kampanye siber, dan narasi global kini menjadi alat diplomasi seperti halnya bantuan, dana, atau pendidikan menjadi alat soft power. Soros beroperasi di medan ideologis ini—disadari atau tidak. Tindakannya mengaburkan batas antara filantropi dan politik, sebab di dunia modern, bahkan kebaikan pun bisa bersifat strategis.

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, perubahan ini membawa tantangan sekaligus pelajaran. Dalam masyarakat yang semakin terbuka dan digital, arus gagasan tak bisa dihentikan. Tugas keamanan nasional bukanlah membungkam pengaruh asing, melainkan memperkuat ketahanan dalam negeri—melalui pendidikan kewargaan, tata kelola yang etis, dan literasi media. Membungkam suara luar tak membuat negara lebih aman; justru memperdalam kebodohan di dalam.

Akhirnya, kisah Soros memaksa kita bertanya: keamanan seperti apa yang sebenarnya dunia inginkan? Keamanan yang didasarkan pada kontrol—di mana pemerintah menentukan apa yang boleh dikatakan dan dipercaya? Atau keamanan yang lahir dari kepercayaan—di mana warga diberi ruang untuk berpikir, bertanya, dan berpartisipasi?

Kesimpulan

Fenomena George Soros pada akhirnya lebih dari sekadar kisah tentang seorang miliarder yang aktif dalam urusan global. Ia adalah cermin yang memantulkan dinamika ketakutan, kekuasaan, dan perubahan dalam sistem internasional kontemporer. Bagi sebagian negara, Soros adalah simbol intervensi asing yang berpotensi melemahkan kedaulatan. Namun bagi yang lain, ia justru lambang keberanian dalam memperjuangkan keterbukaan dan kebebasan berpikir di tengah gelombang populisme dan otoritarianisme baru.

Paradoks ini menunjukkan bahwa ancaman di era modern tidak lagi datang dari kekuatan militer semata, melainkan dari benturan nilai dan ide. Dalam security studies, ini mencerminkan pergeseran dari paradigma hard security menuju human security — dari fokus pada perlindungan negara ke perlindungan manusia dan kebebasan berpikir. Soros menjadi simbol dari kekuatan ideologis yang bisa menggerakkan massa tanpa peluru, mengguncang rezim tanpa kudeta, dan membangkitkan kesadaran tanpa propaganda.

Namun, inilah titik dilematisnya: apakah memperjuangkan keterbukaan dan demokrasi selalu berarti membawa stabilitas? Tidak selalu. Dalam masyarakat yang belum siap menerima perbedaan pandangan, gagasan tentang kebebasan bisa memicu kekacauan. Karenanya, tantangan utama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah menolak gagasan global, melainkan menyiapkan fondasi sosial dan politik yang matang untuk mengelolanya.

Keamanan sejati tidak lahir dari ketakutan terhadap ide, tetapi dari kemampuan untuk berdialog dengan ide itu. Menyalahkan figur seperti Soros atas setiap gejolak sosial mungkin terasa mudah, tapi itu justru menandakan kegagalan negara dalam memahami akar persoalan di dalam negerinya sendiri. Karena jika demokrasi mudah goyah hanya karena satu nama, maka masalahnya bukan pada Soros — melainkan pada rapuhnya kepercayaan publik dan lemahnya sistem yang dijaga.

Pada akhirnya, dunia harus memilih: ingin keamanan yang lahir dari kontrol, atau keamanan yang tumbuh dari kepercayaan. Sebab sebagaimana sejarah berulang kali menunjukkan, ide bisa dihentikan sementara, tapi tidak bisa dimatikan. Dan mungkin itulah alasan mengapa gagasan — bukan kekuatan militer — akan selalu menjadi bentuk kekuasaan paling abadi di dunia.